Latar belakang perempuan terlibat dalam tindak pidana sebagian besar berkorelasi dengan adanya kekerasan berbasis gender dan bentuk viktimisasi lainnya yang merupakan kerentanan spesifik perempuan. Kerentanan ini juga memuat adanya persinggungan dengan kerentanan sosial-ekonomi, yaitu perempuan mengalami kemiskinan, menanggung tanggung jawab perawatan, hingga terjerat karena paksaan atau pengaruh pasangan. Tidak hanya itu, kerentanan berlapis sangat mungkin terjadi dalam hal perempuan yang ditahan atau dipenjara dalam kondisi hamil, menyusui, disabilitas, lanjut usia, sampai perempuan yang membawa anak ke lapas.
Hukum nasional saat ini, seperti UU Pemasyarakatan dan peraturan sektoral lainnya belum sepenuhnya menjamin perlakuan yang sensitif gender. Padahal, berdasarkan standar minimum internasional setidaknya beberapa hal krusial harus dijamin. Pertama, alternatif non-penahanan dan non-pemenjaraan diutamakan dengan melihat latar belakang tindak pidana dan kerentanan spesifik perempuan. Kedua, penanganan oleh staf perempuan termasuk saat melakukan penggeledahan badan. Ketiga, tempat penahanan perempuan harus dipisahkan dari laki-laki. Keempat, fasilitas dan layanan kesehatan spesifik untuk perempuan harus dijamin. Kelima, edukasi dan program harus bertujuan pada integrasi sosial dengan program berbasis komunitas atau masyarakat.
Penelitian ini membahas situasi tahanan dan narapidana perempuan di Indonesia dikaitkan dengan pemenuhan hak spesifik perempuan berdasarkan standar minimum internasional dan hukum nasional, termasuk tinjauan terhadap Rancangan KUHAP. Dalam penelitian ini ditinjau sejauh mana perlindungan terhadap tahanan dan narapidana perempuan seharusnya diberikan. Mengingat pentingnya landasan hukum diintegrasikan dalam satu hukum acara pidana yang utuh, penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi bagi pemerintah untuk membentuk ketentuan yang sensitif gender, khususnya terhadap perempuan yang berkonflik dengan hukum.
Baca riset lengkapnya di sini.