[PUBLIKASI KOALISI] Sembilan Masalah dalam RUU KUHAP

Pertama, RUU KUHAP 2025 luput menjamin peradilan pidana akan berjalan akuntabel dalam merespons laporan tindak pidana dari masyarakat

Hal dasar yang kami tuntut bahwa RUU KUHAP harus progresif dengan menjamin penghormatan hak asasi manusia lewat prinsip due process dan adanya pengawasan yudisial atas seluruh tindakan aparat penegak hukum dalam proses peradilan pidana (judicial scrutiny). Hal ini harus ditunjukkan dengan bahwa seluruh tindakan atau perlakuan aparat penegak hukum dapat diuji dan dimintai pertanggungjawaban. Jika aparat tidak menindaklanjuti laporan atau aduan korban tindak pidana tanpa dasar yang jelas, maka kesalahan aparat tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, seluruh upaya paksa harus lewat izin pengadilan dan terdapat ruang/forum keberatan/komplain yang selalu tersedia untuk menguji seluruh tindakan aparat penegak hukum. 

Salah satu tindakan aparat penegak hukum yaitu penyidik kepolisian yang sering bermasalah adalah menolak laporan korban tindak pidana dalam banyak kasus semisalnya, yang terjadi pada 2021 lalu, Polda Metro Jaya menyatakan anggota Polsek Pulogadung Aipda Rudi Panjaitan bersalah berdasarkan hasil sidang kode etik karena menolak laporan warga yang menjadi korban perampokan. Spesifik untuk korban kekerasan seksual sering laporannya ditolak dan tidak ditindaklanjuti (Infid, ICJR, 2022).

Dalam draft RUU KUHAP 2012 lalu, masalah tidak ditindaklanjutinya laporan berusaha diatasi dengan Pasal 12 RUU KUHAP 2012, yang mengatur pengawasan berjenjang aparat penegak hukum. Pasal 12 RUU KUHAP 2012 mengatur dalam hal penyidik tidak menanggapi laporan atau pengaduan dalam jangka waktu 14 hari, maka pelapor atau pengadu dapat mengajukan laporan atau pengaduan itu kepada penuntut umum setempat. Penuntut umum wajib mempelajari laporan atau pengaduan tersebut, jika cukup alasan dan bukti permulaan adanya tindak pidana, dalam jangka waktu 14 hari Penuntut Umum wajib meminta kepada penyidik untuk melakukan penyidikan dan menunjukkan tindak pidana apa yang dapat disangkakan. Jika atas permintaan tersebut tidak dilakukan penyidikan, maka maka pelapor atau pengadu dapat memohon kepada penuntut umum untuk melakukan pemeriksaan dan penuntutan. Pemeriksaan tersebut harus diberitahukan kepada penyidik.

Namun, pengaturan seperti Pasal 12 RUU KUHAP 2012 tersebut hilang dalam RUU KUHAP 2025. Dalam Pasal 23 RUU KUHAP 2025, diatur  dalam Laporan atau Pengaduan tidak ditanggapi, maka pelapor atau pengadu dapat melaporkan kepada atasan penyidik atau pejabat pengemban fungsi pengawasan dalam penyidikan. Hanya sebatas laporan ke internal institusi penyidik yang diatur. Tidak ada jaminan apa tindak lanjut pasca pelaporan ke atasan penyidik tersebut. Tidak ada kewajiban dalam batas waktu tertentu penyidik wajib melakukan pemeriksaan dan menyimpulkan tindak pidana yang disangkakan.

Selama ini, praktik dari pendamping korban kekerasan seksual, upaya melakukan pelaporan kepada institusi internal penyidik sudah sering dilakukan, namun tidak jelas tindak lanjut pada penanganan kasus. Hal ini dikarenakan pelaporan tersebut masih sebatas internal penyidik, tidak memuat pengawasan berjenjang dalam sistem peradilan pidana. Selain itu, RUU KUHAP 2025 juga sama sekali tidak mengatur mekanisme keberatan yang bisa diajukan korban tindak pidana jika mengalami penundaan penanganan kasus yang tidak beralasan. Satu-satunya mekanisme pengawasan judicial yang tersedia dalam RUU KUHAP 2025 hanya praperadilan, yang terbatas objeknya. RUU KUHAP tidak menjamin pengawasan yudisial. Korban tetap terkatung-katung dan terseok.

Kedua, RUU KUHAP 2025 belum secara memadai mengatur mekanisme pengawasan oleh pengadilan (judicial scrutiny) dan menyediakan forum komplain untuk pelanggaran prosedur penegakan hukum oleh aparat

Hingga saat ini, praperadilan belum dapat menjadi sandaran bagi korban pelanggaran hak atas peradilan yang jujur dan adil (the rights to a fair trial) untuk meminta akuntabilitas dari pelaksanaan upaya paksa. Meskipun sejak awal kelahiran KUHAP Praperadilan disebut salah satu jelmaan prinsip Habeas Corpus, namun nyatanya praperadilan masih mengandung banyak kekurangan, mulai dari prosesnya yang baru dapat dilakukan setelah pelanggaran prosedur upaya paksa dilakukan (post factum), hanya memeriksa hal-hal yang bersifat formil, hingga proses pemeriksaannya yang hanya berlangsung 7 (tujuh) hari dan akan gugur dalam hal perkara pokoknya sudah mulai diperiksa. 

Kekurangan praperadilan makin parah dengan praktik buruk yang sering terjadi. Misalnya, aparat penegak hukum yang menjadi termohon dalam praperadilan kerap kali tidak datang di sidang pertama praperadilan. Tak jarang, mangkirnya aparat penegak hukum tersebut menyebabkan praperadilan menjadi gugur.

Dalam kondisi yang demikian, perlu adanya ketentuan maupun mekanisme yang lebih dari praperadilan guna menjamin akuntabilitas upaya paksa. Hal ini bukannya gagasan tanpa dasar. Jika kita melihat ketentuan Pasal 9 ayat (3) ICCPR, setiap orang yang ditahan–termasuk yang dikenakan upaya paksa lainnya–harus dihadapkan segera ke hadapan hakim. Ketentuan Pasal 9 ayat (3) ICCPR ini sudah sepatutnya dimaknai sebagai landasan untuk menempatkan pengawasan hakim guna memastikan pelaksanaan upaya paksa yang sesuai dengan prinsip-prinsip HAM.

Dalam RKUHAP 2025, ketentuan mengenai praperadilan tidak mengalami banyak perubahan, walaupun terdapat beberapa perubahan mengenai praperadilan, seperti pengakuan semua jenis upaya paksa sebagai objek praperadilan, namun dalam Pasal 149  Ayat (1) Huruf a RKUHAP 2025, “Upaya Paksa yang telah mendapatkan izin ketua pengadilan negeri tidak termasuk dalam objek praperadilan.” Ketentuan ini jelas mereduksi seluruh objek praperadilan yang sudah diakui sebagaimana ditetapkan sebelumnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014. Selain itu, hambatan berupa jangka waktu proses yang hanya 7 (tujuh) hari serta proses pemeriksaan yang hanya formil tidak dijawab dengan dalam RKUHAP 2025.

Dalam kacamata orang yang dituduh melakukan tindak pidana, pengawasan yudisial mencegah kesewenangan pemerintah dalam hal ini dapat diwakilkan aparat penegak hukum. Pengadilan bertugas memeriksa pelaksanaan, termasuk dalam peradilan pidana. Hakikat Habeas Corpus (orang yang dikuasai aparat dihadapkan ke Pengadilan) bahwa Pengadilan harus menilai sah atau tidaknya suatu penangkapan dan menguji kebutuhan penahanan di depan sidang imparsial yang terbuka untuk umum. Jaminan itu sama sekali tidak dimuat dalam RUU KUHAP. Konsep hakim periksa/ hakim komisaris dihapuskan dalam RUU KUHAP 2025 ini. Padahal konsep hakim periksa/hakim komisaris sudah diperkenalkan bahkan dalam draf RUU KUHAP tahun 2012. RUU KUHAP 2025 menghapus sejarah bahwa Indonesia pernah hampir berkomitmen untuk menghadirkan judicial scrutiny dalam peradilan pidananya. 

Sama sekali tidak ada perubahan berarti dalam RUU KUHAP 2025 tentang judicial scrutiny. Satu-satunya pengawasan yudisial atas tindakan penegakan hukum masih dengan model usang praperadilan. Tak banyak berubah, objek praperadilan masih sangat terbatas pada sah/tidaknya pelaksanaan upaya paksa, sah atau tidaknya penghentian Penyidikan atau penghentian Penuntutan; permintaan Ganti Kerugian dan/atau Rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat Penyidikan atau Penuntutan. Pihak yang dapat mengajukan praperadilan juga masih terbatas Tersangka, Keluarga Tersangka atau Advokatnya, untuk sah/tidaknya upaya paksa, (Pasal 149-153 RUU KUHAP 20 Maret 2025). Padahal, upaya paksa tidak hanya ditujukan kepada Tersangka, tapi juga dari pihak yang berkepentingan (mis: pemilik rumah/bangunan yang digeledah).

Praperadilan penghentian penyidikan atau penuntutan bisa diajukan oleh saksi korban atau pelapor, namun malah memuat kemunduran, dalam Pasal 152 ayat (2) RUU KUHAP 20 Maret 2025, praperadilan atas penghentian perkara yang dihasilkan dalam gelar perkara tidak dapat dimohonkan ke praperadilan. Ketidakjelasan hukum acara praperadilan juga masih diteruskan (Pasal 154 RUU KUHAP 2025). Seharusnya hukum acaranya adalah menjamin Penyidik atau Penuntut umum lah yang membuktikan bahwa mereka telah melakukan upaya paksa atau tindakan lain dalam proses hukum acara secara lawful dan berdasarkan alasan yang cukup. Dalam praktik, dikarenakan praperadilan berbasis gugatan dari korban yang haknya dilanggar, dipahami saat ini bahwa pemeriksaannya adalah seperti hukum acara perdata, yang membuktikan adalah yang mendalilkan, dan pemeriksaan dilakukan secara formil dengan memeriksa kelengkapan administrasi dokumen-dokumen, bukan mencari kebenaran materil (ICJR, 2014). Namun, dalam RUU KUHAP 2025, justru sama sekali tidak diperbaiki bahwa pemeriksaan praperadilan harus mencari kebenaran materil dan membebankan kewajiban pembuktian pada penyidik atau penuntut umum yang tergugat. 

Tak juga dikenal objek praperadilan dalam RUU KUHAP untuk menguji berbagai pelanggaran hak yang sangat mungkin terjadi dalam proses peradilan pidana. Objek lainnya yang seharusnya masuk adalah 1) perkara yang ditangani mengalami penundaan yang tidak beralasan; 2) terdapat Bukti atau keterangan yang diperoleh secara tidak sah; 3) Tersangka atau Terdakwa tidak didampingi oleh Penasihat Hukum; 4) Penyidikan atau Penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang tidak sah; 5) Penerbitan surat ketetapan penghentian penyelidikan, penyidikan, ataupun penuntutan berdasarkan penyelesaiannya di luar sidang (diversi/ oleh DPR dan Pemerintah disalah artikan sebagai keadilan restoratif) yang dapat diajukan oleh Korban atau pihak ketiga berkepentingan; 6) tidak dipenuhinya kesepakatan dan/atau hak-hak Saksi Mahkota sebagaimana ditentukan dalam Kesepakatan Perjanjian Saksi Mahkota oleh Penuntut Umum; dan/atau 7) pelanggaran lainnya terhadap hak-hak Tersangka/Terdakwa, Saksi, atau Korban atau seluruh pihak yang terjadi selama tahap Penyidikan, Penuntutan, Persidangan, maupun pelaksanaan putusan. Seharusnya ketujuh objek tersebut menjadi alasan pengajuan keberatannya dalam proses peradilan pidana. Dengan konsep RUU KUHAP 2025 ini harusnya objek tersebut masuk sebagai wewenang pemeriksaan praperadilan. 

Ketiga, RUU KUHAP 2025 belum mengatur standar pengaturan upaya paksa yang objektif dan berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia

Upaya paksa adalah segala bentuk pembatasan hak asasi manusia yang dilakukan oleh penyidik, penuntut umum, hakim yang dilakukan dengan dalih mencari alat bukti dan mendukung pemeriksaan proses pidana. Karena tindakan upaya paksa adalah pelanggaran hak asasi manusia, maka terdapat 3 hal krusial yang harus ada pada pengaturan tentang upaya paksa: 1) harus diatur syarat yang sangat ketat (dalam kondisi apa bisa dilakukan) berdasarkan izin pengadilan, 2) pengaturan syarat pada kondisi mendesak tanpa izin pengadilan, dan 3) forum pengujian kebutuhan upaya paksa harus tersedia baik secara pre factum (sebelum upaya paksa dilakukan) dan post factum (setelah upaya paksa dilakukan).

Pengaturan upaya paksa dalam RUU KUHAP 2025 yang paling bermasalah adalah tentang penangkapan. Pertama, Pasal 89 RUU KUHAP tentang syarat penangkapan tidak menjelaskan penangkapan harus berdasarkan izin pengadilan. Seharusnya izin penangkapan harus dari pengadilan, bisa tanpa izin hanya dapat keadaan tertangkap tangan.

Kedua, dalam Pasal 90 ayat (2) RUU KUHAP, penangkapan dapat dilakukan dalam waktu yang tidak terbatas pada keadaan tertentu. Pada bagian penjelasan pasal tersebut kemudian disebutkan salah satu contoh keadaan tertentu yakni jika jarak antara tempat Tersangka ditangkap dengan kantor Penyidik terdekat memiliki waktu tempuh lebih dari 1 (satu) Hari. Dengan penormaan yang demikian, tidak ada jaminan bahwa pembatasan hanya terkait pada kondisi tersebut nantinya dalam praktik. Kasus-kasus penangkapan yang berpotensi melanggar HAM akan sulit untuk dicegah, terlebih dengan keterbatasan ruang kontrol terhadap proses penangkapan yang dibangun dalam RUU KUHAP ini yang tidak mengatur adanya kewajiban untuk menghadapkan secara fisik diri tersangka yang telah ditangkap ke hadapan hakim. Standar HAM internasional membatasi bahwa penangkapan hanya dapat dilakukan 48 jam, setelah 48 jam orang yang ditangkap harus dihadapkan kepada Hakim secara fisik untuk dinilai apakah penangkapannya sah, dan diuji apakah diperlukan untuk dilakukan penahanan. 

Pasal 90 ayat (3) RUU KUHAP mengatur batasan waktu penangkapan 1 hari namun dapat diperpanjang tanpa batasan hari, selama dihitung sebagai masa penahanan. Hal ini juga sangat bermasalah, karena penangkapan dan penahanan memiliki tujuan yang berbeda. Dalam Pasal 90 RUU KUHAP sudah lah penangkapan dan penahanan dicampuradukan, tidak ada sama sekali pengaturan kewajiban orang yang ditangkap harus dihadapkan ke hakim setelah ditangkap.

Kemudian, Pasal 88 RUU KUHAP menjelaskan bahwa penangkapan dilakukan berdasarkan dua alat bukti. Ketua Komisi III DPR mengklaim bahwa syarat ini lebih baik ketimbang KUHAP 1981 yang mengatur hanya dengan “bukti permulaan yang cukup”. Kami tegaskan bahwa pengaturan dua alat bukti tersebut sama sekali tidak cukup, karena penilaian tentang kebutuhan menangkap tidak hanya berdasarkan keberadaan jumlah alat bukti, namun harus berdasarkan “alasan yang cukup” bahwa bukti yang dihadirkan memang menjelaskan pembatasan ruang gerak seseorang lewat penangkapan sangat diperlukan untuk melakukan pemeriksaan. 

Selain itu, RUU KUHAP juga tidak jelas mengatur perbedaan syarat dua alat bukti dalam penetapan tersangka Pasal 85 ayat (1), dengan penangkapan dalam Pasal 88. Masing-masing tindakan tersebut harus berdasarkan bukti yang spesifik, bukan kemudian dua bukti yang digunakan dalam penetapan tersangka bisa langsung serta merta digunakan sebagai dasar untuk melakukan tindakan lain seperti penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan sebagainya. Masing-masing syarat upaya paksa harus terpenuhi berbasis bukti yang spesifik. 

​​Berkaitan dengan penahanan, syarat penahanan diatur dalam Pasal 93 ayat (5) dengan daftar alasan penahanan yang lebih banyak. Sebelumnya, KUHAP 1981 hanya mengatur tiga alasan yang dapat digunakan untuk menahan seseorang, namun RUU KUHAP kini mengatur sembilan alasan penahanan. Meskipun demikian, alasan penahanan dalam RUU KUHAP terkesan sangat karet, antara lain mencakup: memberikan informasi yang tidak sesuai fakta saat pemeriksaan, tidak bekerja sama dalam pemeriksaan, dan menghambat proses pemeriksaan.

​​Alasan penahanan yang berupa memberikan informasi yang tidak sesuai fakta saat pemeriksaan juga bertentangan dengan hukum acara pidana, yang memberikan hak ingkar bagi tersangka atau terdakwa. Hal ini tidak dapat dijadikan dasar untuk melakukan penahanan, yang seharusnya berdasarkan keadaan objektif; jika penahanan tidak dilakukan, proses pemeriksaan akan terhambat. 

Kriteria atau indikator pemenuhan tindakan-tindakan sebagai alasan penahanan dalam RUU KUHAP tidak ditentukan. Padahal, salah satu masalah utama dalam praktik pengambilan keputusan penahanan selama ini adalah tidak adanya standar yang jelas dalam melakukan penahanan (ICJR, 2014, 2025). Selain itu, pengambilan keputusan penahanan saat ini hanya dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum yang melakukan pemeriksaan, bukan oleh hakim pemeriksa yang bebas dari kepentingan penegakan hukum. Di samping itu, tidak ada kewajiban untuk menjelaskan penilaian berdasarkan keadaan faktual yang membuktikan syarat-syarat penahanan tersebut. Dengan demikian, RUU KUHAP tidak hanya gagal menjawab masalah-masalah yang ada selama ini, tetapi juga semakin membuat pengaturan penahanan menjadi kabur.

Adapun penggeledahan yang diatur dalam Pasal 105 huruf (e) RUU KUHAP terkait penggeledahan informasi elektronik tidak jelas. Pada dasarnya penggeledahan ini dilakukan dengan maksud untuk mendapatkan bukti elektronik berupa data atau informasi yang tersimpan di dalam suatu perangkat atau medium elektronik. Namun, guna mengakses dan memperoleh bukti elektronik tersebut, maka penggeledahan bukan dilakukan terhadap data atau informasi tersebut sendiri, melainkan terhadap perangkat atau medium penyimpan bukti elektronik. Oleh karena itu, penjabaran mengenai penggeledahan dalam bagian ini seharusnya merujuk pada penggeledahan perangkat penyimpan bukti elektronik. 

Selanjutnya ada frasa “keadaan mendesak” pada pengeledahan yang diatur dalam Pasal 106 ayat (4) RUU KUHAP bahwa Istilah “keadaan mendesak” sebaiknya diuraikan dalam norma pasal, bukan hanya dijelaskan dalam penjelasan, agar dapat membedakan pengertian “keadaan mendesak” yang dimaksud dalam setiap upaya paksa, seperti pada penyitaan maupun penyadapan. Setidaknya keadaan mendesak perlu memuat bukti bahwa perkara yang sedang ditangani terletak di tempat yang sedang atau dapat bergerak atau berpindah, terdapat ancaman keselamatan atau bahaya terhadap diri sendiri atau orang lain, terdapat kekhawatiran bahwa seseorang akan menghilangkan bukti, atau bukti dapat terlihat dengan jelas berdasarkan penglihatan normal berada di tempat yang akan digeledah.

Terkait ketidakjelasan ukuran “keadaan mendesak” juga terjadi dalam penyitaan seperti yang terkandung dalam Pasal 112 ayat (2) RUU KUHAP. Selain itu dalam pasal ini tidak mengatur terkait jangka waktu pemberitahuan kepada pengadilan apabila penyitaan dilakukan dalam keadaan mendesak. Sejatinya, pemberitahuan tersebut harus dilakukan satu hari setelah penyitaan itu dilaksanakan untuk menjamin kesegeraan. Hal ini diperparah dengan tidak adanya pengaturan terkait penolakan izin penyitaan, ini akan berimplikasi pada barang yang telah disita dan mekanisme pengembalian barang tersebut.

Selanjutnya terkait penyadapan, idealnya hanya dapat digunakan untuk kondisi pengecualian ketika semua upaya-upaya yang memungkinkan untuk pengumpulan bukti dan fakta telah dilakukan, namun proses pengusutan tindak pidana tetap tidak dapat terungkap jika tanpa dilakukan penyadapan. Meskipun demikian, RUU KUHAP tidak mengatur pembatasan tindak pidana apa saja yang bisa diungkap melalui penyadapan. Tindak pidana tertentu yang dimaksud seharusnya terbatas pada beberapa kategori yang mengindikasikan tingkat keseriusan dan kerumitan pengungkapan kasus, yaitu: a) tindak pidana terhadap keamanan negara; b) tindak pidana perampasan kemerdekaan atau penculikan; c) tindak pidana pencurian dengan kekerasan; d) tindak pidana pemerasan; e) tindak pidana pengancaman; f) tindak pidana perdagangan orang; g) tindak pidana penyelundupan; h) tindak pidana korupsi; i) tindak pidana pencucian uang; j) tindak pidana pemalsuan uang; k) tindak pidana keimigrasian; l) tindak pidana mengenai bahan peledak dan senjata api; m) tindak pidana terorisme; n) tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat; o) tindak pidana psikotropika dan narkotika; p) tindak pidana pemerkosaan; q) tindak pidana pembunuhan; r) tindak pidana penambangan tanpa izin; s) tindak pidana penangkapan ikan tanpa izin di perairan; dan t) tindak pidana pembalakan liar. 

Selain itu, pengaturan mekanisme pemberitahuan penyadapan juga sangat penting untuk diatur. Tujuannya adalah agar individu yang menjadi target dalam tindakan penyadapan yang tidak sah, baik tersangka maupun pihak ketiga, dapat memperoleh akses untuk mendapatkan hak mereka, termasuk pengembalian data atau informasi, jaminan penghapusan data hasil penyadapan, serta pemberian ganti rugi.

Selanjutnya mengenai pemeriksaan surat, dalam draft RUU KUHAP tersebut tidak ditemukan bahwa pemeriksaan surat harus dilakukan berdasarkan izin pengadilan. Hal ini berpotensi terjadinya tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh penyidik maupun penuntut umum. 

Keempat, RUU KUHAP 2025 tidak berimbang dalam mengatur peran Advokat dan perluasan bantuan hukum yang belum memadai

Sistem peradilan Indonesia mendudukan advokat sebagai pengemban profesi luhur (officum nobile) yang memiliki peran sentral dalam penegakan hukum. Namun dalam praktik, Advokat masih memiliki sejumlah hambatan, misalnya dalam hal mengakses alat bukti maupun berkas-berkas perkara yang menjadi kebutuhan mendasar untuk kepentingan pembelaan maupun upaya hukum.

Ketidakseimbangan dalam proses peradilan sebenarnya sudah terjadi sejak tahap penyidikan. Pasal 33 RUU KUHAP mengatur bahwa pada pemeriksaan Tersangka di tahap penyidikan, Advokat hanya dapat melihat dan mendengar saja, serta menyatakan keberatan jika pertanyaan penyidik bersifat mengintimidasi dan menjerat. Peran Advokat yang lemah tersebut menyebabkan ketidakseimbangan dalam pengumpulan konstruksi fakta yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Padahal, BAP pada praktiknya selalu digunakan sebagai dasar pemeriksaan, tak terkecuali pada pemeriksaan di persidangan, bahkan hingga tingkat upaya hukum. Oleh karena itu, peran Advokat seharusnya bisa diperkuat salah satunya dengan memberikan kewenangan kepada Advokat untuk memberikan catatan/pandangan advokat terkait proses pemeriksaan kliennya, yang nantinya akan disatukan atau termuat dalam BAP dan berkas perkara.

Di sisi lain, terdapat beberapa ketentuan yang tidak sejalan dengan prinsip keberimbangan dalam pembuktian di persidangan, antara lain Pasal 197 ayat (10) RUU KUHAP, yang menyatakan “Setelah pemeriksaan Terdakwa, Penuntut Umum dapat memanggil Saksi atau Ahli tambahan untuk menyanggah pembuktian dari Advokat selama persidangan”. Sedangkan terdakwa dan penasihat hukumnya tidak diberikan kesempatan yang sama untuk melakukan penyanggahan lebih lanjut. Sistem adversarial memang memungkinkan para pihak dapat saling menyanggah, namun secara prinsip harus tetap berimbang. Selain itu, perlu diperhatikan juga mengenai akses terhadap bukti bagi Advokat. Kini, akses terhadap alat dan/atau barang bukti baru bisa dimiliki oleh Advokat pada telah diberikan oleh Penuntut Umum dalam Surat Dakwaan.

Kebebasan advokat dalam menjalankan tugas dan profesinya juga dibatasi dalam RUU KUHAP ini. Dalam Pasal 142 ayat (3) huruf b RUU KUHAP, advokat bahkan dilarang memberikan pendapat di luar pengadilan terkait permasalahan kliennya. Rumusan pasal ini jelas bertentangan dengan berbagai ketentuan yang menjamin status advokat sebagai penegak hukum yang bebas dan mandiri sebagaimana telah diatur dalam UU Advokat. Ketentuan ini juga menjadi ancaman bagi peran advokat dalam melaksanakan peran non litigasi termasuk peran pemberi bantuan hukum dalam memberikan bantuan hukum di luar pengadilan. Terlebih, hal ini juga merupakan bentuk pembatasan terhadap hak berpendapat dan berekspresi.

Selain itu, klaim mengenai penguatan peran advokat dalam RUU KUHAP kami nilai masih belum memadai karena tidak sejalan dengan jaminan yang layak terkait hak atas bantuan hukum. Hal tersebut justru mengakomodasi pola pelanggaran hak atas bantuan hukum yang terjadi selama ini. Dalam Pasal 146 ayat (4) dan (5) RUU KUHAP, tersangka/terdakwa tidak didampingi oleh seorang advokat apabila menyatakan menolak didampingi, dibuktikan dengan berita acara yang dibuat pejabat yang berwenang sesuai tahapan pemeriksaan. Rumusan pasal yang demikian justru melegitimasi modus pelanggaran hak tersangka/terdakwa yang selama ini sering terjadi, yaitu seperti tersangka/terdakwa diminta untuk menandatangani Surat Pernyataan dan Berita Acara Kesediaan Diperiksa tanpa Didampingi Pengacara. Dalam praktiknya, tersangka/terdakwa menandatanganinya dengan berbagai alasan, seperti: 1) dipaksa dan/atau disiksa untuk menandatangani; 2) dijanjikan kasusnya akan cepat selesai atau akan dilepaskan, dan 3) dimanipulasi bahwa penggunaan penasihat hukum akan mengeluarkan biaya yang besar. 

Modus tersebut semakin parah dampaknya karena dalam RUU KUHAP tidak memuat konsekuensi hukum apabila hak atas bantuan hukum tidak dipenuhi. Dalam beberapa kasus yang dialami, misalnya bila melihat pada Putusan Peradilan terdahulu, terdapat banyak variasi interpretasi hakim terhadap konsekuensi tidak adanya bantuan hukum bahkan di tahap penyidikan. Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1565K/Pid/1991 dan Putusan MA Nomor 367K/Pid/1998, Majelis Hakim menyatakan bahwa apabila syarat-syarat permintaan tidak dipenuhi, seperti tidak menunjuk penasehat hukum bagi tersangka sejak awal penyidikan, maka tuntutan penuntut umum dinyatakan tidak diterima. Sayangnya, terjadi disparitas Putusan, Putusan MA No. 650K/Pid/Sus/2011 menyatakan bahwa tidak adanya penasehat hukum tidak menyebabkan gugurnya penuntutan dengan alasan ketergantungan ketersediaan Advokat sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 56 ayat (1) KUHAP. Disparitas Putusan ini mengindikasikan ada masalah substansial dalam KUHAP berkaitan dengan hak atas bantuan hukum.

Ketentuan Pasal 146 ayat (4) RUU KUHAP juga membuka ruang ketiadaan pendampingan Penasihat Hukum terhadap Tersangka/Terdakwa yang diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, pidana penjara 15 (lima belas) tahun atau lebih, serta  yang diancam dengan pidana 5 (lima) tahun atau lebih tetapi tidak mampu dan tidak mempunyai Advokat sendiri – jika Tersangka/Terdakwa menolak. Mahkamah Agung melalui Rumusan Kamar

Nomor PIDANA UMUM/B.8/SEMA 7 2012, memang menyatakan bahwa terdakwa yang tidak didampingi penasihat hukum karena menolak didampingi sejak penyidikan hingga pengadilan, hal tersebut tidak membatalkan putusan pengadilan. Namun, ketentuan SEMA tersebut yakni terbatas hanya bagi dakwaan yang ancaman pidananya 5 tahun ke atas, bukan termasuk Tersangka atau Terdakwa yang diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, dan pidana penjara 15 (lima belas) tahun atau lebih. Sehingga, telah jelas bahwa pasal-pasal tersebut bermasalah dan berpotensi besar menimbulkan pelanggaran dalam proses peradilan, terutama pada perkara-perkara dengan ancaman hukuman yang tinggi hingga hukuman mati.

Definisi Advokat, Jasa Hukum, dan Bantuan Hukum dalam RUU KUHAP juga rancu dan menyebabkan ketidakpastian hukum berkaitan dengan UU Bantuan Hukum. Dalam Pasal 1 angka 20 RUU KUHAP, dijelaskan bahwa “Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat yang meliputi memberikan konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum tersangka atau terdakwa.” Sedangkan definisi dari Bantuan Hukum menurut Pasal 1 angka 21 RUU KUHAP adalah “Bantuan Hukum adalah Jasa Hukum yang diberikan secara cuma-cuma oleh Advokat kepada tersangka atau terdakwa yang tidak mampu.”

Masalah dari pasal ini adalah bahwa Pemberi Bantuan Hukum diatur hanya terbatas pada Advokat. Padahal, menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum. Sedangkan, definisi Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum berdasarkan Undang-Undang Bantuan Hukum. Dalam UU Bantuan Hukum, bukan hanya Advokat yang dapat memberi bantuan hukum, namun OBH bisa merekrut paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum untuk turut melakukan pelayanan bantuan hukum. Pelayanan bantuan hukum tidak terbatas pada Advokat saja.

Definisi dalam RUU KUHAP ini diperkuat dengan frasa “Advokat” dalam Pasal 142 ayat (2) RUU KUHAP yang menyatakan bahwa dalam memberikan jasa hukum dan/atau bantuan hukum, setiap Advokat harus menunjukkan surat kuasa dan berita acara sumpah dan/atau identitas keanggotaan di dalam suatu Lembaga Bantuan Hukum. Pendefinisian pemberi bantuan hukum hanya sebatas pada advokat saja tentunya akan berdampak buruk pada pemberian bantuan hukum karena jumlah keterbatasan advokat dan bertentangan dengan UU Bantuan Hukum.

Kelima, RUU KUHAP 2025 tidak menjamin akuntabilitas pelaksanaan kewenangan teknik investigasi khusus

Dalam UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 75 memperkenalkan kewenangan investigasi pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan. Aturan tersebut tidak jelas diatur batasannya seperti apa. Dalam aturan teknis, Polisi memperkenalkan kewenangan tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik

Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana (Perkapolri/ Perkap Nomor 6 Tahun 2019). Dalam perkap tersebut bahkan kewenangan tersebut dilakukan pada tahap penyelidikan, di saat pada proses ini peristiwa pidana belum dapat dipastikan. Dengan membuka kewenangan tersebut dalam tahap penyelidikan, yang sama sekali tidak ada pengawasan lembaga lain, rentan sekali terjadinya penjebakan. Dalam banyak kasus narkotika penjebakan lewat kewenangan ini benar terjadi. Orang membeli barang tertentu tanpa mengetahui ternyata barang yang dikirim kepadanya adalah narkotika, lantas kemudian orang tersebut dituduh melakukan tindak pidana. 

Sayangnya, RUU KUHAP 2025 dalam Pasal 16 justru mengadopsi rumusan bermasalah Perkap 6/2019 tersebut. Dalam penyelidikan diperbolehkan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan, tanpa sama sekali mengatur batasan tindak pidana, syarat dapat dilakukannya kewenangan ini, tidak diatur kewenangan ini harus berbasis izin pengadilan, juga tak ada bahasan tentang hak orang untuk mengajukan jika ia dijebak berdasarkan kewenangan ini.

Penting bagi pembuat kebijakan untuk memahami bahwa pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan adalah teknik investigasi, yang sangat berpotensi melanggar hak seseorang, bahkan tidak menutup kemungkinan terjadinya manipulasi kasus. RUU KUHAP harus mengatur batasan dan standar-standar syarat pelaksanaan teknik investigasi ini dapat dilakukan sebagaimana dalam mengatur standar objektif mengenai persyaratan dapat dilakukannya penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan.

Keenam, RUU KUHAP 2025 masih belum menyelesaikan masalah standar pembuktian yang tidak jelas, tidak menitikberatkan pada relevansi dan kualitas bukti, hingga ketiadaan prosedur pengelolaan bukti

Masalah yang masih muncul dalam RUU KUHAP yakni masih terdapat pengkotak-kotakan bentuk dan jenis sumber pembuktian yaitu antara barang bukti dan alat bukti, walaupun pada Pasal 222 ayat (1) RUU KUHAP disebutkan bahwa barang bukti termasuk dalam alat bukti. Padahal esensinya adalah mengenai apa-apa saja yang bisa menjadi sumber yang reliable dan akurat untuk mengungkap suatu fakta. RUU KUHAP seharusnya dapat mendefinisikan apa yang dimaksud dengan bukti secara jelas, yaitu berupa keterangan atau benda, baik bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, yang relevan dengan pemeriksaan perkara tindak pidana. 

Poin penting yang harus diperhatikan dari pendefinisian bukti adalah digunakannya unsur “relevan”, yang diadopsi dari “relevancy test” dalam hukum pembuktian di beberapa negara maju. Relevancy test tersebut pada dasarnya merupakan standar untuk menilai apakah suatu bukti memiliki kecenderungan untuk membuat suatu fakta yang akan dibuktikan menjadi lebih mungkin atau kurang mungkin dibanding dengan tidak adanya bukti tersebut (probativeness) dan fakta yang akan dibuktikan tersebut berkaitan dengan perkara yang diperiksa (materiality). Dengan adanya “relevancy test” ini, diharapkan akan dapat meningkatkan akurasi pengambilan keputusan oleh hakim karena proses pengambilan

keputusan akan didasarkan pada bukti-bukti yang benar-benar memiliki nilai pembuktian. RUU KUHAP masih belum menjamin standar relevansi tersebut dalam menilai bukti.

Standar pembuktian yang dikenal dalam KUHAP saat ini tidak memiliki definisi dan atau indikator yang jelas. Standar pembuktian pada dasarnya merupakan “bar” tertentu yang harus dipenuhi oleh pihak yang menanggung beban pembuktian agar dalil yang dikemukakannya dapat dikualifikasikan terbukti. RUU KUHAP menganut setidaknya dua standar pembuktian, yaitu (1) sah dan meyakinkan (yang diadopsi dari prinsip beyond reasonable doubt) untuk menjatuhkan pidana; dan (2) bukti yang cukup (yang diadopsi dari standar probable cause) untuk tindakan-tindakan tertentu, seperti menetapkan tersangka dan melakukan penangkapan dan penahanan terhadap tersangka. 

RUU KUHAP mendefinisikan ‘bukti yang cukup’ secara kuantitas yakni minimal 2 (dua) alat bukti, tanpa menekankan relevansi. Akibatnya sebagaimana praktik yang sudah terjadi selama ini, pengambilan keputusan menjadi tidak akurat dan beragamnya pemahaman dan penerapan dalam satu kasus dengan kasus lain. Standar ‘bukti yang cukup’ seharusnya didefinisikan secara khusus untuk tiap-tiap tindakan, agar dapat diaplikasikan sesuai dengan konteks penggunaannya. Contohnya, ‘bukti yang cukup’ untuk menentukan apakah seseorang dapat diduga sebagai tersangka/pelaku tindak pidana tentu berbeda dengan ‘bukti yang cukup’ untuk menentukan perlu atau tidaknya dilakukan penahanan terhadap seseorang.

Beban pembuktian hanya diatur terkait pembuktian tindak pidana dan kesalahan terdakwa, yaitu pada penuntut umum. Sedangkan untuk isu-isu lain yang perlu diselesaikan juga dengan hukum pembuktian antara lain terkait upaya paksa, seperti klaim penyiksaan masih tidak ada standarnya dan kejelasan siapa yang menanggung beban pembuktian. RUU KUHAP seharusnya dapat mengatur dengan tegas untuk klaim-klaim penyiksaan maka beban dari pejabat yang melakukan pemeriksaan untuk membuktikan. Kemudian cara-cara pembuktiannya juga perlu diatur secara memadai, tidak cukup dengan sebagaimana praktik selama ini dalam persidangan yang hanya mengandalkan keterangan saksi penyidik (verbalisan) yang bisa jadi bukan pelaku yang melakukan penyiksaan dan pasti selalu menyatakan tidak ada penyiksaan. 

RUU KUHAP juga belum secara lengkap mengatur alur dari perolehan bukti sampai menghasilkan informasi. Akibatnya, banyak bukti yang tidak optimal diekstrak informasinya, atau informasi yang diperoleh menyesatkan, atau bahkan informasinya hilang. Contoh, obyek/alat yang diduga untuk melakukan tindak pidana, tidak ada pedoman untuk langsung melakukan uji kriminalistik. Kemudian, RUU KUHAP juga masih belum mengatur bagaimana informasi yang tersimpan dalam sistem/perangkat elektronik yang berada dalam penguasaan penyidik/penuntut umum dikelola dengan benar.

Pengaturan mengenai perawatan/pengelolaan bukti setelah putusan berkekuatan hukum tetap juga masih belum diatur dalam RUU KUHAP. Bukti hanya diatur bahwa akan berakhir dirampas untuk negara, rampas untuk musnahkan, atau kembalikan pada yang berhak.

Padahal, ada bukti-bukti yang menyimpan informasi substansial (seperti misalnya bukti yang mengandung informasi biologis, seperti sperma, darah, rambut, dan sebagainya) yang bisa jadi belum dapat dimanfaatkan/diperoleh pada saat perkara berakhir karena keterbatasan sarana, akses, atau teknologi.

Ketujuh, RUU KUHAP 2025 masih belum mengatur batasan pengaturan tentang sidang elektronik

Proses persidangan yang digelar secara elektronik (online atau dalam jaringan) pada dasarnya didesain untuk merespons hambatan perbedaan waktu maupun lokasi demi terciptanya prinsip pemeriksaan yang efisien. Namun, fleksibilitas ini tetap harus didasari pada mekanisme dan akuntabilitas yang jelas. RUU KUHAP yang ada saat ini belum sama sekali mengatur mengenai syarat, mekanisme, dan akuntabilitas pelaksanaan sidang secara elektronik. Beberapa ketentuan dalam RUU KUHAP yang memungkinkan dilakukannya sidang elektronik diantaranya termuat dalam Pasal 138 ayat (2) huruf d, Pasal 191 ayat (2), dan Pasal 223 ayat (2) dan ayat (3). 

Pada masa pandemi Covid-19, Mahkamah Agung telah menerbitkan sebuah pedoman yang mengatur jalannya persidangan perkara pidana secara elektronik, yang termuat dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2020 sebagaimana telah diubah dengan Nomor 8 Tahun 2022 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik. Pasal 191 ayat (2) RUU KUHAP memuat materi yang sama dengan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) Perma 4 Tahun 2020. Namun, RUU KUHAP tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan “keadaan tertentu”. 

Pembuat kebijakan perlu untuk menimbang sejumlah kritik terhadap Perma 8 Tahun 2022 yang belum sepenuhnya berjalan optimal. Kewenangan hakim dalam menetapkan persidangan dilakukan secara elektronik harus memiliki batasan-batasan yang tegas dan jelas. Penafsiran “keadaan tertentu” tidak boleh dijadikan alat oleh pihak-pihak yang mencoba mengganggu upaya pencarian kebenaran materiil. Hal ini didasari pada kenyataan implementasi Perma 8 Tahun 2022 yang menyimpan persoalan, mulai dari minimnya ketersediaan fasilitas audio visual, lemahnya jaringan internet, sampai dengan ketiadaan akibat hukum terhadap putusan yang didasari pada proses pemeriksaaan dengan kondisi jaringan maupun fasilitas audio visual yang buruk. Hal ini berpotensi berujung pada penjatuhan putusan yang bias, keliru, dan merugikan para pihak dalam persidangan. 

Persoalan lainnya adalah prinsip sidang terbuka untuk umum yang tidak terimplementasi dengan baik sepanjang pemeriksaan sidang secara elektronik. Adapun Pasal 18 Perma 4 Tahun 2020 hanya menyebutkan bahwa akses publik terhadap administrasi dan persidangan secara elektronik dilakukan sesuai ketentuan perundang-undangan. Proses sidang elektronik seharusnya tidak dijadikan alasan untuk melimitasi akses publik – secara khusus keluarga korban maupun terdakwa – untuk berada dalam platform komunikasi audio visual guna menyaksikan jalannya persidangan. Pada kenyataannya, sampai saat ini belum ada sistem yang dapat memberikan informasi kepada publik tentang keterbukaan akses menyaksikan jalannya persidangan. RUU KUHAP perlu mengatur secara tegas dan jelas seluruh mekanisme dan akuntabilitas persidangan secara elektronik.

Kedelapan, RUU KUHAP 2025 memuat pengaturan penyelesaian perkara diluar persidangan dengan nama restorative justice (RJ) yang sangat minim pengawasan

Konsep RJ yang diatur dalam draf itu keliru. RJ merupakan pendekatan dalam menangani perkara pidana yang bertujuan memulihkan korban, seperti dengan pemberian ganti rugi pengobatan luka fisik dan psikologi, pelibatan korban dalam Mediasi Penal untuk menyampaikan kerugian dan kebutuhan pemulihannya. Namun RUU KUHAP dalam Pasal 78-83 hingga kini masih keliru mengira RJ merupakan penghentian perkara di luar persidangan (Diversi). Padahal RJ dan Diversi adalah dua barang yang berbeda.

Tak berhenti di situ, dalam menyusun pasal-pasal Diversi pun RUU KUHAP masih salah memahami apa itu penyelesaian perkara di luar persidangan (Diversi). Penuntut umum bisa menangguhkan tuntutannya pada perkara yang ringan bila tersangka mau memenuhi kewajibannya melakukan hal tertentu, misalnya jika membayar ganti rugi kepada korban. Pasal 74-83 RUU KUHAP yang mengatur RJ dilakukan oleh penyidik Polisi menjadi tidak masuk akal, karena urusan penangguhan tuntutan adalah wewenang penuntut umum. 

Lebih tidak masuk akal, penghentian perkara dilakukan pada tahap penyelidikan, yang bahkan masih belum tau apakah ada tindak pidana atau tidak. Anehnya, RUU KUHAP memberikan wewenang penuh mekanisme Diversi pada penyelidik dan penyidik Kepolisian. Sama sekali tidak ada pengawasan lembaga lain, sangat problematis dan tidak akuntabel. Tanpa kepastian akuntabilitas, proses ini berisiko menjadi alat untuk mengabaikan keadilan bahkan pemerasan. Sama seperti yang terjadi selama ini, Kepolisian justru mengintimidasi korban agar mau berdamai.

Kesembilan, penguatan hak-hak korban, saksi, tersangka/terdakwa, dan hak-hak kelompok rentan dalam RUU KUHAP 2025 masih sebatas formalitas tanpa operasional yang jelas

Jaminan terhadap hak korban, saksi, terdakwa/tersangka sudah diatur dalam Pasal 134-136 RUU KUHAP. Namun sayangnya, penguatan dengan disebutkannya hak-hak tersebut tidak diiringi dengan siapa yang menjadi penanggung jawab dari berjalannya pemenuhan hak-hak tersebut. Koalisi Masyarakat Sipil berpendapat bahwa seharusnya RUU KUHAP dapat menjawab permasalahan hak-hak ini secara lebih konkrit dan diberikan keterangan secara langsung mengenai siapa yang bertanggung jawab untuk memenuhi hak tersebut. Hal ini penting supaya tidak terjadi pelemparan tanggung jawab antara penyidik, penuntut umum, bahkan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam penyelenggaraan pemulihan hak-hak korban, saksi, atau terdakwa/tersangka.

Masalah restitusi juga menjadi problem yang belum diselesaikan dalam RUU KUHAP 2025. Dalam Pasal 175 ayat (7), dijelaskan bahwa apabila harta kekayaan Terpidana yang disita tidak mencukupi biaya Restitusi, Terpidana dikenai pidana penjara pengganti. Ketika Terpidana dikenai pidana penjara pengganti, korban akan tetap dalam posisi tidak terpulihkan dengan ganti kerugian terhadap penderitaannya sebagai korban. Artinya, solusi tersebut tidak menjawab masalah utama dari restitusi, yaitu pemulihan kerugian korban. Padahal dalam Pasal 168 dan Pasal 169 RUU KUHAP diatur mengenai ​​dana abadi untuk pembayaran Ganti Kerugian, Rehabilitasi dan Restitusi. Namun justru dana abadi tersebut tidak diatur untuk dapat membayarkan restitusi korban tindak pidana. 

Hak-hak kelompok rentan juga dicantumkan dalam Pasal 137-139 RUU KUHAP tanpa adanya mekanisme operasional yang jelas dalam mengatur bagaimana hak-hak tersebut dapat diakses dan dipenuhi. Ini bukan hanya sekadar kekurangan, tetapi sebuah pengabaian terhadap kebutuhan mendasar untuk memastikan bahwa hak-hak tersebut dapat diakses dan dinikmati secara nyata. Selain itu, tidak jelas pihak mana yang dibebankan kewajiban atas pemenuhan hak-hak tersebut. Forum untuk mengajukan keberatan atas dugaan pelanggaran hak hingga konsekuensi pelanggaran hak juga masih belum diatur. Tanpa adanya langkah konkret, pencantuman hak-hak ini hanya akan menjadi simbol kosong.

Related Posts

  • 15 for Justice
  • Advokasi RUU
  • Alert
  • Dokumen Hukum
  • English
  • ICLU
  • Law Strip
  • Media Center
  • Mitra Reformasi
  • Pengadaan
  • Publikasi
  • Special Project
    •   Back
    • Reformasi Defamasi
    • #diktum
    • Anotasi Putusan
    • Penyiksaan
    • Strategic Litigation
    • RKUHAP
    • Putusan Penting
    • advokasi RUU
    • Advokasi RUU
    • Resources
    • Cases
    • Other Jurisdiction Cases
    • Civil
    • Criminal
    • Media
    • National
    • Public
    • IT Related
    • Torture Cases
    • Torture Resources
    • Laws and Regulation
    • Law Enforcer
    • Survivor
    • Weekly Updates
    • RUU Polri
    • RUU TNI
    •   Back
    • Resources
    • Cases
    • Other Jurisdiction Cases
    • Civil
    • Criminal
    • Media
    • National
    • Public
    • IT Related
    •   Back
    • Civil
    • Criminal
    • Media
    • National
    • Public
    • IT Related
    •   Back
    • Kabar ICJR
    • ICJR di Media
    •   Back
    • Penetapan Presiden
    • Peraturan Menteri
    • Peraturan Pemerintah
    • Surat Edaran
    • Surat Keputusan Bersama
    • Keputusan DitJen PAS
    • Keputusan Menteri
    • Keputusan Presiden
    •   Back
    • Law Enforcer
    • Survivor
    •   Back
    • Torture Cases
    • Torture Resources
    • Laws and Regulation
    • Law Enforcer
    • Survivor
    •   Back
    • Peraturan Mengenai Trafficking
    • Perlindungan Saksi dan Korban
    • Rancangan KUHAP
    • Pemasyarakatan
    • Rancangan KUHP
    • Penetapan Presiden
    • Peraturan Menteri
    • Peraturan Pemerintah
    • Surat Edaran
    • Surat Keputusan Bersama
    • Keputusan DitJen PAS
    • Keputusan Menteri
    • Keputusan Presiden
    •   Back
    • Peraturan
    • Peraturan Mengenai Trafficking
    • Perlindungan Saksi dan Korban
    • Rancangan KUHAP
    • Pemasyarakatan
    • Rancangan KUHP
    • Penetapan Presiden
    • Peraturan Menteri
    • Peraturan Pemerintah
    • Surat Edaran
    • Surat Keputusan Bersama
    • Keputusan DitJen PAS
    • Keputusan Menteri
    • Keputusan Presiden
    •   Back
    • RUU Polri
    • RUU TNI
    •   Back
    • Weekly Updates
Load More

End of Content.

Copyright © 2024 Gogoho Indonesia | Powered by Gogoho Indonesia

Scroll to Top