Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia selama ini selain mengenal istilah alat bukti juga dikenal istilah barang bukti. Secara definisi hukum dan teori hukum pembuktian, keduanya tentu memiliki peran dan aturan penggunaan yang berbeda dalam proses pembuktian kasus pidana. Secara sederhana, barang bukti biasanya merujuk pada barang-barang yang memiliki kaitan dengan suatu tindak pidana yang kemudian terhadapnya dilakukan penyitaan oleh otoritas penegak hukum yang berwenang. Berbeda dengan istilah alat bukti yang secara limitatif telah ditentukan bentuk-bentuknya dalam aturan hukum acara pidana untuk digunakan sebagai dasar pembuktian suatu perbuatan pidana. Dalam konteks tersebut, baik barang bukti maupun alat bukti sama-sama memiliki peran yang pada akhirnya dapat menentukan penjatuhan pidana terhadap seseorang.
Namun, dalam hal tertentu, penyematan barang bukti dan alat bukti dapat menjadi kabur misalnya ketika bukti yang diperdebatkan dalam bentuk surat. Bagaimana proses dari sebuah barang bukti untuk dapat dipertimbangkan masih memerlukan alat bukti keterangan saksi/ahli yang dapat ‘menjelaskan’ barang bukti tersebut, juga selalu menjadi pertanyaan yang valid ketika membahas hubungan barang bukti dan alat bukti. Hingga akhirnya, diskursus soal alat bukti dan barang bukti ini berkembang dengan disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada Mei 2022 yang mengkualifikasikan barang bukti sebagai alat bukti.
Tulisan ini akan memperkaya pemahaman kita tentang bagaimana cara kerja alat bukti dan barang bukti dalam menentukan kesalahan seseorang dalam proses peradilan pidana, baik dari segi penggunaan keduanya dalam perkara pidana pada umumnya, maupun secara khusus dengan adanya perkembangan hukum acara pidana yang diatur dalam UU TPKS yang semacam meleburkan konsep keduanya.
Klik di sini untuk akses dokumen.