RUU Penyadapan yang saat ini sedang diinisiasi oleh DPR mulai mendapatkan perhatian dari berbagai pihak yang punya perananan dalam pembuatan kebijakan. Berbagai masukan telah disampaikan untuk penyempurnaan RUU Penyadapan yang digadang-gadang sebagai aturan tunggal yang dapat dirujuk untuk pelaksanaan penyadapan. ICJR memandang RUU Penyadapan masih terlampau birokratis dan kurang mengakomodasi aspek-aspek penting seperti syarat materiil penyadapan dan ketersediaan mekanisme komplain yang jelas bagi pihak yang dirugikan.
Dalam kerangka hukum Indonesia, penyadapan diatur melalui beragam peraturan perundang–undangan. Pengaturannya tersebar dari tingkat undang-undang hingga tingkat peraturan menteri. Oleh karena itu, mekanisme penyadapan dan jangka waktu dilakukannya penyadapan misalnya, juga sangat beragam tergantung pada upaya penegakan hukum untuk kejahatan apa dan aturan mana yang dirujuk. Untuk mengatasi masalah tersebut, MK kemudian mengeluarkan Putusan Nomor 5/PUU-VIII/2010 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terhadap UUD 1945 yang meminta pemerintah dan DPR untuk membentuk suatu aturan tunggal tentang mekanisme dan prosedur penyadapan dalam bentuk undang-undang.
DPR saat ini mulai menginisiasi pembentukan RUU Penyadapan sebagai langkah tindak lanjut dari Putusan MK tersebut. Pemerintah dan DPR semestinya berangkat dari isi Putusan MK dalam menyusun RUU Penyadapan, termasuk dengan memperhatikan materi-materi apa saja yang harus diatur di dalam RUU Penyadapan tersebut. MK melalui putusannya tersebut halaman 61-62 menyatakan bahwa aturan tunggal yang mengatur penyadapan setidaknya harus memuat ketentuan-ketentuan mengenai hal-hal berikut:
(a) adanya otoritas resmi yang ditunjuk dalam undang-undang seperti atasan atau hakim untuk memberikan izin atau wewenang untuk melakukan, memerintahkan maupun meminta penyadapan;
(b) kategori subjek hukum yang diberi wewenang untuk melakukan penyadapan;
(c) tujuan penyadapan secara spesifik;
(d) tata cara penyadapan;
(e) adanya jaminan jangka waktu yang pasti dalam melakukan penyadapan;
(f) pembatasan penanganan materi hasil penyadapan;
(g) pembatasan mengenai orang yang dapat mengakses penyadapan; dan
(h) pengawasan terhadap penyadapan
Selain itu, pengaturan penyadapan juga seharusnya tidak dibuat dengan prinsip “yang penting ada”. Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh ICJR, draft RUU Penyadapan versi 15 Maret 2018 masih terlalu bersifat administratif. Birokrasi dirasa terlampau rumit karena melibatkan berbagai instansi khususnya dalam mekanisme perijinan untuk pelaksanaan penyadapan. Mestinya, alur ini dapat diatur secara lebih efisien dengan mengedapankan kontrol yang lebih ketat dalam prosedur, bukan hanya sekedar administrasi.
Salah satu akibatnya misalnya, kewenangan jaksa menjadi hilang dalam menentukan cukup tidaknya pengumpulan alat bukti. Begitu pula dengan ketentuan mengenai persyaratan dilakukannya penyadapan yang sama sekali tidak mencantumkan syarat-syarat materiil penting bilamana penyadapan dapat dilakukan. Pembatasan terhadap jenis-jenis kejahatan apa saja yang dapat dilakukan penyadapan untuk mencari alat buktinya dan kondisi-kondisi yang mencerminkan upaya penyadapan sebagai last resort tidak masuk sebagai persyaratan penyadapan yang dimaksud dalam Pasal 5 RUU Penyadapan. Hal ketiga yang paling penting harus diakomodasi dalam RUU Penyadapan adalah ketersediaan mekanisme komplain yang jelas bagi pihak yang dirugikan. Alih-alih minta ganti kerugian, , pihak yang dirugikan karena upaya penyadapan nyaris tidak dapat mengetahui bagaimana cara mengadu dan seperti apa proses yang akan dilalui dengan kondisi pengaturan pada draft RUU Penyadapan yang ada saat ini.
Isu penyadapan sebagai bentuk intrusi terhadap hak atas privasi memang menjadi salah satu topik yang mengundang perdebatan. Selain dipandang sebagai alat yang efektif untuk mengungkap kejahatan, pada saat yang sama penyadapan juga dipandang sebagai invasi dari negara terhadap hak privasi warganya, meskipun hak atas privasi tersebut memang dapat dibatasi. Namun pembahasan mengenai bagaimana penyadapan ini diatur menjadi isu yang penting khususnya bagi para pihak yang terlibat dalam pembuatan kebijakan karena adanya potensi pelanggaran HAM yang cukup besar dalam pelaksanaan penyadapan yang merupakan bagian dari upaya paksa oleh aparat penegak hukum. Oleh karenanya, ICJR mendorong agar Baleg DPR dapat memfasilitasi penerimaan masukan-masukan dari berbagai stakeholders yang tidak hanya terbatas pada kalangan aparat penegak hukum saja. Pelibatan ahli, akademisi, dan juga kelompok masyarakat sipil perlu dilakukan supaya kepentingan-kepentingan ada dapat diperhatikan secara seimbang dalam pembuatan RUU Penyadapan ini.
Kami memahami, tidak semua orang orang memiliki kesempatan untuk menjadi pendukung dari ICJR. Namun jika anda memiliki kesamaan pandangan dengan kami, maka anda akan menjadi bagian dari misi kami untuk membuat Indonesia memiliki sistem hukum yang adil, akuntabel, dan transparan untuk semua warga di Indonesia tanpa membeda – bedakan status sosial, pandangan politik, warna kulit, jenis kelamin, asal – usul, dan kebangsaan.
Hanya dengan 15 ribu rupiah, anda dapat menjadi bagian dari misi kami dan mendukung ICJR untuk tetap dapat bekerja memastikan sistem hukum Indonesia menjadi lebih adil, transparan, dan akuntabel
Klik taut icjr.or.id/15untukkeadilan