LBH Pers, AJI Jakarta, dan ICJR mendukung seluruh upaya Kejaksaan Agung untuk mengungkap seluruh aliran dana dan pengungkapan tindak pidana Korupsi yang merugikan kemaslahatan masyarakat Indonesia. Akan tetapi, kami juga menyoroti penggunaan delik obstruction of justice atau perintangan penyidikan tidak tepat dan berpotensi menimbulkan praktik kriminalisasi terhadap jurnalis, perusahaan Media, dan masyarakat sipil.
Pada Selasa, 22 April 2025 melalui SIARAN PERS NOMOR: PR – 331/037/K.3/Kph.3/04/2025, Kejaksaan Agung menetapkan 3 (tiga) orang tersangka yakni Marcella Santoso (MS) selaku advokat, Junaedi Saibih (JS) selaku advokat, dan Tian Bahtiar (TB) selaku Direktur Pemberitaan Jak TV. Ketiganya diduga melanggar Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (obstruction of justice), sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP karena telah melakukan permufakatan jahat untuk mengganggu penanganan kasus dugaan suap penanganan perkara ekspor crude palm oil (CPO).
Kejaksaan menilai bahwa skema tersebut dilakukan dengan cara, Tersangka MS dan Tersangka JS meng-order Tersangka TB untuk membuat berita-berita negatif dan konten-konten negatif yang menyudutkan Kejaksaan terkait dengan penanganan perkara a quo baik di penyidikan, penuntutan maupun di persidangan. Kejagung juga menyita barang bukti berupa sejumlah karya jurnalistik pemberitaan di media online dan media sosial.
Terhadap temuan tersebut, LBH Pers, AJI Jakarta, dan ICJR mendukung seluruh upaya Kejaksaan Agung untuk mengungkap seluruh aliran dana dan pengungkapan tindak pidana Korupsi yang merugikan kemaslahatan masyarakat Indonesia. Akan tetapi, kami juga menyoroti penggunaan delik obstruction of justice atau perintangan penyidikan tidak tepat dan berpotensi menimbulkan praktik kriminalisasi terhadap jurnalis, perusahaan Media dan masyarakat sipil.
Ketentuan Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memuat unsur-unsur tindak pidana yang secara kumulatif harus terpenuhi yakni, “Setiap orang yang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama dua belas tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta.” Dalam pasal ini, definisi mencegah, merintangi, menghalang-halangi penyidikan, dan penuntutan sama sekali tidak diatur oleh undang-undang. Ini menimbulkan masalah dalam penerapannya, tanpa batasan yang jelas.
Lebih lanjut, ke depannya obstruction of justice juga akan diatur dalam Pasal 281 KUHP 2023 yang mulai berlaku pada Januari 2026. Namun, ketentuan tersebut masih mengandung permasalahan yang sama seperti sebelumnya. Obstruction of justice seharusnya dipahami sebagai perbuatan spesifik yang bertujuan memaksa atau mencegah penyidik untuk tidak menjalankan tugasnya. Dengan demikian, harus terdapat hubungan langsung antara tindakan spesifik tersebut dengan terhambatnya pelaksanaan tugas penyidikan.
Sebagai catatan juga, rapat pembahasan RUU KUHP pada Senin, 14 November 2022 juga telah membahas komitmen memperbaiki kriminalisasi obstruction of justice untuk menjelaskan perbuatan yang spesifik. Namun, pasca pembahasan ini, justru rumusan Pasal 281 KUHP 2023 tidak diperbaiki.
Selain terdapat persoalan terkait definisi dan penerapan obstruction of justice sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dalam praktiknya sangat penting untuk membedakan antara tindakan menghalangi proses penyidikan dengan bentuk-bentuk pelanggaran lain seperti praktik suap atau pelanggaran kode etik khususnya dalam konteks kerja jurnalistik.
Ketentuan Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik secara eksplisit menegaskan bahwa Jurnalis dalam menjalankan tugas jurnalistiknya dilarang untuk menerima suap dan merekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang. Guna menjamin independensi dan integritas perusahaan Media dan Jurnalis sebagai pilar keempat demokrasi, UU No.40 tahun 1999 tentang Pers memandatkan Dewan Pers sebagai lembaga independen yang bertugas melindungi kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas kehidupan pers.
Salah satu tugas dan fungsinya berperan untuk menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik dan memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Dewan Pers bersama dengan Kejaksaan juga telah menyusun Nota Kesepahaman NOMOR: 01 /DP/MoU/II/2019 NOMOR: KEP.040/A/JA/02/2019 tentang Koordinasi dalam Mendukung Penegakan Hukum, Perlindungan Kemerdekaan Pers, dan Peningkatan Kesadaran Hukum Masyarakat serta Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia.
Pasal 2 Nota Kesepahaman tersebut menegaskan kewajiban para Pihak untuk melakukan Koordinasi, komunikasi, dan konsultasi dalam mendukung bidang Penegakkan hukum dan perlindungan kemerdekaan Pers; serta Pemberian keterangan Ahli dari Dewan Pers. Produksi Konten dan Karya Jurnalistik dan produksi karya hasil riset dan survei merupakan aktivitas akademis yang dijamin dan dilindungi oleh konstitusi. Pers memiliki hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi, termasuk sebagai bentuk kontrol sosial.
Berdasarkan ketentuan dari sejumlah regulasi dan kebijakan yang telah dijelaskan di atas, LBH Pers, AJI Jakarta, dan ICJR menyerukan:
Pertama, LBH Pers, AJI Jakarta, dan ICJR mendukung segala upaya pemberantasan korupsi yang menggerogoti bangsa Indonesia. Namun upaya penegakan hukum harus dilakukan secara profesional, proporsional, dan menghormati hak-hak asasi manusia termasuk kebebasan berpendapat dan kemerdekaan pers;
Kedua, pelabelan karya jurnalistik berupa kritik dan kontrol sosial sebagai “Konten yang dinilai sebagai Pemberitaan Negatif” oleh Kejaksaan Agung merupakan tindakan melebihi kewenangan yang mengancam kemerdekaan pers. Pemberitaan yang diproduksi dan dipublikasikan melalui saluran apapun, termasuk tidak terbatas pada Media Sosial Perusahaan Media JakTV, merupakan bagian dari proses kerja jurnalistik yang dijamin konstitusi dan bukan merupakan tindak pidana.
Ketiga, tindak pidana obstruction of justice atau perintangan proses hukum seharusnya dipahami sebagai perbuatan spesifik yang bertujuan memaksa atau mencegah penyidik untuk tidak menjalankan tugasnya. Dengan demikian, harus terdapat hubungan langsung antara tindakan spesifik tersebut dengan terhambatnya pelaksanaan tugas penyidikan. Kami juga menyerukan perbaikan pengaturan soal ini dalam Pasal 21 UU Tipikor dan Pasal 281 dalam KUHP 2023 yang akan berlaku pada Januari 2026.
Keempat, Kejaksaan Agung harus menghormati ketentuan Undang-Undang Pers dengan menempuh upaya penyelesaian sengketa pemberitaan melalui mekanisme hak jawab atau terlebih dahulu melakukan pengaduan pada Dewan Pers untuk menilai substansi konten pemberitaannya. Bahwa terkait upaya penegakan hukum, sebagaimana diatur dalam nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Kejaksaan Republik Indonesia Nota Kesepahaman NOMOR: 01 /DP/MoU/II/2019 NOMOR: KEP.040/A/JA/02/2019 tentang Koordinasi dalam Mendukung Penegakan Hukum, Perlindungan Kemerdekaan Pers, dan Peningkatan Kesadaran Hukum Masyarakat serta Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia, Kejaksaan tidak berada pada kapasitas untuk melakukan pelabelan terhadap pemberitaan.
Sehingga, menyematkan label “Pemberitaan Negatif” tanpa terdapatnya penilaian substansi dari Dewan Pers merupakan tindakan yang tanpa kewenangan. Kejaksaaan Agung harus melakukan penegakan hukum secara profesional, tanpa memberikan catatan pada perlindungan pers dengan melakukan penilaian terhadap karya jurnalistik. Proses hukum harus menghormati kemerdekaan pers sebagai salah satu sarana publik untuk berkomunikasi, mengembangkan pendapat dan memperoleh informasi yang sah dan bukan merupakan suatu tindak pidana. Kejaksaan Agung telah keliru mengkategorikan kritik melalui berita sebagai bentuk tindak pidana obstruction of justice.
Karya Jurnalistik dan produksi karya hasil riset dan survei merupakan aktivitas akademis yang dijamin dan dilindungi oleh konstitusi. Pers memiliki hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi, termasuk sebagai bentuk kontrol sosial. Konteks dari konten yang dibuat untuk menyampaikan kritik terhadap proses penegakkan hukum dan Tindakan aparat penegak hukum harus dipandang sebagai tindakan pengawasan yang wajar untuk dijalankan oleh Masyarakat sipil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sehingga tidak dapat dikenakan delik pidana apa pun.
Kelima, LBH Pers, AJI Jakarta, dan ICJR tetap mendorong pentingnya setiap insan pers tetap menjunjung tinggi kode etik jurnalistik, termasuk menjalankan tugas profesi secara profesional dan tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Berdasarkan Pasal 15 Ayat (2) huruf c Dewan Pers berfungsi menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik.
Oleh sebab itu LBH Pers, AJI Jakarta, dan ICJR:
- Mendesak Kejaksaan Agung untuk melakukan koordinasi langsung dengan Dewan Pers perihal seluruh konten publikasi yang dijadikan sebagai alat bukti sebagaimana ketentuan nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Kejaksaan Republik Indonesia NOMOR : 01 /DP/MoU/II/2019 NOMOR : KEP.040/A/JA/02/2019 tentang Koordinasi Dalam Mendukung Penegakan Hukum, Perlindungan Kemerdekaan Pers, Dan Peningkatan Kesadaran Hukum Masyarakat Serta Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia;
- Mendorong Dewan Pers agar melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran kode etik jurnalistik pada kasus Direktur Pemberitaan Jak TV. Serta mengambil tindakan tegas apabila terbukti terjadi pelanggaran etik berupa penyalahgunaan profesi atau menerima suap;
- Mendorong Pemerintah dan DPR untuk memperbaiki rumusan pasal kriminalisasi obstruction of justice pada Pasal 21 UU Tipikor dan Pasal 281 KUHP 2023. Paling tidak dalam usulan RUU Penyesuaian Pidana.
Jakarta, 23 April 2025
Hormat Kami,
ICJR – LBH Pers – AJI Jakarta