Tahun 2014 ditutup kasus penyiksaan menyedihkan oleh polisi dari Kepolisian Resor Kudus. Kuswanto (29), warga Kudus, Jawa Tengah, mengaku ditangkap anggota Polres Kudus pada 21 November karena dituduh merampok toko es krim. Seorang polisi di tengah belasan polisi lain memaksa Kuswanto mengakui perampokan itu. Bantahannya justru berujung pada penyiraman bensin dan disulut api. Kuswanto terluka bakar.
Kelakuan buruk polisi itu menjadi salah satu catatan hitam polisi yang diangkat Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dalam laporan ”Situasi Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia” yang disampaikan di Jakarta, Minggu (11/1). Polisi yang semestinya melindungi warga justru menghalalkan segala cara dalam penyidikan. Singkatnya, pencarian bukti malah menggunakan kejahatan kemanusiaan.
Kasus penyiksaan masih relatif tinggi. Dalam 36 kasus terindikasi terjadi penyiksaan dan perlakuan buruk, serta merendahkan martabat manusia. Dari 36 kasus itu, enam korban meninggal akibat penyiksaan selama masa penyidikan.
Hingga kini, polisi menjadi aparat terduga pelaku penyiksaan terbanyak. Dari 36 kasus terdata, 33 kasus melibatkan dan dilakukan polisi, baik di tingkat sektor, resor, maupun detasemen khusus. Sisanya, oleh sipir dan TNI. ICJR bahkan menilai, markas kepolisian menjadi tempat terbanyak dilakukan penyiksaan.
Polisi sebagai pihak yang terbanyak menyiksa, ataupun bertindak kekerasan, terkonfirmasi berdasarkan 2.200 laporan yang diterima Komisi Nasional Hak Asasi Manusia terkait pelanggaran HAM oleh anggota Polri sepanjang 2014. Kekerasan umumnya dilakukan dalam proses penyidikan dan pembuatan berita acara pemeriksaan.
Alasan mendapatkan pengakuan mendominasi modus penyiksaan, berbarengan dengan alasan penghukuman oleh aparat. Sejauh ini, berdasar pengamatan ICJR, penegakan hukum terhadap kasus-kasus penyiksaan dalam tahapan proses peradilan sangat minim. Para pelaku masih sulit diadili atau cenderung dilindungi instansi.
Merujuk pada sebaran wilayah, berdasar pantauan ICJR, Provinsi Sumatera Utara merupakan wilayah dengan tingkat penyiksaan tertinggi dengan enam kasus. Urutan kedua ditempati Sumatera Barat dan DKI Jakarta, masing-masing empat kasus. Urutan berikutnya tersebar di berbagai wilayah dengan jumlah 1-3 kasus.
Peneliti ICJR Anggara Suwahju merekomendasikan, terkait penyiksaan dalam penyidikan, pemerintah dan DPR segera meratifikasi Optional Protocol on the Convention Against Torture, dan mendorong pembahasan RUU Anti Penyiksaan.
Mahkamah Agung juga didorong menerbitkan surat edaran agar bukti-bukti kriminal hasil penyiksaan tidak bisa digunakan sebagai alat bukti yang sah. Pemerintah juga didesak menggiring pelaku-pelaku penyiksaan ke pengadilan, tak hanya diperiksa untuk kasus kode etik.
Peneliti Elsam Wahyudi Djafar menyoroti pekerjaan lain yang harus diprioritaskan Polri mendatang, yakni menyangkut Undang-Undang ITE. Dari lima kasus sepanjang 2014, hanya dua yang sudah diputus bebas. Namun, ada kesamaan dari kelima kasus yang dibawa ke pengadilan, yakni kelimanya sempat mendekam di tahanan. Bahkan, sampai kini dua orang masih mendekam di tahanan.
Ini hanya sekelumit dari begitu banyak tantangan besar yang masih menghadang penegakan hukum di Indonesia. Polisi sebagai salah satu garda terdepan mungkinkah tanpa tebang pilih menegakkan hukum?
Sumber: WikiDPR