Salah satu alasan dibentuknya Rancangan KUHP adalah semangat demokratisasi, dekolonisasi, dan harmonisasi hukum pidana, namun pada kenyataannya justru memiliki aturan-aturan yang dapat membawa Indonesia kita kembali pada masa kolonialisme atau bahkan lebih buruk dari masa kolonialisme itu sendiri.
Presiden dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia adalah kepala negara dan kepala pemerintahan yang dipilih langsung oleh rakyat Indonesia. Presiden Indonesia dalam kurun waktu tertentu pernah begitu menikmati kekuasaan dan kewenangan yang tanpa kontrol. Selain menempati kekuasaan dan kewenangan yang besar, Presiden Indonesia juga sangat istimewa karena secara khusus dilindungi oleh hukum pidana.
Ada masa ketika aturan pidana tentang perlindungan Presiden ini tidak masif digunakan, karena pada saat yang sama ada regulasi yang lebih “lebih sempurna” untuk melindungi tidak hanya Presiden tapi juga penguasa secara keseluruhan; UU Anti Subversi. Dengan keberadaan regulasi Anti Subversi menyebabkan Presiden tak perlu sering-sering menggunakan ketentuan pidana yang melindungi Presiden. Namun apa boleh buat, UU Anti Subversi harus dicabut karena tak lagi sesuai dengan iklim yang membuka adanya perbedaan pendapat.
Sejak regulasi anti demokrasi tersebut dicabut pada 19 Mei 1999 melalui UU No 26 Tahun 1999, mulai marak pemidanaan terhadap para pengkritik Presiden dengan menggunakan Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP. Tercatat setidaknya enam kasus yang diajukan ke muka persidangan karena tindakan dan/atau ekspresi politiknya dianggap sebagai menghina Presiden.
Pada 6 Desember 2006, perjuangan panjang para aktivis pro demokrasi untuk lebih membuka keran kebebasan telah menemukan momentumnya. Pada tanggal tersebut, Mahkamah Konstitusi telah menyatakan bahwa Pasal 134, 136 bis, dan Pasal 137 KUHP tidak mempunyai kekuatan mengikat lagi. Sejak putusan itu, tak ada lagi aktivis yang dapat dijerat dengan pasal-pasal tersebut, sekeras apapun kritiknya.
Sebagai catatan bahwa orang yang menduduki jabatan Presiden, dalam kualitas sebagai pribadi, masih dapat mengajukan tuntutan pidana bagi orang-orang yang dianggap telah menghinanya sebagaimana diatur dalam Pasal 310, 311, 315, dan 316 KUHP. Sedikit merepotkan bagi Presiden, karena polisi tak lagi dapat secara otomatis mengajukan tuntutan tanpa ada laporan dari Presiden dan dilakukannya pemeriksaan terhadap diri orang yang menduduki jabatan Presiden.
Sejalan dengan upaya melindungi kembali martabat Presiden dalam RKUHP, Pemerintah secara keseluruhan rupa-rupanya juga memerlukan kembali perlindungan terhadap martabata pemerintah. Pemerintahan manapun pada dasarnya akan tidak nyaman dengan kritik untuk itu beberapa pemerintahan yang tidak demokratis berupaya mengontrol kritik melalui instrument hukum dan instrument politik.
Pada 17 Juli 2007, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP yang akrab disebut hatzaai artikelen itu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi.
Kedua Pasal tersebut menurut MK adalah produk kolonial dalam membungkam pribumi di masa lalu dan sudah tidak sesuai lagi dengan negara Indonesia yang telah merdeka sekaligus merupakan negara hukum yang demokratis.
Dalam putusannya, MK mengatakan telah menelaah secara historis, bahwa kedua pasal itu memang warisan kolonial yang diadopsi oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dari pasal 124a British India Penal Code Tahun 1915. Di India sendiri pasal itu sudah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Indian Supreme Court dan East Punjab High Court karena bertentangan dengan konstitusi India.
Dalam penelusuran sejarah, MK juga menemukan bahwa ketika pemerintah Belanda hendak mengadopsi pasal itu menjadi ketentuan dalam Wetboek van Strafrecht Belanda pada abad-19, Menteri Kehakiman Belanda menolak dengan tegas. Ia menyatakan bahwa ketentuan itu hanya berlaku bagi kebutuhan masyarakat kolonial dan tak logis jika diberlakukan di negara-negara Eropa. Ketentuan tersebut secara politis diterapkan untuk menggencet pergerakan-pergerakan nasional yang mulai muncul di tanah jajahan.
MK lalu mengidentifikasi bahwa Pasal 154 dan Pasal 155 tersebut tidak rasional. Sebab seorang warganegara dari negara yagn merdeka dan berdaualt tidak mungkin memusuhi negara atau pemerintahannya sendiri kecuali dalam hal makar. Dan soal makar, sudah diatur tersendiri dalam pasal lain di KUHP.
Juli lalu, Presiden telah menyampaikan Rancangan KUHP yang dimaksudkan untuk mengganti ketentuan hukum pidana yang menurut para pembuat rancangan tersebut adalah warisan kolonial. Namun sayang, rancangan KUHP yang katanya menggantikan hukum pidana produk kolonial justru memiliki aturan-aturan yang dapat membawa kita kembali pada masa kolonialisme atau bahkan lebih buruk dari masa kolonialisme itu sendiri. Salah satu sebabnya adalah diintrodusirnya kembali pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam Pasal 262, 263, dan 264 RKUHP dan juga dihidupkannya kembali Pasal penghinaan terhadap pemerintah yang diatur dalam 284 dan 285 R KUHP.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP menilai tak ada basis teoritis dan penjelasan ilmiah yang dapat diterima kecuali hanya penjelasan tentang adanya kejanggalan apabila penghinaan orang biasa, orang yang sudah mati, bendera/lagu kebangsaan, lambang kenegaraan, petugas/pejabat umum dan Kepala Negara sahabat saja dijadikan tindak pidana, sedangkan terhadap Presiden/Wakil Presiden dan Pemerintah secara khusus tidak jadikan tindak pidana.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengingatkan bahwa tidak ada alasan bagi Pemerintah dan DPR untuk tidak menghormati putusan Mahkamah Konstitusi karena telah bersifat final dan mengikat. Dan Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya terkait Pasal 134, 136 bis, 137, 154, dan 155 KUHP telah mengingatkan kepada pemerintah dengan kalimat
“Sehingga dalam RUU KUH Pidana yang merupakan upaya pembaruan KUH Pidana warisan kolonial juga harus tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama atau mirip dengan pasal 134, pasal 136 bis, pasal 137, 154, dan 155 KUH Pidana.“