Dalam debat Capres perdana 12 Desember 2023, Capres 1 dan Capres 3 menghadirkan narasi mengenai korban, dan mengklaim berdiri bersama korban. Lalu kemudian, Capres 2 mengklaim bahwa dirinya didukung oleh korban.
Sepanjang debat berlangsung, menurut ICJR, ketiga capres hanya menempatkan korban tindak pidana sebagai pemanis narasinya. Para Capres belum ada yang membahas perspektif korban yang menyentuh akar permasalahan utama dari pemenuhan hak korban, khususnya dalam sistem peradilan, yaitu tentang pentingnya perbaikan sistem peradilan pidana secara komprehensif, untuk mengakui posisi central korban dan pemenuhan haknya.
Para Capres ketika membicarakan tentang korban, belum dapat mengidentifikasi permasalahan dalam sistem hukum acara pidana yang tidak menghadirkan perlindungan kepada korban secara tegas. Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) saat ini, tidak mengatur secara spesifik tentang hak korban. Hak korban baru diatur kemudian dalam UU Perlindungan Saksi Korban dan UU Spesifik lain seperti UU SPPA, UU Terorisme dan UU TPKS.
Selain itu, praktik pemenuhan hak korban juga masih tersendat, misalnya pembayaran restitusi yang hanya berhasil 7% (LPSK, 2022), Restitusi minim diupayakan aparat penegak hukum (APH) (IJRS, 2023), Rumah Aman untuk korban tidak tersedia (Infid dan ICJR, 2023), koordinasi dengan LPSK yang tersendat (ICJR, 2023), hal itu disebabkan oleh minimnya ketersediaan kantor perwakilan LPSK.
Sebagai contoh, dalam merespons topik penegakan hukum Capres 1 hanya menyinggung Korban KDRT yang meninggal, karena laporannya tidak ditanggapi oleh pihak kepolisian. Capres 1 juga membawa ayah dari korban meninggal dalam aksi demo protes hasil Pilpres 2019, yang pada saat itu merupakan pendukung Prabowo— yang sekarang Capres 2. Namun, sepanjang debat berlangsung Anies tidak menyampaikan gagasan perbaikan yang konkret untuk memastikan hak-hak korban tersebut dapat dipenuhi oleh negara dalam bentuk perbaikan sistem.
Selain itu, tema HAM yang seharusnya dapat menjadi perhatian para Capres untuk menyatakan komitmennya dalam pemenuhan hak korban pelanggaran HAM berat, masih diwarnai dengan politisasi dari masing-masing calon. Sebagai contoh, dalam segmen 3 Capres 1 sempat menyinggung tragedi kanjuruhan dan kilometer 50 (KM 50), dengan melempar pertanyaan itu kepada Capres 3. Namun, Capres 3 hanya menanggapi pertanyaan ini dengan usulan berupa usulan menciptakan kembali Undang-undang (UU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Padahal, dalam visi Capres 3 menguraikan pemahaman pentingnya berpihak pada korban serta dukungan anggaran yang nyata kepada satgas anti kekerasan berbasis gender dan perundungan di seluruh lembaga. Sehingga, sangat disayangkan Capres 3 tidak mengelaborasi pertanyaan tersebut dengan menegaskan langkah konkret dalam pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM.
Politisasi juga terjadi pada respons Capres 2 terhadap pertanyaan yang disampaikan oleh Capres 3. Capres 2 tak menjawab pertanyaan mengenai jika terpilih sebagai presiden, apakah dirinya akan membentuk pengadilan HAM ad hoc dan menjalankan rekomendasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI soal penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Capres 2 hanya mengklaim dirinya sebagai sosok yang sangat keras membela HAM. Bahkan, ia menyatakan bahwa kini dirinya didukung oleh para mantan tahanan politik (tapol).
Dari kondisi tersebut, ICJR menilai bahwa para Capres masih mempolitisasi isu pemenuhan hak korban tindak pidana dan pelanggaran HAM. Seharusnya, perlindungan korban perlu dilakukan dengan perbaikan sistem peradilan pidana.
Oleh karena itu, ICJR memberikan rekomendasi pemerintahan presiden baru untuk:
- Revisi KUHAP untuk mengakomodir hak korban yang lebih komprehensif, termasuk menjamin APH untuk menyadari bahwa memenuhi hak korban bagian dari pekerjaannya.
- Penguatan hak-hak korban dan teknis pemenuhannya dalam praktik, seperti ganti kerugian, kompensasi, restitusi, bantuan hukum, maupun rehabilitasi medis-psikososial yang dijalankan LPSK.
- Perlunya penjaminan kebutuhan spesifik bagi korban kekerasan seksual dan korban anak dalam korban yang komprehensif.
- Perlunya penjaminan kebutuhan spesifik bagi korban kekerasan seksual dan korban anak dalam UU TPKS dan UU SPPA.
Jakarta, 13 Desember 2023
ICJR