RUU Revisi Perlindungan Saksi dan Korban Versi Pemerintah Mengabaikan Hak-hak Korban Penyiksaan

Saat ini Pemerintah dan Komisi III DPR RI sedang melakukan pembahasan RUU Perubahan Undang-undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Pemerintah dan DPR berusaha untuk menyempurnakan dan melengkapi kekurangan UU Perlindungan Saksi dan Korban, khususnya yang berkaitan dengan kedudukan LPSK dan isu-isu baru terkait perlindungan saksi dan korban, antara lain justice collaborator dan whistleblower.

Namun, ternyata dalam rumusan pemerintah  justru mengabaikan dan belum mengakomodasi hak-hak korban penyiksaan di dalam RUU Perubahan Undang-undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Hak-hak atas pemulihan yang berupa hak atas bantuan medis dan psikososial masih terbatas dan hanya diperuntukkan bagi korban-korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan terorisme. Sementara korban-korban penyiksaan dan tindak pidana lainnya belum diakomodasi. Hal ini dikemukakan oleh oleh Supriyadi Widodo Eddyono dari Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban, menurutnya “pemerintah masih membatasi hak reparasi  korban penyiksaan”

Wahyu Wagiman wakil dari WGAT menambahkan bahwa pengaturan yang terbatas mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan bantuan medis dan rehabilitasi psiko-sosial, akan berakibat pada sulitnya korban-korban penyiksaan untuk mendapatkan bantuan medis dan psikososial.

Menurut  Wahyu, “ Pengaturan ini juga jelas telah mengabaikan hak-hak korban penyiksaan dan tindak pidana lainnya yang secara jelas telah diatur dalam berbagai instrumen hak asasi manusia internasional yang sudah diratifikasi oleh Indonesia, seperti Konvensi Anti Penyiksaan’ bahkan  kedua Konvensi itu telah mewajibkan “setiap Negara Pihak harus menjamin agar dalam sistem hukumnya korban dari suatu tindak penyiksaan memperolah ganti rugi dan mempunyai hak untuk mendapatkan konpensasi yang adil dan layak, termasuk sarana untuk rehabilitasi sepenuh mungkin….” tegas Wahyu Wagiman di Jakarta

Totok Yulianto Anggota WGAT dari PBHI, juga menekankan bahwa Pemerintah dan Komisi III DPR RI harus  memberikan ruang jelas bagi korban penyiksaan dan tindak pidana lainnya untuk menerima hak-hak korban penyiksaan.

Oleh karena itulah Totok Yulianto menyatakan  Working Group Against Torture (WGAT) berpendapat Komisi III DPR RI dan Pemerintah harus lebih memperhatikan, memasukkan dan mengakomodasi hak-hak korban penyiksaan khususnya, dan hak-hak korban tindak pidana lainnya. Hal ini penting diperhatikan karena dampak yang timbul dari tindak pidana penyiksaan akan dialami dan dirasakan korban penyiksaan akan dirasakan secara jangka panjang yang memerlukan bantuan medis dan psikososial yang cukup lama.

Hal ini disebabkan karena dalam catatan Working Group Against Torture (WGAT), kasus-kasus penyiksaan masih terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, seperti di Papua, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan Jawa Tengah, yang dilakukan oleh petugas kepolisian, petugas penjara, anggota militer dan petugas dari tempat-tempat penahanan lainnya.

Jakarta, 23 Mei 2014

Working Group Against Torture (WGAT) dan Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban



Verified by MonsterInsights