Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2013 adalah 28.066.550 orang atau 11,37 % dari jumlah seluruh penduduk di Indonesia. Angka tersebut menunjukkan bahwa 11,37 % dari total seluruh penduduk Indonesia berpotensi untuk mendapatkan bantuan hukum apabila mereka berperkara di pengadilan. Jumlah tersebut menunjukkan pula bahwa masih banyak masyarakat miskin Indonesia yang memerlukan peran nyata dari bantuan hukum untuk mendapatkan keadilan di pengadilan dan negara wajib untuk menyediakan hal tersebut.
Equality before the law and equal access to justice merupakan suatu prinsip hukum universal yang menegaskan bahwa semua orang harus mendapat perlakuan yang sama di muka hukum dan bahwa semua orang harus memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan keadilan. Namun disadari bahwa dalam realita sosial di masyarakat tak dapat dikesampingkan adanya keadaan-keadaan tertentu membuat tidak semua golongan di masyarakat dapat dengan mudah merasakan kesejahteraan termasuk kesempatan untuk mendapatkan keadilan (access to justice).
Golongan perempuan, anak, orang lanjut usia, dan penyandang disabilitas merupakan sebagian contoh kelompok yang sangat rentan mengalami ketidakadilan dalam masyarakat. Selain itu, ditinjau dari sisi ekonomi, ada pula kelompok masyarakat miskin yang juga sangat rentan mengalami pengabaian akan hak-hak mereka. Perilaku pengabaian hak-hak terhadap kelompok rentan yang berujung pada perlakuan tidak adil, tidak hanya dapat terjadi dalam proses kehidupan bermasyarakat sehari-hari, namun juga bisa terjadi dalam proses peradilan.
Berdasarkan sejarah perkembangan dari bantuan hukum yang dimulai dari motivasi untuk mendapatkan pengaruh dalam masyarakat pada zaman Romawi, kemudian menjadi sikap kedermawanan (charity) pada zaman abad pertengahan hingga menjadi bagian dari hak-hak politik pada zaman modern sekarang ini, maka dapat dicermati sejak kapan keberadaan bantuan hukum di Indonesia. Jika bantuan hukum diartikan sebagai charity, maka bantuan hukum sudah ada di Indonesia sejak datangnya agama Nasrani pada tahun 1500-an, bersamaan dengan datangnya bangsa Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda.
Bantuan hukum pada perkembangannya kemudian dibagi dalam dua model yakni, model yuridis individul dan model kesejahteraan. Model yuridis individual mengandung arti bantuan hukum dilihat sebagai suatu hak yang diberikan kepada warga negara untuk melindungi kepentingan-kepentingan individual. Sedangkan model kesejahteraan diartikan bahwa bantuan hukum sebagai suatu hak akan kesejahteraan yang menjadi bagian dari kerangka perlindungan sosial yang diberikan suatu negara kesejahteraan. Permasalahan bantuan hukum masih banyak terjadi secara umum pada model kesejahteraan. Bantuan hukum model kesejahteraan yang merupakan bagian pemenuhan hak bagi masyarakat miskin, dalam implementasinya di negara berkembang mengalami banyak kendala.
Tujuan bantuan hukum secara khusus dalam sistem peradilan pidana adalah upaya yang nyata agar sistem peradilan pidana, mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, peradilan sampai dengan pelaksanaan putusan dapat berjalan atau berproses secara adil (due process of law). Bantuan hukum dalam sistem peradilan pidana membuat tersangka berada dalam posisi “his entity and dignity as human being”, terlepas apakah mereka termasuk bagian dari golongan lemah di masyarakat atau bukan. Hal tersebut pula didukung pandangan Komite Pencegahan Penyiksaan yang menyatakan bahwa bantuan hukum dipandang sebagai “One of the crucial means of torture prevention.”
Adanya bantuan hukum membuat tersangka atau terdakwa diperlakukan sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan sebagaimana dikatakan oleh Metzger bahwa salah satu tujuan dari bantuan hukum adalah tuntutan bagi rasa perikemanusiaan. Bantuan hukum menjadi upaya terbaik yang dimiliki oleh tersangka dan terdakwa untuk dapat mendapatkan keadilan. Bantuan hukum yang menjadi salah satu bagian penting dari konsekuensi sebagai negara hukum
Unduh Policy Paper disini