Badan Pengawas Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Ifdhal Kasim menuturkan pengaturan teknis pengajuan Peninjauan Kembali (PK) lebih diperlukan alih-alih membatasi pengajuan PK hanya satu atau dua kali. Hal tersebut diperlukan untuk menghindari pelanggaran HAM narapidana.
“Seharusnya yang diatur adalah syarat novum (bukti baru atau fakta baru) yang diperjelas. Bukan membatasi satu kali dua kali,” ujar Ifdhal saat jumpa pers “Catatan Akhir Tahun dan Rekomendasi Awal Tahun ICJR” di Cikini, Jakarta, Minggu (11/1).
Menurutnya, terpidana mati juga memiliki hak narapidana yang seharusnya diakomodir, salah satunya PK. Apabila hak tersebut dikekang dalam bentuk aturan, maka ada indikasi pelanggaran HAM.
“Kekuasaan negara diberikan secara berlebihan dalam instrumen hukum akan mengancam kebebasan warga negara termasuk hak tepridana. Pengambilan hak oleh org negara merupakan pelanggaran HAM. Negara harusnya memberikan kesemoatan org untuk menggunakan hak sesuai prosedur hukum,” ujar Ifdhal.
Senada dengan Ifdhal, Ketua ICJR Anggara Wahyu sepakat dengan perlindungan hak narapidana. Anggara mengusulkan adanya kompensasi ganti rugi apabila terpidana yang telah menjalani eksekusi mati namun di kemudian hari terbukti tidak bersalah.
“Pemerintah didesak membentuk PP menenai ganti rugi terpidana yang telah menjalani eksekusi mati apabila di kemudian hari diputus bebas oleh Mahkamah Agunh (MA),” ujar Wahyu dalam jumpa pers.
Polemik PK mencuat saat MA melalui surat edarannya membatasi pengajuan PK hanya sebatas satu kali. MA melandaskan pada dua pasal yakni Pasal 24 ayat 2 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat 1 UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang MA. Keduanya mengatur pembatasan PK hanya satu kali.
Namun MA masih membolehkan pengajuan PK kepada pelaku tindak pidana maupun perdata jika putusan PK pertama yang telah diajukan bertentangan dengan putusan pengadilan sebelumnya. Peraturan tersebut termaktub dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009.
Sementara itu, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan Nomor 34/PUU-XI/2013 membatalkan pasal 268 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam putusan tersebut, MK mengizinkan PK lebih dari satu kali.
Menanggapi polemik tersebut, pemerintah telah menggelar rapat antar lembaga negara dan lembaga penegak hukum. Pemerintah pun sepakat membentuk PP yang mengatur teknis pengajuan Peninjauan Kembali (PK). Dalam waktu dekat, pemerintah akan membentuk tim yang akan merancang Peraturan Pemerintah (PP)
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly usai menggelar rapat dengan para pihak terkait, di kantornya, Jakarta, Jumat (9/1) menuturkan masih diperlukan peraturan seperti pengertian novum, pembatasan waktu, dan tata cara pengajuan PK.
Sumber: CNN Indonesia