JAKARTA, KOMPAS.com – Selama berada di dalam tahanan, seorang tersangka rentan mengalami perlakuan diskriminatif, mendapat kekerasan fisik maupun psikis dari penyidik dan sesama tahanan. Setidaknya tiga indikator disebut sebagai penyebab perlakuan diskriminatif tersebut.
“Indikator pertama, lamanya masa penahanan,” kata Ketua Badan Pengurus Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara, dalam diskusi Melihat Problem Penahanan dalam Rancangan KUHAP, di Kafe Tjikini, Senin (8/4/2013). Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur batas waktu penahanan adalah 110 hari, dan dalam RUU KUHP yang sedang dibahas akan diperpanjang menjadi 140 hari.
Anggara berpendapat, lamanya waktu penahanan ini menjadi persoalan, karena tidak sedikit penyidik yang memperlakukan para tahanan secara kasar untuk mendapat informasi. Padahal, belum tentu orang tersebut nantinya akan diputus bersalah di pengadilan.
Di samping itu, tidak dipisahkannya tahanan yang masih berstatus tahanan sebagai tersangka dengan yang telah berstatus terdakwa, tambah Anggara, juga menjadi persoalan tersendiri. “Akan tumbuh ‘senioritas’ di antara para tahanan, tahanan senior kerap melakukan kekerasan terhadap tahanan baru,” kata dia.
Selain itu, Anggara mengatakan, penyidik di kepolisian memiliki kecenderungan memperlambat jalannya proses penyidikan perkara. Terlebih jika pasal yang dikenakan terhadap seorang tersangka atas suatu perkara hukumannya kurang dari lima tahun. “Para penyidik lebih memilih akan menggunakan batas waktu maksimal untuk melakukan proses penyidikan itu. Bahkan, tidak jarang jika penyidik suka meminta pemanjangan waktu penahanan dengan alasan proses penyidikan belum selesai, sebelum batas waktu penahanan habis,” katanya.
Indikator kedua, lanjut Anggara, adalah persoalan dualisme pengelola tahanan yang ada saat ini. Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur kepolisian yang mengeluarkan rekomendasi penahanan lalu Kementrian Hukum dan HAM yang mengatur pelaksanaan penahanan itu. Namun dalam pelaksanaannya, kepolisian-lah yang justru melakukan penahanan terhadap tersangka selama masa sebelum pengadilan. “Mereka melakukan penahanan dengan alasan agar memudahkan penyelidikan. Tapi ternyata, tidak sedikit para tersangka yang yang ditahan justru mendapat kekerasan psikis,” katanya.
Kekerasan psikis yang dialami oleh para tahanan itu, kata Anggara, berupa pemeriksaan di luar waktu normal, seperti pada malam hari, tengah malam atau bahkan pada saat subuh. “Dan kejadian seperti itu sering terjadi,” ujarnya. Bila mengacu KUHAP, kepolisian seharusnya tak diizinkan memiliki rumah tahanan sendiri. “Tahanan itu tetap harus menjadi wewenang rutan. Tidak ada alasan bagi penyidik untuk repot menjemput tahanan guna dilakukan proses penyidikan,” ujarnya.
Sedangkan indikator ketiga, kata Anggara, adalah persyaratan penahanan yang tidak diatur secara jelas. Karenanya, penyidik dapat dengan mudah melakukan penahanan hanya karena alasan kekhawatiran yang tidak pasti tanpa dilandasi faktor yang jelas, seperti pelaku akan lari ke luar negeri atau menghilangkan alat bukti. “Padahal jika di luar negeri itu, penahanan menjadi opsi terakhir yang dilakukan. Selama bisa menjadi tahanan kota atau tahanan rumah, maka jenis penahanan itulah yang akan diberikan. Hal ini berkaitan dengan HAM seseorang,” katanya.
Sumber: Kompas.com