“Indonesia telah gagal melakukan pencegahan dan penanganan atas kasus-kasus penyiksaan, termasuk melemahnya sistem hukum melawan praktek penyiksaan”
- Situasi Umum
Pada 26 Juni 2016 mendatang, masyarakat internasional akan menyambut kembali hari anti penyiksaan sedunia. Indonesia yang telah menjadi bagian dari komunitas dunia sejak meratifikasi konvensi anti penyiksaan pada 1998 juga telah berkomitmen untuk turut serta dalam memerangi praktek penyiksaan. Namun sepanjang setelah delapan belas tahun paska ratifikasi, Indonesia belum berhasil secara memadai memperbaiki dan menekan secara minimal praktek-praktek penyiksaan.
Berdasarkan Konvensi Anti Penyiksaan disebutkan bahwa Penyiksaan adalah “…setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, yang dengan sengaja dilakukan pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga…” Oleh karena itu Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menegaskan bahwa praktek penyiksaan sebagai teknik untuk mengumpulkan bukti atau alat bukti merupakan salah satu perbuatan yang dilarang berdasarkan hukum Internasional maupun nasional.
ICJR sebagai organisasi yang menaruh perhatian pada upaya penghentian dan penghilangan praktek penyiksaan Indonesia, sejak 2014 telah melakukan update tahunan atas situasi umum penyiksaan Indonesia. Pada 2016 ini, hasil update menunjukkan bahwa Indonesia tidak berhasil melakukan pencegahan dan penanganan atas kasus-kasus penyiksaan, termasuk lemahnya sistem hukum melawan praktek penyiksaan.
Sampai dengan saat ini pemerintah Indonesia bahkan lalai melaporkan situasi dan perkembangan pencegahan penyiksaan di Indonesia ke forum PBB yang jatuh tempo sejak t2011. Komite Anti Penyiksaan di PBB sudah sejak lama mengeluarkan permintaan untuk Indonesia agar memenuhi kewajibannya untuk melaporkan situasi penyiksaan di Indonesia kepada Komite Anti penyiksaan PBB.
Indonesia bahkan telah gagal melakukan pencegahan dan penanganan terhadap kasus penyiksaan. Tidak adanya data resmi dari Komisi atau lembaga yang secara konsisten melakukan monitoring atas kasus-kasus penyiksaan di Indonesia menunjukkan hal tersebut. Komnas HAM termasuk salah satu lembaga yang memiliki mandat namun telah gagal memberikan laporan periodiknya yang konsisten atas kasus penyiksaan di Indonesia.
Situasi krisis kepadatan Lapas dan Tahanan per Juni 2016 di Kementerian Hukum dan HAM (http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/monthly diakses 24 Juni 2016) adalah sebesar 198,674 orang dengan kapasitas sebesar 119.036. 167 ini berarti ada kepadatan sebesar 167 persen. Dengan jumlah kepadatan seperti ini maka akan berpotensi melahirkan krisis kepadatan dan secara langsung mendorong situasi penyiksaan di Rutan dan Lapas. Krisis kepadatan akan menimbulkan komplikasi di semua aspek layanan dan penangangan narapidana Indonesia. Sampai saat ini, masih terjadi dualisme pengelolaan tempat penahanan, ada rumah tahanan yang dikelola oleh Kementerian Hukum dan HAM, dan tempat penahanan yang dikelola Kepolisian. Hal ini menyebabkan ketiadaan data yang pasti mengenai jumlah tahanan di seluruh Indonesia, khususnya jumlah tahanan pra persidangan (pre trial detention) di tempat–tempat penahanan yang dikelola oleh Kepolisian RI.
Terkait Penyiksaan dalam Hukuman mati, ICJR mendorong Moratorium atas hukuman mati di Indonesia, praktek hukuman mati ini telah mendorong “death row phenomenon” karena panjangnya deret waktu tunggu eksekusi terpidana mati, yang bahkan mencapai 16 tahun. Lamanya waktu tunggu ini telah menimbulkan situasi penyiksaan bagi terpidana mati.
Pelapor khusus PBB tentang penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang, Juan Mendez, dalam laporan pada 2012 menyatakan hukuman mati haruslah dilihat dalam bingkai martabat manusia dan larangan terhadap penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang. Secara praktik, hukuman mati mengakibatkan penyiksaan dan tindakan sewenang-wenang terkait dengan death row phenomenon (fenomena masa tunggu eksekusi) dan metode eksekusi yang mengakibatkan tersiksa dan tidak manusiawi.
Setidaknya dalam rezim Presiden Joko Widodo, eksekusi mati telah menyisahkan permasalahan serius terkait kondisi ini. Pada dua eksekusi terakhir, rata-rata masa tunggu mencapai 10 Tahun 6 bulan, dengan waktu tunggu paling lama mencapai 16 tahun. Waktu tunggu yang begitu lama ini, di satu sisi menunjukkan bahwa para terpidana sesungguhnya sudah mendapatkan hukuman penjara yang tidak sedikit, dengan begitu, terpidana mendapatkan dua kali hukuman yaitu penjara dan pidana mati. Perlakukan ini merupakan perlakuan yang tidak manusiawi. Selain itu, kondisi di masa tunggu juga mengakibatkan trauma mental yang berat dan kemunduran kondisi fisik dalam tahanan. Rodrigo Gularte dan Marco Archer Cardoso Moreira dieksekusi dalam kondisi gangguan jiwa dan mental yang tidak stabil. Mary Jane, yang sampai saat ini masih masuk dalam masa tunggu terpidana mati, mendapatkan trauma mental dan stress yang mengakibatkan dirinya sering membenturkan kepala ke tembok (Wakil Ketua Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, Yuniyanti Chufaizah). Zainal Abidin dipindahkan ke ruang isolasi dalam kondisi stress saat permohonan Peninjauan Kembali nya masih diperiksa di MA setelah 10 tahun tertunda tanpa penjelasan jelas. DPR sampai saat ini juga tidak menjalankan fungsi pengawasan terhadap MA, untuk meminta penjelasan 10 tahun tertundanya PK Zainal Abidin.
Nama | Masa Tunggu | Nama | Masa Tunggu |
Namaona Denis | 12 Tahun | Andrew Chan | 8 Tahun |
Marco Archer Cardoso Moreira | 11 Tahun | Martin Anderson | 11 Tahun |
Daniel Enemuno | 9 Tahun | Zaina Abidin bin Mgs Mahmud Badarudin | 13 Tahun |
Ang Kiem Soei alias Kim Ho Alian Ance Tahir Alias Tommi Wijaya | 11 Tahun | Raheem Agbaje Salami | 16 Tahun |
Tran Thi Bich Hanh | 2 Tahun | Rodrigo Gularte | 10 Tahun |
Rani Andriani alias Melisa Aprilia | 13 Tahun | Sylvester Obiekwe Nwolise | 10 Tahun |
Myuran Sukumaran | 8 Tahun | Okwudili Oyatanze | 13 Tahun |
Catatan/Sumber : Terpidana mati gelombang 1 dan gelombang 2/ICJR
Kondisi buruk laporan dan pengawasan juga terlihat dari eksekusi gelombang Pertama dan Kedua yang masih menimbulkan tanda tanya soal proses eksekusi. Hukum di Indonesia, khususnya melalui Perkap 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, tidak dapat menjamin bahwa terpidana mati tidak tersiksa selama eksekusi. Aturan ini memungkinkan apabila terpidana setelah ditembak masih menunjukkan tanda-tanda hidup, an lagi secara berulang sampai terpidana meninggal dunia. Dalam eksekusi gelombang pertama, Tran Thi Bich Hanh, salah satu terpidana mati, baru dinyatakan meninggal dunia pukul 01.21 WIB, atau 35 menit setelah eksekusi. Selanjutnya dalan Eksekusi gelombang dua, tidak ada laporan yang spesifik, semua terpidana mati diumumkan meninggal 27 menit setelah eksekusi mati. Lamanya rentang waktu, antara penembakan dengan terpidana mati dinyatakan meninggal dunia, menunjukkan bahwa negara tidak dapat menjamin terpidana bebas dari rasa sakit dan menderita akibat eksekusi mati, hal ini merupakan bentuk penyiksaan dan perbuatan yang tidak manusiawi.
Dalam penegakan tindak pidana terorisme, dugaan penyiksaan terbuka lebar dengan mencuatnya kasus Suyono dalam penanganan Densus 88 anti terror tahun 2016. Akibatnya semakin banyak ditemukan laporan-laporan terjadinya dugaan pelanggaran prosedural dalam kasus penegakan tindak pidana terorisme.
Isu khusus terkait situasi penyiksaan dalam praktek Female Genital Mutilation/Cutting (FGM/C) atau lebih dikenal dengan sunat perempuan masih terjadi di Indonesia. Ditemukan fakta baru bahwa berdasarkan data RISKESDAS tahun 2013, ada empat profesi yang melakukan praktik sunat perempuan di Indonesia. Praktik sunat yang dilakukan oleh ahli sunat sebanyak 6,8 persen, bidan tradisional 40 persen, bidan profesional 50,9 persen dan dilakukan tenaga kesehatan lainnya sebanyak 2,3 persen. Data ini menunjukan bahwa sunat perempuan masih terjadi di Indonesia.
Saat ini Qanun No 6 Tahun 2014 tentang Jinayat yang mendukung praktek hukuman cambuk di Aceh makin terkonsolidasi dan resmi digunakan pada 2015. Peraturan baru ini jauh lebih keras dan rinci. Kini hukuman paling berat adalah 150 kali cambuk atau denda 1.500 gram emas atau penjara 150 bulan. ICJR telah melakukan uji review atas Qanun ini, namun pada 1 desember 2015 Mahkamah Agung berdasarkan Putusan No 60P/HUM/2015 telah menolak pengujian (judicial review) atas Qanun Jinayat Aceh No 6 tahun 2014 dengan alasan belum waktunya di uji, karena UU Pemerintahan Aceh sedang dalam Pengujian di MK.
Sedangkan kewenangan Eksekutif review Pemerintah Indonesia belum menjangkau Qanun Jinayat , Sampai saat ini Kemendagri masih berpuas diri dalam melakukan evaluasi evaluasi terhadap Peraturan Daerah terkait investasi.
- Kasus-kasus penyiksaan 2016
Pemantauan ICJR di tahun 2016 (bulan Januari-Juni) terdapat 18 (delapan belas) kasus penyiksaan. Dari jumlah tersebut kasusyang terjadi berada di 3 jurisdiksi yakni di tahap Penyidikan, Lapas dan Militer.Meski ada kecenderungan menurun, ICJR menduga praktik penyiksaan masih menjadi kasus – kasus gunung es. Yang tidak terungkap diyakini oleh ICJR sesungguhnya lebih banyak dari yang dilaporkan.
Dari 18orang tersebut, terdapat 3 korban yang meninggal dunia diduga akibat tindak penyiksaan, dan 15 korban selainnya didapati luka ringan, luka berat, diintimidasi dan direndahkan martabatnya sebagai manusia.
Dari 18orang tersebut, terdapat 3 orang yang masih berusia anak, 2 anak diantaranya diduga terlibat dalam jaringan teroris, dan 1 anak lainnya divonis hakim terlibat dalam kasus pembunuhan berencana. , Korban anak tersebut mengaku berada dalam tekanan dan penyiksaan aparat penyidik saat berada dalam masa tahanan, dipaksa untuk mengakui perbuatan dan dipaksa menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang telah disangkakan terhadapnya, dengan cara digampar, disiksa, disetrum, diancam dengan pistol oleh penyidik. Bahkan Anak yang selainnya ada yang tak bisa berjalan dan terpaksa merangkak karena saat pemeriksaan. Ia mendapatkan kekerasan fisik lainnya, yaitu diminta untuk tidur terlentang. Kemudian, paha nya di kasih balok, dan diatas balok ditaruh kayu. Kemudian kayu itu diinjak berulang-ulang.Tak berhenti di situ saja, anak tersebut dipasangkan sesuatu di dalam bajunya. Usai dipasangkan, ia pun dipukuli dan ditendang berulang-ulang. Hingga bagian Ulu hatinya sakit. Bahkan anak tersebut mengaku saat itu sampai terkencing-kencing. Sampai kepalanya di masukan ke dalam WC hingga tidak bisa bernafas. Kemudian, kemaluannya dipukul hingga kulitnya lecet.
Dari 18kasus penyiksaan tersebut, pelaku penyiksaan beragam. Kini tidak hanya dilakukan oleh Polisi, Sipir dan TNI saja. Namun juga dilakukan oleh Densus 88 dan Gabungan Aparat TNI / Polri / Densus 88.
Berdasarkan 18kasus penyiksaan tersebut, Praktik Penyiksaan paling banyak dilakukan saat penangkapan yaitu sejumlah 11 orang, sementara dilakukan pada masa penahanan yaitu 6 orang dan 1 orang saat di lembaga pemasyarakatan (narapidana), itu pun dalam kondisi telah tewas.
Praktik Penyiksaan yang terjadi di 2016 ini dikualifikasikan dalam Tindak Pidana Ringan, Tindak Pidana Berat dan Lainnya. Yang dimaksud “Tindak Pidana Ringan” yaitu kasus perjudian dan penjambretan. Sedangkan kategori “Tindak Pidana Berat” yaitu pembunuhan, terorisme dan makar. Sementara itu yang dimaksud “Lainnya” adalah upaya yang dilakukan oleh pelaku penyiksaan dalam rangka membongkar jalan suatu daerah atau ditangkap aparat tanpa alasan yang jelas.
- Regulasi dan Kebijakan Masih Mendukung Praktek Penyiksaan
Sampai dengan saat ini tidak tersedia regulasi yang secara khusus dapat digunakan dalam menghukum pelaku penyiksaan secara efektif. Tidak ada kriminalisasi khusus terhadap tindak pidana penyiksaan. Satu-satunya harapan ada dalam R KUHP, kejahatan penyiksaan diatur dalam dua Pasal, yaitu dalam Bab XXXII tentang Tindak Pidana Jabatan dalam Pasal 669 Buku II Rancangan KUHP 2015, yang saat belum selesai dibahas oleh DPR.
Bahkan Inisiatif terkait Optional protocol, protocol tambahan yang melengkapi ratifikasi konvensi anti penyiksaan, telah di tolak oleh pemerintah dan tidak kunjung di dorong kembali. Optional Protokol Anti Penyiksaan ini merupakan instrumen untuk mendukung pencegahan penyiksaan, Indonesia tidak bersedia meratifikasi dengan alasan kedaulatan Negara. Hal ini mengakibatkan Indonesiatidak memiliki mekanisme pemantauan tempat-tempat penahanan yang terintegrasi dengan berbagai lembaga pengawasan dan perlindungan hak asasi manusia. Sehingga menjadikan tempat-tempat penahanan sebagai “surga” bagi pelaku-pelaku penyiksaan
Pada 2014 lalu, Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Luar Negeri telah berinisiatif menyusun RUU Pencegahan Penyiksaan namun sejak 2015 rencana ini mandeg di tangan mereka sendiri. Pada 24 Februari 2016, lima lembaga Negara (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Pencegahan Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ombudsman Republik Indonesia dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)) menandatangani kesepakatan bersama (MoU) Mekanisme Pencegahan Nasional Bagi Pencegahan Penyiksaan, Penghukuman Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat. Sampai saat ini nota ini belum menunjukkan hasilnya, belum ada laporan resmi yang signifikan atas kebijakan baru ini.
Di sisi lain, muncul beberapa legislasi yang justru melanggengkan situasi penyiksaan. RUU pemberantasan terorisme yang diusulkan pemerintah tahun 2016 telah membuka situasi yang berpotensi terjadinya penyiksaan dengan menambah jangka waktu penangkapan incommunicado dan penahanan paling lama dalam sejarah hukum acara pidana Indonesia. Dalam RUU tersebut Penangkapan incommunicado dan pencegahan dapat dilakukan selama 30 hari sedangkan penahanan 450 hari. RUU juga secara terang-terangan memberikan kewenangan bagi penyidik dan aparat penegak hukum untuk menempatkan seseorang tanpa status jelas pada suatu tempat yang juga tidak diketahui. Secara eksplisit, ini merupakan praktik legal dari “penahanan incommunicado” di Indonesia dan dapat dipastikan akan menjadi lumbung kasus penyiksaan.
Presiden juga menandatangani Perpu Pemberatan Kejahatan Seksual Anak yakni Perppu No 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan mencantumkan pidana badan (corporal punishmen) “kebiri kimia” sebagai salah satu hukuman yang dijatuhkan hakim dan berdaya paksa. Kebijakan ini justru dilarang dalam Konvensi Anti penyiksaan sebagai penghukuman kejam tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Untungnya beberapa pihak masih menolak mempertimbangkan rencana eksekusinya.
- Minimnya Reparasi Korban Penyiksaan
Perkembangan terjadi dari segi legislasi adalah lahirnya UU 31 tahun 2014 yang merevisi UU 13 tahun 2006. Dalam Pasal 6, ada ketentuan khusus bagi korban tindak pidana penyiksaan berhak mendapatkan bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis di Lembaga perlindungan saksi dan Korban (LPSK). Tapi dalam prakteknya di tahun 2016 LPSK hanya menerima 8 permohonan dan memberikan layanan kepada 4 kasus korban penyiksaan. Menurut ICJR, dibandingkan jumlah kasus penyiksaan yang terjadi di periode tersebut, Jumlah ini relative kecil. ICJR menduga ada problem akses korban terhadap LPSK.
Masalah lainnya baik UU 13/2006, UU No 31 tahun 2014 dan KUHAP kurang memadai dalam mengatur hak Restitusi dan ganti rugi korban. Akibatnya sampai saat ini tidak satupun kasus penyiksaan yang berhasil menggunakan mekanisme restitusi dan ganti kerugian. Kementerian Hukum dan HAM juhga berhutang satu revisi atas PP 44 Tahun 2008 tentang Kompensasi Restitusi dan Rehabilitasi Korban. Revisi PP ini dianggap terlambat, karena UU yang memandatkannya yakni UU No 31 Tahun 2014 terkait revisi UU perlindungan saksi dan korban telah terbit hampir 1,5 tahun lalu.
Pada 8 Desember 2015 Pemerintah telah merevisi PP pelaksanaan KUHAP (Peraturan Pemerintah No. 92 Tahun 2015 yang merevisi PP No. 27 Tahun 1983 ) yang menaikkan besaran ganti rugi bagi korban salah tangkap atau salah prosedur termasuk jangka waktu pembayarannya. Namun regulasi ini belum berjalan karena Peraturan Menkeu belum di susun. Padahal berdasarkan PP, Peraturan ini harus dilakukan selambat-lambatnya pada 8 Juni 2016. ICJR mengkritik lambatnya kebijakan tersebut.
Di sisi lain, lewat jalur perdata, Beberapa gugatan ganti rugi yang diajukan oleh korban penyiksaan justru tidak mampu dieksekusi oleh pengadilan. Situasi ini menambah deret panjang kegagalan mengakses hak rehabilitasi korban penyiksaan
Pada 7 Agustus 2015, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Perma No 2 tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana. Perma ini mungkin dapat menjadi alternatif untuk memudahkan pemberian ganti rugi kepada korban penyiksaan. Namun secara substansi Perma ini masih banyak diperdebatkan terutama soal cakupan, soal daya eksekusinya dan karena masih baru, Perma ini belum bisa dibuktikan efektivitasnya.