Pembahasan RKUHP masih berlanjut, salah satu isu paling menarik dan menuai sorotan publik adalah terkait isu masuknya tindak pidana korupsi dalam RKUHP. ICJR dan Mappi FH UI menganggap bahwa semangat pemberantasan korupsi harus dilihat secara komprehensif dan holistik. Persoalan itu bisa dinilai dari persoalan kodifikasi sampai dengan isu penunjang lainnya seperti memastikan tidak ada kriminalisasi bagi masyarakat sipil dan pers yang ikut serta dalam usaha penanggulangan korupsi.
Dalam kacamata ICJR dan Mappi FH UI, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, diantaranya adalah :
Pertama, persoalan kodifikasi dalam RKUHP dan Potensi Hilangnya Kekhususan Pengaturan UU Sektoral Termasuk UU Tipikor. Tim perumus memilih untuk memasukkan beberapa ketentuan tindak pidana di luar KUHP ke dalam KUHP. Pemerintah dan DPR mendalilkan bahwa hanya beberapa ketentuan core crime yang masuk ke RKUHP, maka UU Sektoral masih berlaku. Hal ini memang tepat, bahwa UU Sektoral seperti korupsi jelas masih berlaku meskipun hanya beberapa delik yang dimasukkan ke dalam RKUHP. Namun masalah timbul, bagaimana RKUHP memastikan ketentuan penyimpangan yang khusus untuk UU sektoral masih berlaku bagi ketentuan dalam UU sektoral yang sudah dimasukkan ke RKUHP.
Penyimpangan terhadap ketentuan Buku I KUHP diatur dalam pasal 103 KUHP. Ketentuan ini membuka celah untuk UU di luar KUHP seperti UU Tipikor misalnya untuk mengatur berbagai ketentuan sendiri di luar ketentuan umum yang diatur dalam Buku I. Sebagai contoh misalnya Misalnya soal percobaan dan permufakatan jahat yang didipidana sama dengan perbuatan selesai sehingga ancaman pidananya sama dengan delik utamanya dalam UU Tikpikor.Secara tehknis, apabila satu delik, misalnya pasal 2 UU Tipikor, dimasukkan ke dalam buku II RKUHP menjadi Pasal 687 RKUHP, maka nantinya pasal 687 RKUHP harus merujuk buku I RKUHP, bukan lagi UU Tipikor. Dengan kata lain, penyimpangan Buku I sebagaimana diatur dalam Pasal 103 KUHP (Pasal 205 RKUHP) hanya berlaku bagi delik di luar KUHP (RKUHP) dan bukan untuk delik dalam Buku II RKUHP.
Masalah muncul, karena dalam konteks ini pemerintah dan DPR tidak secara cermat dan detail menjelaskan penyimpangan beberapa ketentuan dalam UU Tipikor ke dalam RKUHP. Misalnya soal percobaan dan permufakatan jahat yang didipidana sama dengan perbuatan selesai sehingga ancaman pidananya sama dengan delik utamanya dalam UU Tikpikor, tidak ada dalam RKUHP. Maka, mengulang kembali penjelasan di atas, delik dalam UU Tipikor yang sudah masuk ke dalam RKUHP akan sepenuhnya tunduk pada pengaturan Buku I RKUHP, tidak lagi terikat pada UU Tipikor.
Kedua, Persoalan Kodifikasi dan Penyesuaian Buku I. Ketentuan pasal 723 BAB XXXVIIII tentang ketentuan peralihan yang berbunyi sebagai berikut“Dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini dinyatakan berlaku, Buku Kesatu Undang-Undang ini menjadi dasar bagi ketentuan-ketentuan pidana di luar Undang-Undang ini.” Ketentuan ini memiliki tujuan yang mungkin dimaksudkan sebagai aturan peralihan mengenai penyesuaian berbagai pengaturan yang terlanjur bertebaran di luar KUHP mengenai prinsip dan asas sebagaimana diatur dalam Buku I. Namun, apabila dicermati, pengaturan ini dapat menimbulkan multi tafsir karena memerintahkan seluruh ketentuan pidana di luar RKUHP harus menyesuaikan pengaturan Buku I dalam waktu satu tahun. Salah satu tafsir yang bisa terjadi adalah nantinya seluruh kekhususan dalam UU Tipikor yang telah mengenyampingkan KUHP berdasarkan Pasal 103 KUHP akan hilang dan menyesuaikan Buku I RKUHP.
RKUHP memang memiliki pasal yang mirip dengan Pasal 103 KUHP yaitu Pasal 205 ayat (1) RKUHP yang memberikan kekhususan bagi masing-masing Undang-undang di luar KUHP, namun secara sistematis, kembali merujuk pasal 723 RKUHP maka penyesuaian tetap harus dilakukan dalam satu tahun sehingga akan menimbulkan kerancuan dalam penegakan UU Tipikor yang memiliki beberapa pengaturan berbeda terkait tindak pidana korupsi dibandingkan RKUHP.
Ketiga, Persoalan Duplikasi Pasal dan Potensi Dagang Pasal. Masalah terbesar dari RKUHP adalah problem kodifikasi yang tidak jelas arahnya kemana, beberapa kali tim perumus menyatakan bahwa yang akan diatur dalam RKUHP adalah core crime (pidana inti) dari tindak pidana khusus. Masalahnya, tidak pernah jelas, apa yang dimaksud core crime dan bagaimana menentukannya.
Masalah timbul karena dalam ketentuan penutup pasal 732 RKUHP, tidak ada pencabutan pasal-pasal di undang-undang sektoral. RKUHP membuka ruang duplikasi dan keraguan itu. Secara asas lex posteriori derogate legi priori (aturan yang baru mengesampingkan aturan yang terdahulu) pemahaman perancang undang-undang terkait kemungkinan tidak adanya pasal duplikasi kususnya untuk delik pada Buku II RKUHP terdengar meyakinkan. Namun begitu, asas tersebut harus tetap dipastikan mekanismenya. Salah satunya dengan cara memastikan adanya pencabutan pasal dalam UU Sektoral. Dalam banyak praktik perumusan UU, banyak UU Sektoral yang dianggap aturan “baru” secara jelas mencabut ketentuan delik dalam UU sebelumnya, misalnya UU Tipikor yang mencabut beberapa ketentuan dalam KUHP.
Dalam isu Korupsi, pasal-pasal sama yang belaku bersamaan ini misalnya dalam pasal 687 RKUHP yang ancaman pidananya minimal 2 tahun dan maksimal 20 tahun dengan denda minimal 10 juta maksimal 2 Milyar sedangkan dengan delik yang sama dengan pasal 2 UU Tipikor, ancaman pidana dalam pasal 2 UU Tipikor ancaman pidana penjara minimal 4 tahun maksimal 20 tahun dengan denda minimal 200 juta maksimal 1 Milyar. Contoh lain, Dalam pasal 688 RKUHP ancaman pidananya minimal 2 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara dengan denda minimal 10 juta dan maksmimal 150juta rupiah, sedangkan pasal 3 tipikor ancaman pidananya minimal 1 tahun maksimal 20 tahun dan denda minimal 50 juta dan maksimal 1 milyar.
Selain masalah diatas, dalam tataran teknis penyusunan undang-undang, ada banyak pengaturan dalam RKUHP yang bersifat duplikasi, hal ini mungkin diakibatkan karena penyusun tidak melakukan evaluasi terhadap ketentuan pasal KUHP, sehingga beberapa aturan lama masih dipertahankan sedangkan aturan baru yang sama persis justru dimasukkan.
Tabel 2 Contoh Duplikasi Rumusan dalam RKUHP
Pasal 483 | Pasal 623 |
Setiap Orang yang bertugas pada kantor pos atau jasa pengiriman Barangyang:a. memberitahukan kepada orang lain isi berita atau isi Barang yang dipercayakan kepadanya atau membuka Surat dan Barang atau membaca Surat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV; ataub. memberikan kepada orang lain yang tidak berhak, memusnahkan, menghilangkan, mengambil untuk diri sendiri, atau mengubah isi Surat, berita, atau isi Barang yang dipercayakan kepadanya dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
|
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV, pegawai negeri suatu lembaga yang bertugas di bidang pengangkutan Surat atau Barang yang:
|
Apabila dalam satu kasus terdapat penggunaan dua undang-undang dengan duplikasi dan delik yang sama persis namun ancaman pidana berbeda, maka akan membuka peluang aparat penegak hukum memperdagangkan pasal-pasal tersebut pada tersangka dan atau terdakwa, secara langsung hal ini bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi.
Dalam tataran teknis, untuk memastikan adanya kepastian hukum, tidak ada multi tafsir dan keraguan, maka perlu adanya aturan penutup yang mencabut ketentuan-ketentuan yang sifatnya duplikasi. RKUHP melakukan hal ini dalam Pasal 731 RKUHP yang secara tegas mencabut beberapa undang-undang agar tidak terjadi pengaturan ganda.
Keempat, Kriminalisasi beberapa delik dalam UNCAC perlu diperkuat. RKUHP dalam BAB Tindak Pidana Khusus paragraf Tindak Pidana Korupsi berusaha untuk memasukkan beberapa perbuatan dalam UNCAC yang belum diakomodir dalam perundang-undnagan di Indonesia. Perbuatan-perbuatan tersebut terdiri dari mandatory offences terkait dengan suap aktif pejabat publik asing atau pejabat organisasi internasional, dan beberapa perbuatan yang non mandatory offences, seperti passive bribery of foreign public official and officials of public international organizations, trading influence, illicit enrichment dan bribery in private sector.
ICJR dan Mappi FH UI mendukung masuknya ketentuan-ketentuan ini dengan catatan masih banyak rumusan norma yang harus diperbaiki dan juga beberapa penyesuaian dengan ketentuan yang sudah ada misalnya Indonesia sudah memiliki UU No 11 tahun 1980 tentang tindak pidana suap yang pada prinsipnya bisa digunakan untuk tindak pidana korupsi di sektor privat, masalahnya, seperti banyak ketentuan lain, RKUHP tidak dengan jelas memposisikan dimana pidana suap dalam UU 11/1980 diakomodir.
Kelima, RKUHP Membuka Potensi Kriminalisasi Pegiat Anti Korupsi dan Pers. Yang salama ini banyak terlupakan adalah bagaimana kriminalisasi bagi pegiat anti korupsi berjalan dengan menggunakan pasal-pasal dalam KUHP. RKUHP saat ini mengatur banyak pasal pidana yang berpotensi digunakan sebagai alat untuk membungkam para pegiat anti korupsi pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Delik-delik ini adalah penghinaan presiden dan wakil presiden (pasal 238 RKUHP) serta pernyataan permusuhan pada pemerintah (259 RKUHP) yang hidup kembali pasca dibatalkan MK, penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara (Pasal 380 RKUHP), pidana Contemp of court (Pasal 303 huruf c RKUHP) yang multi tafsir sampai dengan ancaman pidana penjara tinggi dalam penghinaan individu (471 – 475 RKUHP). Perlu digarisbawahi, dalam catatan SafeNet di 2017, terdapat setidaknya 35 aktivis yang dijerat pasal penghinaan hanya dengan UU ITE sejak 2008 sampai 2017, aktivis anti korupsi dengan setidaknya 8 kasus adalah yang paling sering disasar bersamaan dengan aktivis lingkungan dan jurnalis.
Contoh penggunaan pasal nantinya dapat ditemui misalnya dalam Pasal 303 huruf c RKUHP yang melarang menghina hakim atau menyerang integritas hakim, padahal dalam banyak kasus, hal ini bisa terjadi akibat para pegiat anti korupsi mengkritisi kasus korupsi dalam tubuh peradilan, misalnya berdasarkan catatan KY sepanjang 2012 sampai dengan 2017 terdapat 17 orang hakim yang terjerat OTT KPK. Catatan ICW sejak 2001-2017, terdapat 40 Hakim, Panitera dan pegawai pengadilan yang terjerat kasus korupsi, 28 diantaranya adalah Hakim, termasuk 2 orang mantan Hakim.
Selain itu, disamping potensi kriminalisasi pegiat anti korupsi, masalah kebebasan pers juga sepertinya akan terus berlanjut apabila RKUHP masih mengatur beberapa ketentuan yang masih multi tafsir, utamanya terkait pers. Meskipun terdapat UU Pers, namun pola kriminalisasi yang bergeser pada narasumber yang tidak dilindungi oleh UU Pers menjadi satu isu tersendiri. Dari beberapa aturan dalam RKUHP setidaknya terdapat beberapa pasal yang dipercaya akan menghambat kebebasan pers untuk ikut serta memberantas korupsi, pasal-pasal ini dianggap multi tafsir dan dapat secara langsung menyeret jurnalis atau narasumber pada isu pidana, diantaranya adalah penyiaran berita bohong (pasal 284 RKUHP), penyiaran berita bohong untuk keuntungan (Pasal 589 RKUHP), gangguan dan penyesatan proses peradilan/contemp of court (Pasal 302-303 RKUHP), pembocoran rahasia negara (pasal 224-225 RKUHP) dan tentu saja pasal pasal yang membungkam kebebasan berekspresi sebagaimana disebutkan sebelumnya.
Untuk itu ICJR dan Mappi FH UI memiliki beberapa rekomendasi dan hal-hal yang harus dilakukan oleh pemerintah dan DPR agar RKUHP dapat dainggap secara komprehensif dan holistik dapat mendukung pemberantasan Korupsi. Yaitu :
- Pemerintah dan DPR memastikan penguatan pengaturan pemberantasan Korupsi dengan tetap memberikan penegasan pada kekhususan pengaturan bagi Undang-Undang di luar KUHP.
- Pemerintah dan DPR memastikan arah kodifikasi sehingga tidak ada pasal duplikasi yang dapat membuka peluang dagang pasal oleh aparat penegak hukum.
- Pemerintah dan DPR memastikan kesesuaian pengaturan delik korupsi dalam RKUHP dengan UNCAC.
- Pemerintah dan DPR memastikan tidak ada kriminalisasi bagi pegiat anti korupsi dengan menghapus pasal-pasal yang dapat membungkam hak berpendapat dan hak atas informasi.
- Pemerintah dan DPR memastikan tidak ada kriminalisasi bagi jurnalis dan memastikan tidak ada pasal-pasal pidana yang dapat menjerat dan mengkriminalisasi jurnalis dan atau narasumber media.
Kami memahami, tidak semua orang orang memiliki kesempatan untuk menjadi pendukung dari ICJR. Namun jika anda memiliki kesamaan pandangan dengan kami, maka anda akan menjadi bagian dari misi kami untuk membuat Indonesia memiliki sistem hukum yang adil, akuntabel, dan transparan untuk semua warga di Indonesia tanpa membeda – bedakan status sosial, pandangan politik, warna kulit, jenis kelamin, asal – usul, dan kebangsaan.
Hanya dengan 15 ribu rupiah, anda dapat menjadi bagian dari misi kami dan mendukung ICJR untuk tetap dapat bekerja memastikan sistem hukum Indonesia menjadi lebih adil, transparan, dan akuntabel
Klik taut berikut