okezone.com – JAKARTA – Working Group on the Advocacy Against Torture (WGAT) melihat Indonesia sampai saat ini tidak memiliki regulasi yang secara khusus mengatur penegakan dan penghukuman bagi pelaku-pelaku penyiksaan. Indonesia justru masih memiliki berbagai aturan yang pro penyiksaan.
Misalnya saja, beberapa qanun di Aceh yang masih memiliki hukuman yang berifat “corporal punishment”, aturan dalam UU terorisme dan UU Narkotika yang masih memungkinkan dilakukan penangkapan/penahanan “in comunicado”, dan di samping itu masih banyak regulasi yang mengijinkan jangka waktu penahanan yang cukup lama.
Supriyadi W. Eddyono, Anggota WGAT dari ICJR, menyebutkan karena masih digunakannya KUHP, khususnya ketentuan-ketentuan mengenai penganiayaan dalam menjerat pelaku-pelaku penyiksaan menjadikan gradasi tindak pidana penyiksaan menjadi “turun”, dan tidak memberikan efek jera bagi pelaku.
Akibatnya, hukuman bagi pelaku-pelaku penyiksaan karena dijerat dengan KUHP lebih ringan, sehingga mengakibatkan pelaku dapat segera bebas dan berkeliaran, serta berpotensi untuk mengulangi perbuatannya.
“Regulasi KUHP tidak dapat menjadi sarana untuk menghentikan berulangnya praktik-praktik penyiksaan. Disamping itu, aparat penegak hukum, khususnya hakim, jaksa, polisi dan petugas pemasyarakatan belum memiliki pengetahuan yang memadai mengenai penyiksaan,” kata Supriyadi dalam siaran pers yang diterima Okezone, Jumat (13/6/2014).
Selain itu, tidak diratifikasinya Protokol Opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakukan atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (Optional Protocol to the Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment/OPCAT), mengakibatkan Indonesia juga tidak memiliki mekanisme pemantauan tempat-tempat penahanan yang terintegrasi dengan berbagai lembaga pengawasan dan perlindungan hak asasi manusia. Sehingga menjadikan tempat-tempat penahanan sebagai “surga” bagi pelaku-pelaku penyiksaan.
Wahyu Wagiman, Anggota WGAT dari Elsam, memaparkan bahwa masalah lain yang masih perlu diperhatikan adalah keterbatasan regulasi yang mengatur pemulihan hak-hak korban penyiksaan.
Regulasi yang ada masih mengabaikan hak-hak korban penyiksaan dan tindak pidana lainnya yang secara jelas telah diatur dalam berbagai instrumen hak asasi manusia internasional yang sudah diratifikasi oleh Indonesia, seperti Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi Dan Merendahkan Martabat Manusia yang mewajibkan “setiap Negara Pihak harus menjamin agar dalam sistem hukumnya korban dari suatu tindak penyiksaan memperolah ganti rugi dan mempunyai hak untuk mendapatkan konpensasi yang adil dan layak, termasuk sarana untuk rehabilitasi sepenuh mungkin….”.
Wahyu Wagiman menekankan bahwa terkait hal tersebut Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban belum mengatur secara komprehensif mengenai hak-hak korban penyiksaan.
“Hak-hak atas pemulihan yang berupa hak atas bantuan medis dan psikososial masih terbatas dan hanya diperuntukkan bagi korban-korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Sementara korban-korban penyiksaan dan tindak pidana lainnya belum diakomodasi secara lebih konkrit,” kata Wahyu.
Pengaturan yang terbatas mengenai hak-hak korban penyiksaan untuk mendapatkan bantuan medis dan rehabilitasi psiko-sosial, berakibat pada sulitnya korban-korban penyiksaan untuk mendapatkan bantuan medis dan psikososial.
Oleh karena itu, WGAT mendesak pemerintah Indonesia sesegera mungkin mendorong secara serius anti penyiksaan dalam regulasi-regulasi tersebut. Khusus untuk Revisi Undang-Udnag perlindungan saksi dan Korban.
“Kami mendesak pemerintah dan DPR memasukkan hak reparasi (kompensasi, restituai dan bantuan) bagi korban-korban penyiksaan. Kami juga mendorong agar membentuk Undang-Undang Khusus Anti penyiksaan, jika RUU KUHP dan RUU KUHAP gagal merumuskan pasal-pasal anti penyiksaan. Pemerintah juga wajib merevisi seluruh ketentuan peraturan yang berpotensi membuka situasi penyiksaan, khususnya yang mengatur lamanya masa penahanan,” kata Wahyu.
(ful)
sumber : http://news.okezone.com/read/2014/06/13/339/998535/hukum-di-indonesia-belum-bikin-jera-pelaku-penyiksaan