Peninjauan kembali kasus majalah Playboy Indonesia agar tidak hanya menggunakan standar Islam. Mahkamah Agung diminta memperhatikan isi Playboy sebagai acuan putusan.
VHRmedia, Jakarta – Mahmakah Agung diminta tidak hanya menggunakan standar penilaian Islam dalam memutus peninjauan kembali kasus majalah Playboy Indonesia. Menggunakan satu standar penilaian, dianggap tidak mewakili pendapat masyarakat secara keseluruhan.
Mitra senior Institute for Criminal Justice Reform, Anggara, meminta MA menggunakan standar penilaian yang beragam dalam memutus PK majalah Playboy. ”Standar komunitas yang dipakai apakah cuma satu agama? Cuma Islam? Bagaimana dengan agama-agama lain?” kata Anggara, Rabu (19/1).
Menurut Anggara, kejelasan standar komunitas penting karena dapat membahayakan media lain. Misalnya, majalah yang beda kategori dari Playboy dapat dijerat pidana karena memuat iklan yang dianggap melanggar norma kesusilaan. ”Majalah lain yang cuma hiburan tapi memuat iklan yang begitu (bernuansa seksual) bisa kena.”
Anggara meminta MA melihat kasus ini secara jernih. MA agar tidak hanya mengikuti kehendak sekelompok orang yang ingin ”mengadili” Playboy. Menurut dia MA saat ini hanya mengadili merek (brand) majalah, tanpa mempertimbangkan isinya.
Kasus ini menyeret Pemimpin Redaksi Playboy Erwin Arnada ke LP Cipinang. Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung memvonis bersalah Erwin Arnada. Pada tingkat pengadilan negeri dan tinggi, dakwaan ditolak karena tidak terkait isi majalah. Erwin saat ini menunggu putusan peninjauan kembali oleh MA.
Sejumlah lembaga seperti Aliansi Jurnalis Independen, Lembaga Bantuan Hukum Pers, dan Article 99 yang berbasis di London berencana mengajukan Amicus Curiae untuk kasus ini. Amicus Curiae adalah pendapat pihak ketiga (biasanya ahli atau praktisi hukum) mengenai suatu kasus. (E1)