ICJR siapkan pengujian (Judicial Review) SEMA 7/2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana ke Mahkamah Agung
Presiden Jokowi secara terbuka menyatakan akan menolak permohonan grasi bagi terpidana mati kasus narkoba. Sikap Presiden ini kemudian ditindak lanjuti dengan mengeluarkan Keputusan Presiden tentang penolakan grasi bagi 20 terpidana mati (15 kasus narkotika dan 5 kasus pembunuhan berencana). Pada 18 Januari 2015, 6 orang terpidana hukuman mati akhirnya di eksekusi. Rencananya pada Februari 2015, Kejaksaan Agung direncanakan akan menggelar eksekusi gelombang kedua atas para terpidana mati yang telah ditolak permohonan grasinya.
ICJR secara konsisten tetap meminta kepada Jaksa Agung untuk melakukan penghentian sementara (moratorium) terlebih dahulu eksekusi terpidana mati, sembari memperhatikan dan menunggu upaya-upaya pengajuan Peninjauan kembali (PK) sebagai hak terpidana mati, termasuk proses legislasi RUU KUHP yang secara normative berencana akan melakukan pembatasan secara sistematis pada hukuman mati dan menggantikannya dengan pembatasan hukuman mati secara alternative.
ICJR juga mengingatkan kepada Mahkamah Agung RI agar tidak menghalangi-halangi pengajuan PK dan tidak menolak pendaftaran atau permohonan PK di tingkat Pengadilan negeri. ICJR masih bersikukuh bahwa Surat Edaran MA (SEMA) No. 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena pembatasan pengajuan permohonan peninjauan kembali yang diatur dalam SEMA 7/2014 tersebut telah bertentangan dengan KUHAP termasuk bertentangan dengan pertimbangan dalam putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 terhadap Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Saat ini ICJR masih melakukan persiapan untuk menguji SEMA tersebut ke Mahkamah Agung, untuk melihat konsistensi pertimbangan Mahkamah Agung atas keberadaan putusan Mahkamah Konstitusi dan sekaligus memperbaiki prosedur PK di Indonesia. ICJR merekomendasikan lebih baik MA segera mengeluarkan produk hukum terkait Novum sebagai standar baku pengajuan PK ketimbang melakukan pembatasan PK.
ICJR juga meminta kepada Komisi Yudisial Republik Indonesia untuk segera memeriksa ulang seluruh putusan terpidana hukuman mati yang saat ini telah berkekuatan hukum tetap. ICJR mencurigai kemungkinan bahwa masih ada pelanggaran serius terhadap prinsip fair trial di hampir 135 putusan pengadilan yang memberikan putusan pidana mati. Saat ini ICJR juga masih melakukan pemeriksaan terhadap 43 putusan Pengadilan, dan menemukan dugaan sementara bahwa masalah pembuktian di tingkat PN sangat berpotensi berkontribusi dalam kesalahan penuntutan dan kesalahan atas pertimbangan keputusan Hakim terhadap beberapa kasus hukuman mati.
ICJR menentang praktek hukuman mati karena larangan pembatasan terhadap tujuh jenis hak asasi manusia yang tercantum dalam pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 adalah bersifat mutlak dan dan tidak dapat dikoreksi yang melanggar hak asasi manusia mendasar mengenai hidup dan martabat. ICJR juga melihat pernyataan dari Komite Hak Asasi Manusia dalam rekomendasi-rekomendasi tentang hak-hak sipil dan politik tahun 2013 kepada Indonesia, dimana Komite menyerukan pihak berwenang di Indonesia untuk menerapkan moratorium hukumanmati. Komite mencatat bahwa Indonesia menerapkan hukuman mati bagi kejahatan terkaitnarkotika, kejahatan yang tidak termasuk dalam ambang batas “kejahatan paling serius”.Jika Indonesia menolak menerapkan moratorium, Komite menyerukan pihak berwenangIndonesia untuk mengevaluasi undang-undang sehingga hukuman mati tidak diterapkan untuk kejahatan terkait narkotika.