Siaran Pers Bersama
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
RUU Intelejen yang saat ini tengah dibahas bersama antara pemerintah dan DPR telah menyulut kontroversi di tengah–tengah masyarakat. Salah satu kontroversi yang muncul adalah adanya kewenangan penyadapan (intersepsi komunikasi), yang diberikan kepada lembaga koordinasi intelejen negara —pengganti Badan Intelejen Negara (BIN), seperti diatur di dalam Pasal 31 ayat (1) RUU. Permasalahannya lagi, di dalam Penjelasan Pasal 31 (1) disebutkan, wewenang khusus melakukan inetrsepsi komunikasi dilakukan tanpa melalui Penetapan Ketua Pengadilan. Kewenangan yang hampir-hampir absolut, yang diberikan kepada lembaga intelejen negara ini, tentu sangat mengkhawatirkan bagi masyarakat, karena semangatnya yang bertentangan dengan perlindungan hak asasi manusia.
Penyadapan pada dasarnya adalah kegiatan yang dilarang oleh konstitusi dan secara jelas telah melanggar hak privasi sebagaimana diatur dalam Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaanya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Selain itu di dalam Komentar Umum No. 16 ICCPR, pada point 8 juga dinyatakan, “Bahkan dalam hal campur tangan yang sesuai dengan Kovenan, peraturan yang relevan harus memuat secara detil dan tepat kondisi-kondisi di mana campur tangan tersebut dapat diijinkan. Suatu keputusan untuk melaksanakan kewenangan campur tangan semacam itu hanya dapat dibuat oleh pihak berwenang yang ditugaskan oleh hukum, dan berdasarkan kasus-per-kasus. Hal ini sesungguhnya ingin menegaskan Pasal 17 ICCPR, bahwa integritas dan kerahasiaan korespondensi harus dijamin secara de jure dan de facto.
Sekedar mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi RI dalam Putusan No 006/PUU-I/2003, bertanggal 30 Maret 2004, Putusan No 012-016-019/PUU-IV/2006, bertanggal 19 Desember 2006, dan Putusan No 5/PUU-VIII/2010 tertanggal 24 Februari 2011 yang pada pokoknya menegaskan sebagai berikut:
∙ Hak privasi bukanlah bagian dari hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights), sehingga negara dapat melakukan pembatasan terhadap pelaksanaan hak-hak tersebut dengan menggunakan undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia”. Lebih lanjut MK menyatakan, “Untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan kewenangan untuk penyadapan dan perekaman MK berpendapat perlu ditetapkan perangkat peraturan yang mengatur syarat dan tata cara penyadapan dan perekaman dimaksud.
∙ Undang-undang dimaksud itulah yang selanjutnya harus merumuskan, antara lain, siapa yang berwenang mengeluarkan perintah penyadapan dan perekaman dapat dikeluarkan setelah diperoleh bukti permulaan yang cukup, yang berarti bahwa penyadapan dan perekaman pembicaraan itu untuk menyempurnakan alat bukti, ataukan justru penyadapan dan perekaman pembicaraan itu sudah dapat dilakukan untuk mencari bukti permulaan yang cukup. Sesuai dengan perintah Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, semua itu harus diatur dengan undang-undang guna menghindari penyalahgunaan wewenang yang melanggar hak asasi.
∙ MK menilai hingga saat ini belum ada pengaturan secara komprehensif mengenai penyadapan. Hal ini menunjukkan bahwa pengaturan mengenai penyadapan masih tersebar di beberapa Undang- Undang dengan mekanisme dan tata cara yang berbeda-beda. Tidak ada pengaturan yang baku mengenai penyadapan, sehingga memungkinkan terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan. Sehingga perlu adanya sebuah Undang-Undang khusus yang mengatur penyadapan pada umumnya, hingga tata cara penyadapan untuk masing-masing lembaga yang berwenang. Undang-Undang ini amat dibutuhkan karena hingga saat ini masih belum ada pengaturan yang sinkron mengenai penyadapan sehingga berpotensi merugikan hak konstitutional warga negara pada umumnya
Dari tiga putusan Mahkamah Konstitusi RI ini sebenarnya menegaskan, bahwa pengaturan tata cara penyadapan dalam RUU Intelejen justru akan bertentangan atau melawan perintah dari Pengadilan yang dalam hal ini adalah perintah dari Mahkamah Konstitusi RI. Karena MK menghendaki tata cara penyadapan harus diatur dengan undang-undang tersenderi, yang mengatur seluruh mekanisme penyadapan bagi semua lembaga yang memiliki kewenangan itu. Artinya, UU Intelejen hanya dibolehkan mengatur tentang pemberian kewenangan penyadapan, tetapi tidak mengatur tata cara, pra-syarat, serta pembatasannya.
Selain harus diatur dengan menggunakan undang-undang, pembatasan lain bagi pemberian kewenangan penyadapan, adalah keharusan adanya ijin penetapan dari Ketua Pengadilan. Selain itu, juga harus disediakan mekanisme pengaduan (complaint) bagi individu-individu yang hak privasinya dilanggar oleh kerja-kerja lembaga intelejen. Mekanisme komplain ini dapat melalui lembaga pengadilan, ombudsman, atau Komisi Nasional HAM. Individu yang menjadi korban penyadapan illegal (tanpa melalui ijin pengadilan), harus mendapatkan rehabilitasi dan pemulihan melalui mekanisme komplain tersebut. Pengaturan penyadapan juga harus secara detail mengatur hak-hak istimewa dari kalangan profesional tertentu, seperti jurnalis dan advokat, hal ini penting demi perlindungan narasumber dan klien mereka. Dengan kaharusan seperti itu, tentunya tidak cukup jika pengaturan penyadapan untuk kepentingan intelejen, hanya diatur di UU Intelejen.
Catatan yang lain adalah masih simpang siur dan tersebarnya pengaturan mengenai kewenangan, mekanisme, dan tata cara tentang penyadapan. Hal ini dikhawatirkan justru akan melemahkan perlindungan hak asasi dan membuat tingginya kemungkinan penyalahgunaan wewenang dari aparat negara. Untuk itu Pemerintah dan DPR harus secara serius mentaati putusan–putusan dari Mahkamah Konstitusi yang secara tegas meminta agar pemerintah dan DPR untuk membuat sinkronisasi dan harmonisasi tentang mekanisme dan tata cara penyadapan.
Berdasarkan hal–hal tersebut, ICJR dan ELSAM mendesak agar:
1. Pemerintah dan DPR RI untuk mentaati putusan–putusan Mahkamah Konstitusi No 006/PUU-I/2003, bertanggal 30 Maret 2004, No 012-016-019/PUU-IV/2006, bertanggal 19 Desember 2006, dan No 5/PUU-VIII/2010 tertanggal 24 Februari 2011.
2. Materi-materi di dalam RUU Intelejen, masih banyak yang memicu perdebatan di masyarakat, khususnya yang terkait dengan pengaturan mengenai penyadapan, karena itu DPR harus membuka konsultasi publik yang lebih luas, guna menyerap aspirasi yang lebih beragam dari berbagai pihak di masyarakat.
3. Pengaturan penyadapan di RUU Intelejen masih sangat prematur, sehingga masih memerlukan pengaturan yang mendetail mengenai tata cara penyadapan di dalam UU Tata Cara Penyadapan. Karena itu, Pemerintah dan DPR untuk segera membuat RUU Penyadapan yang harus mengatur tentang (i) adanya otoritas resmi yang ditunjuk dalam Undang-Undang untuk memberikan izin penyadapan, (ii) adanya jaminan jangka waktu yang pasti dalam melakukan penyadapan, (iii) pembatasan penanganan materi hasil penyadapan, (iv) pembatasan mengenai orang yang dapat mengakses penyadapan, (v) wewenang untuk melakukan, memerintahkan maupun meminta penyadapan, (vi) tujuan penyadapan secara spesifik, (vii) tata cara penyadapan, (viii) pengawasan terhadap penyadapan, dan (ix) penggunaan hasil penyadapan.
Jakarta, 25 Maret 2011
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)