Pada Minggu dini hari, 24 November 2024 terjadi penembakan terhadap anak Gamma yang dilakukan oleh Aipda Robig Zaenudin anggota Satuan Reserse Narkoba Polrestabes Semarang. Saat ini, kepolisian masih melakukan penyelidikan atas dugaan pelanggaran kode etik sekaligus tindak pidana yang dilakukan Aipda Robig Zaenudin.
Perlu digasirbawahi, pada awal kasus ini muncul, Polisi sempat membantah bahkan menyebut Gamma sebagai pelaku tawuran, tidak ada mekanisme yang bisa mengawasi polisi bahkan kewenangan lain seperti Jaksa sebagai penuntut yang harusnya mengawasi penyidikan juga tidak dapat melakukan pengawasan karena harus menunggu koordinasi dari kepolisian sebagai penyidik.
Lebih lanjut, dalam konteks penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh polisi, terdapat kecenderungan adanya konflik kepentingan, ketika polisi menyelidiki tindakan pidana yang dilakukan oleh sesama anggota, terdapat kekhawatiran bahwa penyelidikan tidak akan dilakukan secara objektif dan transparan mengingat hubungan kolegial dan hierarki internal yang ada di dalam institusi kepolisian.
Buruknya penyidikan ini tidak hanya terjadi pada tindak pidana yang dilakukan oleh anggota kepolisian saja, secara umum dalam sistem pidana di Indonesia Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, proses penyidikan diatur dengan kewenangan yang besar bagi penyidik tanpa adanya mekanisme kontrol yang ketat dari lembaga di luar kepolisian. KUHAP sudah 40 tahun lebih belum direvisi, sehingga Polisi yang selalu memiliki kewenangan besar tidak dibarengi dengan mekanisme pengawasan dan uji yang ada.
ICJR menilai kondisi ini menimbulkan potensi penyalahgunaan wewenang, di mana penyidik memiliki keleluasaan untuk menentukan arah penyidikan tanpa pengawasan yang memadai. Hal ini diperparah dengan minimnya kontrol efektif dari penuntut umum, yang seharusnya berperan sebagai pengawas dalam proses penyidikan. Akibatnya, sering terjadi kasus bolak-balik berkas antara penyidik dan penuntut umum, serta penahanan yang dilakukan secara berlebihan dan tidak proporsional.
Perbaikan menjadi penting agar penyidikan ditempatkan di bawah pengawasan penuntutan. Dengan demikian, Pengawasan atau kontrol secara eksternal dalam proses penyidikan seharusnya dapat dijalankan oleh jaksa, menimbang perannya sebagai “dominus litis” (pemilik perkara) dalam perkara pidana agar memastikan bahwa setiap langkah penyidikan dilakukan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam penegakan hukum, serta meminimalisir potensi penyalahgunaan wewenang oleh penyidik.
Reformasi ini juga perlu diiringi dengan penguatan mekanisme pengawasan eksternal, termasuk penguatan peran lembaga pengawas independen yang dapat memastikan bahwa tindakan penyidikan dilakukan secara profesional dan akuntabel. Perbaikan melalui KUHAP perlu dilakukan untuk menegaskan penguatan mekanisme pengawasan penyidikan. Peran Hakim Pemeriksa Pendahuluan perlu dipertegas untuk mengawasi jalannya penyidikan dan memastikan bahwa setiap tindakan penyidikan dilakukan secara sah dan berkeadilan.
Jakarta 4 Desember 2024,
ICJR