Pada momen perayaan Hari Kejaksaan yang ke-61, ICJR mendorong jaksa untuk memaksimalkan penggunaan alternatif penahanan dan pemidanaan non pemenjaraan pada penuntutannya khususnya dalam mengatasi masalah penyebaran Covid-19 di lingkungan Rutan dan Lapas. Jaksa sebagai pengendali perkara (dominus litis) dalam kasus pidana mempunyai kewenangan untuk menuntut jenis hukuman yang tidak selalu harus dalam bentuk pemenjaraan, juga berwenang untuk mengubah jenis penahanan di dalam rutan menjadi bentuk penahanan lain atau bahkan tidak melakukan penahanan sama sekali melalui mekanisme penangguhan penahanan, hal ini juga sejalan dengan restorative justice, melihat pada pemulihan, tidak hanya penghukuman. Selain itu, jaksa juga perlu menekankan kewenangannya, bahwa dalam melakukan penuntutan harus berdasarkan asas oportunitas, untuk mampu melihat kasus-kasus yang sebenarnya dapat diselesaikan di luar peradilan pidana, terlebih dalam masa darurat pandemi Covid-19.
Dalam sistem peradilan pidana, jaksa memegang hak “tunggal” dalam penuntutan (dominus litis – penguasa perkara). Jaksa bertanggung jawab memimpin seluruh tahapan proses pidana mulai dari masa pra-persidangan hingga eksekusi.
Jaksa dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya saat ini dihadapkan oleh berbagai macam tantangan khususnya dalam kondisi darurat pendemi Covid-19. Masalah utama jelas terletak pada situasi overcrowding di rutan dan lapas yang terus naik bahkan lebih buruk dari sebelum kondisi pandemi. Pada Februari 2020 level overcrowding berada pada angka 98%, sedangkan terakhir pada Juni 2021 level overcrowding telah menyentuh angka 100%, dengan jumlah penghuni mencapai 271.992 orang sedangkan kapasitas hanya 135.981 orang. Kemudian, pada masa pandemi ini juga ditemukan banyak penerbitan peraturan yang begitu mudah mempromosikan penggunaan sanksi pidana terhadap pelanggar PPKM. Jaksa sebagai penguasa perkara pidana harus lebih progresif dan sensitif melihat permasalahan ini, pada praktiknya, penegakan hukum pelanggar PPKM berdampak bagi masyarakat khususnya dengan ekonomi menengah ke bawah yang juga buta hukum. Jaksa harus melihat kebutuhan dan tujuan pemidanaan sebelum melakukan penuntutan pada kasus seperti ini.
ICJR memberikan beberapa poin rekomendasi berikut bagi jaksa selaku dominus litis agar dapat memegang kendali untuk mengatasi masalah pandemi Covid-19 di peradilan pidana:
Pertama, Jaksa perlu memaksimalkan penangguhan penahanan dan memaksimalkan alternatif penahanan. Jaksa harus mulai berani menghentikan praktik umum mudahnya melakukan penahanan yang menempatkan tersangka/terdakwa dalam rutan maupun tempat-tempat penahanan lainnya (kantor kepolisian, kantor kejaksaan, bahkan lapas). Jaksa dapat menerapkan alternatif penahanan non-rutan sebagaimana disediakan oleh KUHAP dalam Pasal 22 antara lain penahanan kota dan penahanan rumah. Selain itu, KUHAP melalui Pasal 31 juga menyediakan peluang yang dapat digunakan oleh jaksa untuk memberikan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan, baik dalam bentuk jaminan orang maupun jaminan uang. Dengan menerapkan mekanisme-mekanisme ini, jaksa dapat berkontribusi secara signifikan untuk mengatasi masalah overcrowing di rutan dan lapas.
Kedua, jaksa dalam melakukan penuntutan harus memaksimalkan alternatif pemidanaan non pemenjaraaan. Adapun bentuk-bentuk alternatif pemidanaan non pemenjaraaan yang dapat diadopsi antara lain menuntut terdakwa dengan pidana percobaan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 huruf a-c KUHP dengan syarat umum dan syarat khusus seperti pembayaran ganti kerugian; mengutamakan pidana denda dengan nominal yang wajar, masuk akal, dapat diterpkan dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi terdakwa; serta mengajukan rehabilitasi untuk pengguna narkotika. Perlu dipahami rehabilitasi medis tidak hanya dalam bentuk rehabilitasi rawat inap atau dalam lembaga, namun bisa dalam bentuk rawat jalan, yang sejalan dengan PPKM.
Ketiga, memaksimalkan mekanisme keadilan restoratif atau restorative justice. Jaksa juga memiliki kewenangan eksklusif berdasarkan asas oportunitas untuk mengesampingkan perkara atau seponering yang dapat diprioritaskan untuk kelompok masyarakat kurang mampu secara ekonomi, utamanya dalam konteks pandemi Covid-19. Penggunaan asas oportunitas dijamin dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang menyatakan bahwa “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, yaitu kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas”. Selanjutnya Pasal 37 ayat (1) UU Kejaksaan juga mengamanatkan bahwa “Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan berdasarkan hukum dan hati nurani”. Tidak hanya dalam kewenangan seponering, dalam menjamin pelaksanaan asas oportunitas, jaksa juga berwenang menerbitkan surat keputusan penghentian penuntutan sebagaimana diatur dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP. Penerapan ini juga memaksimalkan penerapan Peraturan Jaksa Agung No. 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Arah pemidanaan yang bukan lagi bertumpu pada pembalasan/retributif harus dipahami oleh seluruh aparat penegak hukum yang bekerja dalam setiap tingkatan pemeriksaan perkara pidana, tidak terkecuali jaksa. Sehingga dalam menangani kasus-kasus pidana khususnya di masa darurat pandemi Covid-19 ini, sebelum melakukan penuntutan, jaksa perlu mempertimbangkan perlu/tidaknya dilakukan pemidanaan, melihat pada pemulihan dan terbuka pada peluang penyelesaian perkara di luar pengadilan. Hal ini dapat dilakukan jaksa untuk memastikan proses pra-penuntutan dan penuntutan didasarkan pada pemulihan, bukan semata-mata penghukuman, yang diharapkan juga berdampak positif bagi optimalnya alternatif penahanan non rutan dan alternatif pemidanaan non pemenjaraan. Selebihnya, dengan pendekatan yang lebih humanis dan berkeadilan seperti ini, maka kepercayaan publik pada kejaksaan diharapkan bisa meningkat.
Jakarta, 22 Juli 2021
Hormat Kami,
ICJR