Polres Bekasi Kota telah menetapkan AT sebagai tersangka kasus pemerkosaan terhadap seorang anak di bawah umur. Anak anggota DPRD Kota Bekasi tersebut (AT) yang berusia 21 tahun tersebut kemudian menyatakan bersedia menikahi korban yang masih berusia 15 tahun tersebut.
ICJR mengingatkan bahwa wacana tersangka untuk menikahi korban yang dinyatakan tersangka dan disampaikan oleh penasihat hukum tersangka harus ditanggapi secara kritis oleh aparat penegak hukum, utamanya pihak kepolisian yang saat ini menangani kasus tersebut.
Sesuai dengan Pasal 81 Perpu 1 tahun 2016 jo Pasal 76D UU No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak bahwa, Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, yang diganjar dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Perbuatan melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain juga dinyatakan sebagai tindak pidana, sekalipun ada narasi bahwa keduanya adalah perbuatan suka sama suka, hal tersebut adalah tindak pidana. Dikarenakan korban berusia anak, maka tidak ada konsep persetujuan murni orang dibawah usia 18 tahun untuk melakukan hubungan seksual, maka hubungan seksual antara orang dewasa dengan anak-anak harus dinyatakan sebagai tindak pidana.
Selain itu, jalan menikahkan anak korban dengan pelaku kekerasan seksual dalam hal ini perkosaan selain tidak sejalan dengan prinsip perlindungan hak anak juga bertentangan dengan komitmen pencegahan perkawinan anak. Sesuai dengan Pasal 26 UU No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak telah secara jelas menyatakan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan anak. Dalam UU ini juga telah dinyatakan bahwa anak korban kejahatan seksual memerlukan perlindungan khusus yang terdiri dari upaya: edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai kesusilaan; rehabilitasi sosial; pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan; dan pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di sidang pengadilan. Menikahkan korban dan pelaku dengan konsekuensi korban harus terus hidup bersama orang yang melakukan kekerasan terhadapnya jelas bukan merupakan pemulihan.
Untuk itu ICJR mengingatkan pada aparat penegak hukum yang menangani kasus ini menggunakan perspektif korban dan anak, penyidik harus peka dengan orientasi tetap pada anak korban, bukan semata-mata narasi penyelesaian perkara dengan pernikahan yang dapat berdampak buruk pada anak. Ide menikahkan korban dengan dalih menghindari dosa apalagi untuk meringankan hukuman jelas tidak dapat dibenarkan. Pelaku telah melakukan tindak pidana, yang merupakan urusan hukum publik, bukan ranah kekeluargaan atau keperdataan.
Jakarta, 28 Mei 2021
Hormat Kami,
ICJR
CP: Maidina Rahmawati