Kanal berita online, Kompas.com, pada 5 Juli 2020 melansir berita adanya perkosaan terhadap anak korban perkosaan yang tinggal di rumah aman milik P2TP2A Lampung Timur. Perkosaan ini dilaporkan dilakukan oleh Kepala P2TP2A sendiri. Laporan adanya tindak pidana ini dilakukan setelah anak korban berhasil melarikan diri dan bercerita kepada keluarganya. Anak korban juga melaporkan dirinya diperintahkan secara paksa untuk melakukan hubungan seksual dengan orang lain dan diberikan imbalan berupa uang oleh Kepala UPT P2TP2A tersebut. Menurut keterangan pendamping anak korban, anak korban mungkin bukanlah satu-satunya korban perkosaan oleh Pelaku.
ICJR mendesak aparat penegak hukum untuk mengusut secara tuntas laporan kasus ini. Perhatian yang serius harus diberikan, sebab kasus ini dilakukan oleh pemimpin unit pelayanan yang memiliki tanggung jawab utama untuk memberikan perlindungan dan juga pemulihan kepada anak korban. Pemberatan pidana terhadap Pelaku yang merupakan aparat perlindungan anak harus dapat diaplikasikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, mengingat sentral Pelaku yang seharusnya memberikan rasa aman kepada Anak Korban.
Selain tindak pidana perkosaan, terhadap Pelaku juga terdapat dugaan dilakukannya perdagangan orang, mengingat anak korban menyatakan dirinya pernah dipaksa untuk berhubungan seksual dengan orang lain oleh Pelaku dan diberikan uang sebesar Rp700.000 dimana Rp200.000 ribunya diberikan kepada Pelaku. Kepolisian harus menelusuri dengan serius keterangan korban ini dan memastikan pula apakah peristiwa ini dialami oleh perempuan dan anak lain yang berada di bawah pengawasan Pelaku. Pola-pola perdagangan orang seperti ini harus dengan hati-hati ditelusuri dan jika memang terbukti, aparat penegak hukum harus tegas dalam menerapkan pasal yang dikenakan terhadap Pelaku.
Prioritas penanganan kasus ini juga harus diberikan dan difokuskan kepada anak korban. Sesuai dengan ketentuan Pasal 6 UU Perlindungan Saksi dan Korban, korban kekerasan seksual berhak untuk memperoleh bantuan berupa bantuan medis dan rehabilitasi psikososial dan psikologis. Hal inilah yang harus segera diberikan kepada korban. Hak korban juga termasuk pada upaya untuk menjamin korban mendapatkan restitusi atau ganti kerugian, maka penyitaan dan perampasan atas aset pelaku untuk menjamin restitusi pada korban harus diupayakan oleh penyidik dan penuntut umum.
Pemulihan yang sifatnya segera dan khusus harus diberikan kepada anak korban sebab dirinya sudah berkali-kali menjadi korban kekerasan seksual. Belum sempat pulih dari peristiwa perkosaan yang dialaminya, korban justru harus mengalami peristiwa yang sama lagi dan hal tersebut harus menjadi dasar diberikannya perlindungan yang sifatnya ekstra kepada korban. Jaminan perlindungan keselamatan pun harus diberikan kepada anak korban dan keluarganya, mengingat Pelaku dari peristiwa ini adalah seorang pejabat pemerintahan.
ICJR mendorong seluruh pemangku kebijakan yang terkait di dalam perlindungan korban segera bergerak secara sinergis memastikan bantuan tersebut diberikan kepada korban. Pemulihan yang diberikan tidak harus menunggu proses hukum berjalan, melainkan harus diberikan dengan segera dan di seluruh tahapan bahkan hingga pasca proses hukum selesai. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban serta Pemerintah Daerah Lampung Timur harus turun tangan langsung untuk memastikan pemenuhan hak korban berjalan dengan baik, mengingat P2TP2A di daerah tersebut sudah tidak dapat menjadi opsi lagi mengingat apa yang terjadi kepada korban.
Tidak hanya Pemerintah Daerah, terjadinya peristiwa ini juga harus menjadi cambuk bagi Pemerintah Pusat. Presiden dan Menteri Pemberdayaaan Perempuan dan Perlindungan Anak harus menyadari bahwa evaluasi terhadap unit pelayanan teknis Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) di seluruh Indonesia perlu dilakukan. Evaluasi pun harus dilakukan secara komprehensif, bukan hanya mengenai disiplin administrasi, formal birokrasi ataupun hanya fasilitas fisik, namun juga mengenai kapasitas dan kualitas pemulihan korban yang diberikan di setiap unit pelayanan. Mengingat di dalam evaluasi terhadap P2TP2A seluruh Indonesia yang dilakukan oleh Komnas Perempuan dan FPL pada 2017 menunjukkan bahwa selama ini cara kerja dan waktu layanan di sebagian besar P2TP2A melihat persoalan korban sebagai persoalan keseharian biasa dan bukan melihat korban sebagai subyek marginal yang berhak mendapatkan dukungan negara. Komnas Perempuan pun juga menemukan bahwa tidak terdapat satu pun P2TP2A yang memiliki kebijakan-mekanisme khusus secara tertulis yang menjadi landasan bagi penanganan perempuan dan anak korban kekerasan seksual, padahal kasus kekerasan seksual membutuhkan penanganan yang lebih komprehensif dan pendekatan khusus. Dalam Laporan Kinerja Deputi Bidang Perlindungan Anak Tahun 2018, KemenPPPA dan Laporan Kinerja KemenPPPA 2018, indikator kinerja hanya ditunjukkan dengan adanya bantuan fasilitas, pengadaan fasilitas fisik dan pelaporan data-data angka kekerasan. KemenPPPA bertanggung jawab atas advokasi dan sosialisasi kebijakan perlindungan anak, advokasi yang komprehensif tidak dapat terlaksana tanpa evaluasi yang jelas. KemenPPPA soal evaluasi harus turun dan menyediakan tools memeriksa kualitas pendampingan dan tindak lanjut pendampingan.
Negara harus menyadari bahwa kewajiban penyediaan layanan pemulihan dan perlindungan bagi korban kekerasan seksual bukan hanya formalitas. Evaluasi penting dilakukan untuk memastikan layanan berkualitas, komprehensif dan berdampak pada korban. Hasil evaluasi ini pun nantinya dapat digunakan sebagai landasan diskusi yang penting untuk membangun sistem perlindungan korban kekerasan seksual yang lebih terarah dan sistematis, persis dengan yang saat ini sedang diinisiasi dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Pembahasan tentang evaluasi pengada layanan dari Pemerintah jelas bisa dibahas jika RUU PKS dibahas segera oleh Pemerintah dan DPR.