Tidak Ada Dasar Jaksa Untuk Menggunakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE Untuk Menuntut Florence Sihombing
Hari ini, Florence Sihombing (Flo), dituntut melanggar Pasal 27 ayat 3 jo. Pasal 45 ayat 1 UU ITE oleh Jaksa PN Yogyakarta. Jaksa meminta majelis Hakim PN Yogyakarta untuk menjatuhkan pidana 6 bulan penjara masa percobaan 12 bulan dengan denda Rp 10 juta atau susider 3 bulan kurungan terhadap Flo, karena dianggap melakukan penghinaan terhadap kota Yogyakarta.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) merasa prihatin terhadap pemahaman Jaksa dalam menggunakan Pasal 27 ayat 3 UU ITE, selain juga menegaskan bahwa kasus Flo merupakan bukti dari buruknya penerapan Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh Hakim PN Yogyakarta dalam kasus ini, ICJR memiliki catatan penting yang nantinya harus dipertimbangkan oleh majelis Hakim.
Pertama, ICJR menilai bahwa Jaksa salah dalam menerapkan Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Bahwa menurut putusan MK No. 50/PUU-VI/2008 tentang pengujian Pasal 27 ayat (3) UU ITE terhadap UUD 1945, kontruksi Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Itu berarti unsur penghinaan haruslah ditujukan pada kehormatan atau nama baik seseorang. Hal yang menarik adalah Flo dinyatakan melakukan penghinaan terhadap kota Yogyakarta, yang serta merta tidak memenuhi unsur kehormatan atau nama baik seseorang.
Kedua, Kata-kata yang dituliskan Flo harus dilihat sebagai efek dari kemarahannya atas fasilitas publik kota Yogyakarta. Kebebasan menyatakan pendapat terhadap pelayanan publik beberapa kali dianggap sah oleh putusan Hakim, sepanjang ditujukan untuk melakukan kritik. Hal itu dapat dijumpai dalam Putusan Ervani Emy Handayani yang melakukan kritik terhadap tempat kerja suaminya ataupun dalam Putusan Prita Mulyasari yang melakukan kritik pada RS Omni Intenasional atas pelayanan yang diterimanya.
Ketiga, Pasal 27 ayat (3) UU ITE pada dasarnya mensyaratkan terkait perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya suatu informasi yang memiliki penghinaan. Dalam kasus Flo, dirinya bukanlah orang yang mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya suatu muatan informasi yang dianggap penghinaan terhadap kota Yogyakarta tersebut. Kasus Flo baru terangkat ketika ada salah seorang temannya menyebarkan postingan di media sosial path pribadi milikinya.
Atas dasar tersebut ICJR meminta Hakim PN Yogyakarta untuk berhati-hati memeriksa kasus Flo, sebab dampak apabila Flo sampai dijatuhi pidana dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah bertambah panjangnya deretan ketidakjelasan penerapan Pasal 27 ayat (3) UU ITE tersebut.
Selain itu ICJR juga mendorong agar Pemerintah dan DPR yang nantinya membahas perubahan UU ITE agar memberikan perhatian khusus pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE. ICJR menilai bahwa kasus-kasus yang selama ini menggunakan Pasal 27 ayat (3) menjadi alasan kuat perlu dihapuskannya Pasal tersebut dari UU ITE. Selain karena rumusan yang tidak jelas, pengaturan pidana dalam UU ITE telah mengakibatkan over criminalization, atau kriminalisasi berlebih karena penghinaan pada dasarnya telah diatur dalam KUHP.
Artikel Terkait
- 24/08/2017 ICJR Kirimkan Pendapat Hukum Kasus Penghinaan Motivator: Ada Unsur Kepentingan Umum yang Harus Diperhatikan
- 21/08/2017 Motivator Wempy Dyocta Koto, Laporkan Penulis Ilmiah ke Kepolisian Atas Dasar Pencemaran Nama Baik
- 10/08/2017 ICJR : Tak Ada Pidana Dalam Kasus Acho
- 28/02/2017 ICJR Kirimkan Amicus Curiae Dalam Kasus Yusniar di PN Makassar
- 27/10/2016 Respon atas Rencana Penetapan Revisi UU ITE: Lima Masalah Krusial Dalam Revisi UU ITE yang Mengancam Kebebasan Ekpresi di Indonesia
Related Articles
RKUHP Masih Over Kriminalisasi dan Belum Berpihak pada Perempuan
Bab XVI tentang Kesusilaan telah dibahas oleh Panja RKUHP Komisi III DPR RI tanggal 14 Desember 2016 kemarin. Asosiasi LBH
ICJR: Arah Revisi UU ITE Harus Sejalan dengan Pembahasan RKUHP
Pada 22 Desember 2015, akhirnya Presiden melalui surat bernomor R-79/Pres/12/2015 tertanggal 21 Desember 2015 secara resmi menyampaikan naskah Rancangan Undang-Undang
Minim Pengaturan, Praperadilan Hasilkan Putusan Janggal dan Tidak Menjamin Kepastian Hukum
ICJR dorong Pemerintah segera terbitkan Peraturan Pemerintah tentang Hukum Acara Praperadilan Praperadilan kembali menjadi sorotan pasca Hakim Praperadilan PN Surabaya