Lembaga hukum Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengkritik langkah Mahkamah Agung mengeluarkan surat edaran tentang pembatasan pengajuan peninjauan kembali menjadi hanya boleh satu kali.
Ketua Dewan Pengawas ICJR Ifdhal Kasim mengatakan surat edaran Mahkamah Agung (sema) yang dikeluarkan untuk memuluskan eksekusi hukuman mati itu menunjukkan bahwa hukum pidana mulai digunakan bagi kepentingan-kepentingan pemerintah.
“Sema tidak bisa dimungkiri adalah bentuk penyerobotan, atau mengambil hak pada setiap orang untuk menggunakan prosedur hukum,” ujar Ifdhal di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Ahad, 11 Januari 2015. Padahal, kata Ifdhal, para terpidana mempunyai hak mengajukan peninjauan kembali lebihdari sekali, seperti yang sudah diputuskan Mahkamah Konstitusi.
Ifdhal khawatir surat edaran ini dijadikan instrumen pemerintah untuk merampok hak-hak masyarakat. Menurut Ifdhal, tindakan ini bisa mengancam kebebasan warga negara, khusunya terpidana. “Pengambilan oleh negara terhadap hak ini jelas pelanggaran hak asasi manusia.”
Ifdhal menyarankan Mahkamah Agung mencabut surat edaran ini dan mengeluarkan aturan yang memperketat syarat-syarat pengajuan bukti baru atau novum. Menurut Ifdhal, bila syarat novum diperjelas, para terpidana tidak akan main-main dalam mengajukan peninjauan kembali untuk sekadar mengulur waktu eksekusi.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung mengadu ke Mahkamah Agung lantaran tidak bisa mengeksekusi beberapa terpidana mati. Musababnya, beberapa terpidana itu sedang mengajukan peninjauan kembali untuk yang kedua kalinya.
Kejaksaan mensinyalir para terpidana mati itu sengaja mengulur-ulur waktu eksekusi. Karena itu, Mahkamah akhirnya mengeluarkan surat edaran yang membatasi peninjauan kembali hanya boleh diajukan satu kali.
Sumber: Tempo.co