Penjebakan Narkotika oleh Aparat Kepolisian terjadi lagi. Penjebakan adalah bentuk pelanggaran atas kewenangan under cover buying atau pembelian terselubung dan controlled delivery atau penyerahan di bawah pengawasan.
Terjadinya pelanggaran kewenangan ini harus ditindak tegas.
Hal ini terjadi pada kasus dengan korban Erni yang membeli sebuah skincare di salah satu marketplace namun barang yang diterimanya adalah sebuah obat dengan bungkus berwarna biru. Peristiwa ini dibagikan melalui akun pribadi Erni Julianingsih.
Skincare tersebut tiba pada tanggal 10 Agustus pukul 14.00, namun Erni pergi keluar kota dan baru kembali pada 17 Agustus 2024 dan membuka paket pesanan. Erni pun melaporkan barang kiriman yang tidak sesuai tersebut ke toko marketplace, namun tidak ada respon.
Tidak lama setelah paket itu datang, rumahnya didatangi oleh 3 orang petugas kepolisian dengan membawa surat pengangkapan atas nama Christian Hartopo. Petugas Polrestabes kemudian memaksa untuk masuk ke rumah dan melakukan penggeledahan untuk mencari bukti adanya transaksi narkotika atas nama Christian Hartopo yang dituju ke alamat rumahnya. Kemudian, Erni dibawa ke Polrestabes Surabaya untuk dilakukan interogasi dan akhirnya terungkap bahwa kasus tersebut adalah kasus salah tangkap karena terdapat bukti bahwa pukul 13.00 Erni sudah melaporkan barang yang tidak sesuai sebelum kejadian penggerebekan jam 4 sore.
Teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan dikenal dalam Pasal 75 dan 79 UU Narkotika, yang memperbolehkan tindakan tersebut dilakukan atas perintah tertulis dari pimpinan.
Jika dianalisis dari keseluruhan kebijakan narkotika dan karekteristik tindak pidana narkotika, maka seharusnya kedua kewenangan ini hanya digunakan dengan tujuan membongkar jaringan kejahatan terorganisir dan transnasional. Penggunaanya harus sangat terbatas dan akuntabilitasnta harus terjamin.
Namun, dalam UU Narkotika, kedua kewenangan ini sama sekali tidak mengatur pelaksanaannya dalam konteks hukum acara secara detail dengan batasan yang jelas.
Sebelumnya, LBH Masyarakat telah melakukan permohonan informasi publik terhadap aturan BNN tentang kedua kewenangan ini, namun gagal karena aturan ini dianggap bersifat rahasia. Kondisi ini menyebabkan pelaksanaan kewenangan itu tergantung pada inisiatif-inisiatif penegak hukum yang tidak jelas acuan pastinya, yang tentu saja berkonsekuensi pada ketiadaan standard dan pengawasan akuntabel yang dapat diacu.
Dalam titik ekstrim, hal ini kemudian berdampak pada sangat terbukanya kemungkinan dilakukannya pelanggaran kewenangan dan penyalahgunaan kekuasaan yaitu dengan terjadinya penjebakan (entrapment) seperti yang dilaporkan Erni, yang seharusnya tidak boleh terjadi pada penegakan hukum pidana.
Penjebakan dilarang karena korban sama sekali tidak memiliki intensi untuk melakukan tindak pidana, perbuatan yang digerakkan oleh aparat penegak hukum menandakan tidak adanya unsur kesalahan yang menjadi dasar dapat diberlakukannya pertanggungjawaban pidana.
Kritik terhadap pelaksanaan kedua kewenangan ini sudah pernah disampaikan oleh Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 10 K/Pid.Sus/2015, putusan tersebut menjelaskan teknik undercover buy dan controlled delivery memang tipis batasnya dengan penjebakan (entrapment) yang dilarang dalam hukum acara pidana, namun dapat dibedakan. Mahkamah Agung melalui putusan tersebut secara tegas mengatakan bahwa untuk menyatakan undercover buy atau controlled delivery adalah sah, maka perlu dilakukan pengujian terhadap dua hal. Pertama, terdakwa harus memiliki pengetahuan untuk melakukan suatu tindak pidana. Kedua, terdakwa memiliki unsur kesalahan dalam perbuatan pidana itu. Dalam pertimbangan putusan tersebut dijelaskan bahwa dalam penggeledahan pun harus dipastikan barang bukti narkotika yang ditemukan memang milik orang yang dituduh.
Penjebakan dan rekayasa terhadap barang bukti narkotika seringkali dilakukan oleh kepolisian, hal ini juga disampaikan Mahkamah Agung dalam putusan 401 K/Pid.Sus/2012.
Untuk itu, JRKN menuntut:
Pertama, Kapolri melakukan penyidikan terhadap dugaan rekayasa kasus yang terjadi di Polrestabes Surabaya
Kedua, DPR harus segera memanggil Kapolri dan BNN untuk membuka peraturan internal dan seluruh pelaksanaan kedua kewenangan ini, untuk mempertanggungjawabkan kepada publik
Ketiga, melakukan revisi terkait UU Narkotika dan KUHAP terkait larangan penjebakan dan mengatur mekanisme pelaksanaan kewenangan dan pengawasan terkait ketentuan undercover buy atau controlled delivery yang terjamin akuntabilitasnya.
Hormat kami,
Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN)