Pada Jumat 2 Agustus 2019, akun twitter Pusat Penerangan TNI (@Puspen_TNI) membuat cuitan berisi komik bergambar yang menggambar penjelasan tentang LGBT (Leasbian, Gay, Biseksual, Transgender), diakhir informasi tersebut, Puspen_TNI menyatakan bahwa LGBT menjadi salah satu faktor penyebab Penyakit Menular Seksual (PMS) seperti HIV/AIDS.
Rumah Cemara dan ICJR menyayangkan pernyataan tersebut, karena merupakan informasi yang tidak tepat tentang HIV/AIDS dan penularannya. Transmisi virus HIV terjadi melalui pertukaran berbagai jenis cairan tubuh dari orang yang sudah terinfeksi virus HIV, terdiri dari darah, air susu, cairan semen dan cairan sekresi vaginal. Pertukaran cairan tersebut terjadi melalui perilaku-perilaku beresiko seperti, transfusi darah, jarum suntik yang dipakai bergantian, hubungan seksual, dan transmisi dari ibu ke anak. Intinya penularan HIV/AIDS terjadi akibat pertukaran cairan dari orang yang tertransmisi HIV, bukan berdasarkan Ekspresi Gender seseorang, sehingga ekspresi gender LGBT bukan penyebab penularan penyakit menular seksual seperti HIV/AIDS.
Perilaku beresiko tersebut dapat dilakukan setiap orang dengan ekspresi gender apapun, baik heteroseksual maupun homoseksual. Faktanya, Jumlah kasus HIV yang dilaporkan dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2018, paling banyak dari perilaku beresiko hubungan seksual heteroseksual, yaitu 102.959 orang tertransmisi, angka ini belum ditambah dengan angka yang belum dapat diidentifikasi atau dengan kata lain jumlah penularan dari hubungan heteroseksual bisa jadi jauh lebih tinggi.
Melabelkan bahwa ekspresi gender tertentu serta merta berhubungan dengan HIV/AIDS seperti yang dilakukan oleh Pusat Penerangan TNI merupakan salah satu bentuk stigmatisasi yang justru kontraproduktif dengan upaya penanggulangan HIV/AIDS.
Sebagai catatan tambahan, hal ini lah yang dikhawatirkan oleh Rumah Cemara dan ICJR dalam pembahasan Rancangan KUHP, yaitu banyaknya pasal-pasal yang menyasar perilaku beresiko transimisi HIV yang justru melanggengkan stigma yang mengabaikan pendekatan kesehatan masyatrakat, dengan adanya ancaman pidana yang diwacana RKUHP, akan mengakibatkan kelompok-kelompok sasaran penanggulangan HIV tidak akan melaporkan perilaku beresikonya. Hal ini juga diperburuk dengan larangan promosi secara luas oleh masyarakat alat-alat kontrasepsi seperti kondom.
Jika, Puspen TNI memiliki perhatian khusus terhadap masalah ini, maka ada baiknya Puspen TNI juga berdiskusi dengan DPR dan Pemerintah termasuk jajaran Kementerian Kesehatan untuk membahas intervensi terbaik untuk pencegahan penularan HIV/AIDS, karena pun, berdasarkan data dari UNAIDS 2014, 1 dari 15 (6%) homoseksual mengidap HIV di negara yang tidak mengkrimnalisasi homoseksual, sedangkan 1 dari 4 (25%) homoseksual mengindap HIV di negara yang mengkriminalisasi homoseksual, artinya stigma termasuk lewat wacana kriminalisasi tidak pernah berdampak baik pada penanggulangan HIV