Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengadakan diskusi media dengan tema “Prospek Implementasi Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia” di Kedai Tjikini, Jalan Cikini Raya, Jakarta, Selasa (18/11). Dalam diskusi tersebut hadir sebagai pembicara Tommy Albert Tobing dari LBH Jakarta dan Adzkar Ahsinin dari Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA).
Dalam diskusi ini, Erasmus Napitupulu, peneliti Institute For Criminal Justice Reform (ICJR), mengatakan bahwa UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) digadang – gadang sebagai suatu regulasi yang pro hak anak dan mengadopsi berbagai prinsip – prinsip penting dalam Konvensi Hak Anak. Pengesahan UU SPPA diklaim merupakan langkah maju dari Indonesia sebagai salah satu Negara yang meratifikasi Konvensi Hak Anak dan merupakan produk hukum yang membawa paradigma baru dalam bidang hukum.
“Meskipun membawa semangat baru, UU SPPA dilahirkan tanpa persiapan lanjutan yang memadai sehingga masih memiliki cacat-cacat,” ujar Erasmus dalam diskusi tersebut.
Dalam catatan ICJR, katanya ada tiga hal penting yang harus dipersiapkan oleh pemerintah terkait dengan pelaksanaan UU SPPA yaitu mempersiapkan produk hukum pendukung, persiapan terhadap peran aparat penegak hukum, persiapan tempat penahanan dan pemasyarakatan anak.
Karena itu, menurutnya pemerintah juga perlu didorong untuk memperbaiki sarana dan prasarana yang diperlukan agar pelaksanaan UU SPPA ini dapat berjalan dengan optimal. “Peran pemerintah sangat penting agar implementasi UU SPA berjalan optimal,” ujarnya.
Tapi kritik terhadap UU SPPA juga cukup beragam dimana salah satunya menurut Erasmus adalah minimnya kontrol terhadap penggunaan upaya paksa. Secara umum, UU SPPA masih mengadopsi prinsip-prinsip dasar dari UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP 1981). Tak heran jika UU SPPA pada dasarnya juga telah membawa cacat hak asasi manusia sejak kelahirannya.
Tommy mengungkapkan kritik lain mengenai diversi. Karena dalam UU SPPA, diversi pada anak dengan di-titikberatkan pada sudut pandang korban. Di samping itu, Tommy juga menilai bahwa para aparat penegak hukum tidak memahami dengan baik tentang tujuan dari diversi itu sendiri.
Adzkar juga mengkritik batas usia minimal anak untuk dimintakan pertanggungjawaban pidana dalam UU SPPA yang masih terlalu rendah, yakni 12 tahun. Ia mengutip Komentar Komite Hak Anak No. 10 tahun 2007 yang mendorong negara-negara untuk memperkenalkan usian minimal pertanggungjawaban pidana yang lebih tinggi, misalnya 14 atau 16 tahun.