Keberadan pekerja rumah tangga (PRT) kini telah menjadi kebutuhan vital bagi kebanyakan keluarga baik di dalam maupun di luar negeri. Jenis pekerjaan ini masuk ke dalam ekonomi non-formal dan berada di luar jangkauan pengaturan ketenagakerjaan secara umum. Sebagai gantinya, hubungan kerja antara para PRT dan majikan umumnya hanya diatur berdasarkan kepercayaan atau kekeluargaan saja. Bagi para pekerja ini, menganggap kepercayaan sudah cukup untuk menjalin hubungan kerja sebab mereka merasa akan diperlakukan sebagai anggota keluarga, mengalami pengalaman baru dan menarik, dan dapat kembali pulang suatu saat nanti dengan pendapatan yang tidak akan mereka peroleh pada kesempatan lain. Namun, bagi sebagian pekerja ini, kepercayaan adalah pengganti yang buruk untuk perlindungan hak-hak formal, dan tiadanya peraturan berujung pada pelecehan dan eksploitasi fisik, mental, emosional atau seksual.[1]
Mayoritas PRT tidak memiliki perjanjian kerja sebagaimana yang dimiliki oleh pekerja di perusahaan. Padahal, perjanjian kerja merupakan pedoman bagi kedua pihak yang memuat sejumlah kewajiban, dan menjamin sejumlah hak.[2] Tak hanya itu, kita tidak memiliki payung hukum yang spesifik mengatur tentang perlindungan PRT. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketengakerjaan tidak mencakup peraturan perlindungan bagi PRT. Karena, majikan pekerja rumah tangga bukan badan usaha maka dengan demikian tidak sama dengan atau dapat dikategorikan sebagai pengusaha seperti yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (5) UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Oleh karena PRT tidak dipekerjakan oleh pengusaha maka sebagai konsekuensinya mereka tidak diberikan perlindungan hukum sesuai UU No.13 Tahun 2003. Sementara UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, memang dapat digunakan untuk kasus-kasus kekerasan, namun tidak mencakup aspek-aspek ketenagakerjaan yang seringkali juga menjadi masalah bagi PRT. Selain itu, PRT memiliki kondisi-kondisi spesifik yang berbeda dengan pekerjaan lainnya. Karena itu, perlu adanya sebuah UU khusus yang mengatur tentang Perlindungan PRT secara spesifik.
RUU ini seharusnya bisa menjadi media untuk melakukan perombakan total pada cara pandang kita dari Pembantu menjadi Pekerja. Sebagaimana bahwa perubahan tersebut bukan sekedar perubahan terminologi, tetapi memang dimaksudkan agar PRT memiliki hak yang sama dengan pekerja. Oleh karena itu, draft yang disiapkan oleh masyarakat sipil banyak mengacu kepada UU Ketenagakerjaan, termasuk gaji sesuai UMR, hak cuti, pembatasan jam kerja, dan hak-hak lainnya.
Diskusi kali ini berupaya mendalami masalah-masalah penting mengenai pekerja rumah tangga di Indonesia dalam kaitannya norma hukum yang mengatur PRT termasuk didalamnya hubungan kerja, jam kerja, hak untuk cuti, libur, dan hak PHK serta praktik terbaik yang diikuti dengan pendalaman tentang beberapa pilihan di masa mendatang bagi Indonesia terkait dengan peraturan tentang PRT.
Untuk itu Berdasarkan permasalahan yang telah disebutkan diatas, maka Institute for Criminal Justice Reform berinisiatif untuk mengadakan diskusi online (#diktum) dengan tema “Perlindungan PRT: Menuju Perlindungan Bagi Para Pekerja Rumah Tangga Di Indonesia” dengan Narasumber Dinda Nuurannissa Yura, SH dari Solidaritas Perempuan