Pengadilan Negeri Makassar akhirnya memutus bebas M. Arsyad, terdakwa kasus penghinaan lewat status BlackBerry Messenger kepada Politisi Kadir Halid. Vonis yang dibacakan oleh Majelis Hakim yang diketuai oleh Rianto Adam Pontoh dan beranggotakan R. Bernadette Samosir dan Ansyar sebagai Hakim anggota, membebaskan Arsyad yang sebelumnya telah ditahan di Rutan Kelas I Makassar.
Anggara, Ketua Badan Pengurus Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), mengungkapkan apresiasinya terhadap putusan PN Makassar tersebut. Menurut Anggara, sedikit banyak, putusan tersebut telah memberikan gambaran bahwa peradilan di Indonesia masih dapat melihat secara jernih persoalan kebebasan berekspresi.
Anggara berpandangan bahwa proses pidana pada kasus-kasus penghinaan akan memberikan iklim buruk dan traumatis akan hak kebebasan berekspresi, sehingga putusan hakim tersebut patut untuk diapresiasi. Anggara menekankan bahwa sisi lain dari putusan bebas ini adalah buruknya pemahaman Polisi dan Jaksa akan kedudukan suatu kasus. Menurutnya, Polisi dan Jaksa harus diperingatkan lebih berhati-hati dalam memproses suatu kasus apakah layak untuk diajukan proses hukumnya, terlebih lagi kasus-kasus yang berpotensi melanggar hak asasi warga negara dan rentan dijadikan alat kriminalisasi politis.
Menjadi sorotan penting lainnya adalah bagaimana Jaksa menggunakan upaya paksa penahanan terhadap Arsyad. Anggara berpendapat bahwa Jaksa sama sekali tidak mempertimbangkan aspek kerugian yang akan dihadapi terdakwa dalam masa penahanan, entah itu masalah sosial maupun ekonomi. Untuk kasus seperti penghinaan, apalagi latar belakang terdakwanya jelas, serta keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa adanya kemungkinan terdakwa untuk melarikan diri, mengulangi perbuatan dan menghilangkan barang bukti sangat minim, penahanan harusnya tidak perlu dilakukan. Persidangan tetap dapat dilakukan meskipun terdakwa berada diluar tahanan.
Anggara menilai bahwa satu – satunya alasan penahanan pada M. Arsyad hanyalah berdasarkan alasan ancaman hukuman lebih dari 5 tahun. Perlu untuk diketahui bahwa M. Arsyad dikenakan dakwaan berdasarkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang ancaman pidananya 6 tahun penjara.
Untuk itu Anggara mendorong Arsyad untuk mengajukan gugatan atau permohonan ganti rugi atas semua kerugian yang dialaminya pada saat masa penahanan, sebab Anggara berpendapat bahwa penahanan yang sebelumnya dilakukan terhadap Arsyad merupakan bentuk kesewenang-wenangan aparat negara terhadap warga negara dan untuk itu Arsyad perlu didorong untuk menuntut haknya.