ICJR mengutuk tindakan pelaku dan mengamini kemarahan publik, namun jangan sampai pilihan pidana malah menghambat proses hukum dan fokus pada pemulihan korban kedepan dan untuk kasus-kasus yang mungkin akan terjadi lagi.
—
Herry Wirawan, yang diperiksa atas perkara perkosaan terhadap 13 santriwati di Bandung dituntut dengan pidana mati dan denda serta pidana tambahan berupa kebiri kimia. Dirinya juga dituntut atas restitusi untuk korban sebesar Rp331 juta.
ICJR mengutuk perbuatan pelaku dan mengamini marahnya kita semua dengan kasus ini. Namun yang perlu terus ditekankan adalah kita semua untuk melihat apa yang menjadi akar permasalahan perkosaan dan kekerasan seksual. Pendekatan semata-mata pada penghukuman seberat-beratnya justru hanya akan mengecohkan perhatian kita dari permasalahan sistemik dan mendasar mengapa terjadi kekerasan seksual.
ICJR menyayangkan tuntutan pidana mati tersebut disertai hukuman lain. Baik dalam tataran normatif maupun filosofis, tuntutan pidana mati ini bermasalah.
Pertama, penuntutan pidana mati bersama jenis pidana lain merupakan pelanggaran terhadap prinsip di dalam KUHP. Dalam Pasal 67 KUHP telah dinyatakan bahwa apabila seseorang dijatuhi pidana mati, dirinya tidak dapat dijatuhi pidana tambahan lain kecuali pencabutan hak tertentu dan pengumuman putusan hakim. Filosofi dari adanya pengaturan ini adalah bahwa pidana mati merupakan pidana yang paling berat dapat, berupa perampasan nyawa oleh negara. Dengan menjatuhkan pidana mati, negara kehilangan haknya untuk dapat menjatuhkan jenis pidana lain, karena terpidana telah dirampas seluruh kepemilikannya melalui perampasan nyawa. Dengan hal ini, maka seharusnya penuntut umum berhati-hati menggunakan pidana mati. Jangan sampai pidana mati justru hanya akan melemahkan peran negara di aspek lain, misalnya untuk merampas harta benda pelaku untuk pemulihan korban, atau memupuk pertanggungjawaban pelaku agar selaras dengan pemulihan korban.
Kedua, adanya pidana tambahan kebiri kimia menandakan adanya masalah pemahaman hukum bahkan dari aparat penegak hukum sendiri. Pidana kebiri kimia tidak dimungkinkan untuk dijatuhkan dalam kasus ini, karena pidana ini hanya dapat dijatuhkan setelah pidana pokok selesai dijalankan. Jika pidana pokoknya adalah pidana mati, lantas bagaimana penerapan kebiri tersebut? ini hal miris dari tindakan aparat penegak hukum.
Ketiga, terdapat suatu kesalahan penuntut umum menyusun tuntutannya dengan banyaknya tuntutan yang dimuat. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, dalam Pasal 67 KUHP pidana mati tidak bisa dibarengi pidana lain. Namun, apabila kemudian Penuntut Umum berdalih bahwa ketentuan Pasal 67 KUHP belum berlaku selama hakim belum memutuskan, menjadi pertanyaan kemudian, apakah memang Penuntut Umum ragu-ragu di dalam menjatuhkan tuntutan hingga harus memberikan berbagai macam opsi pidana untuk dapat ‘dilipih’ oleh hakim. ICJR berpandangan bahwa, dalam hal pidana mati, maka Penuntut Umum seharusnya berada dalam kondisi ‘lebih dari yakin” dalam menuntut seseorang setelah melalui proses pembuktian atas dakwaan yang diajukan. Penuntut Umum harus yakin menjatuhkan pidana yang dianggapnya patut dijatuhkan kepada terdakwa, dengan memperhatikan ketentuan yang ada, termasuk soal pidana mati tidak bisa digabungkan dengan pidana lain.
Keempat, hukuman mati akan mempersulit proses hukum kedepan dan pemberian fokus pada korban. Secara teori dan praktik, hal ini terjadi, popularitas yang dikejar dengan penjatuhan pidana mati mengakibatkan proses pidana terancam. Kedepan, apabila ada kasus yang melibatkan antar negara, akan sulit melakukan MLA (mutual legal assistance) atau ekstradisi dalam kasus-kasus kekerasan seksual apabila pidana mati dijatuhkan.
Kelima, pidana mati tidak pernah dibuktikan secara konklusif dapat memberikan efek jera kepada pelaku dan mengurangi angka terjadinya kekerasan seksual. Pidana mati untuk kekerasan seksual sudah pernah diterapkan di negara-negara Asia Selatan, misalnya India, Bangladesh dan Pakistan, tapi masalah kekerasan seksual pun tidak terselesaikan dengan menjatuhkan pidana mati tersebut. Di Indonesia, penjatuhan pidana mati pernah juga dijatuhkan untuk kasus-kasus perkosaan terhadap anak. Pertanyaan mendasar, dengan menerapkan pidana mati, apakah publik menjadi tercerahkan bahwa kekerasan seksual terjadi karena adanya ketimpangan relasi kuasa? apakah publik juga menjadi paham bahwa peristiwa ini terjadi karena tidak tergaungkannya narasi betapa penting melindungi integritas tubuh, termasuk integritas tubuh anak dalam pengawasan orang yang memiliki kuasa. Narasi ini bahkan tidak mudah diterima masyarakat bahwa di ruang legislasi pun tak mampu dipahami. Hal, yang harusnya menjadi salah satu fokus pemerintah.
Alih-alih menciptakan rasa aman bagi korban, pidana mati dalam kekerasan seksual juga akan membuat ruang aman korban terganggu. Menurut artikel Bansari Kamdar mengenai “Ineffectiveness of Death Penalty for Rape in South Asia pada Januari 2021,” pidana mati justru menciptakan ketakutan baru bagi korban karena korban. Mayoritas pelaku kekerasan seksual adalah orang terdekat korban, bahkan orang yang menanggung kelangsungan hidup korban. Ketika pidana mati diterapkan kepada pelaku, korban justru akan mengalami ketakutan untuk melaporkan kasusnya, karena ketakutan akan menjerat orang terdekat, bahkan takut akan membuat seseorang dihukum mati. Penuntutan dan penjatuhan pidana mati bagi pelaku kekerasan seksual hanya menciptakan ilusi atas keadilan bagi korban dan ungkapan amarah sesaat, dengan tanpa menaruh beban kepada negara untuk dapat memberikan perlindungan nyata bagi korban kekerasan seksual.
Jakarta, 14 Januari 2022
ICJR
CP: Maidina Rahmawati