ICJR Desak Pemerintah Batalkan Rencana Eksekusi 14 Terpidana Mati di 2016
Pada 2015, pemerintah Indonesia telah mengeksekusi mati 14 terpidana mati dalam dua gelombang. Untuk 2016 ini, Jaksa Agung, HM Prasetyo, telah berencana melakukan eksekusi mati dan untuk itu Jaksa Agung telah menyampaikan rencana ini ke DPR dan disetujui untuk anggaran eksekusi mati oleh DPR.
Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri RI, juga telah mengkonfirmasi rencana ini. Menurutnya akan ada 14 terpidana mati yang akan dieksekusi pada 2016. Namun Jaksa Agung, sampai saat ini belum menentukan tanggal dan nama-nama orang yang akan dieksekusi mati
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengkritik keras rencana eksekusi mati ini dan mendesak agar pemerintah Indonesia melaksanakan kewajiban konstitusional dan komitmen internasionalnya dalam menghargai hak hidup yang dijamin dalam UUD 1945 dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.
ICJR juga berpendapat sampai saat ini, pemerintah Indonesia dan Kejaksaan Agung tidak mampu menjelaskan mengenai metode pemilihan dalam menentukan siapa saja yang akan dieksekusi mati baik dalam gelombang eksekusi mati di 2015 dan rencana eksekusi mati di 2016.
Presiden juga tidak memberikan informasi mengenai pertimbangan apa saja yang membuat PResiden menerima atau menolak grasi dari Para Terpidana Mati. PResiden melalui Menteri Sekretaris Negara secara resmi sudah menolak memberikan informasi tentang Keputusan Presiden mengenai Grasi dan saat ini ICJR sedang dalam proses ajudikasi di Komisi Informasi Pusat mengenai informasi Keppres Grasi ini.
ICJR menilai dalam proses penjatuhan hukuman mati masih banyak terdapat kejanggalan terutama dalam proses peradilan pidana. Salah satu sorotan ICJR adalah dalam kasus Zainal Abidin yang berkas kasusnya malah sempat “menghilang” selama beberapa tahun dan dihukum matinya seorang Anak, Yusman Telaumbanua, di Nias oleh Pengadilan.
Dengan rencana eksekusi mati ini, ICJR menilai politik perubahan pidana mati dalam Rancangan KUHP merupakan lips service dari pemerintah. Rancangan KUHP yang konsepnya disusun oleh pemerintah telah menyatakan bahwa eksekusi terpidana mati wajib mempertimbangkan masa tunggu dengan menunjukkan sikap dan perbuatan yang baik yang ditunjukkan oleh para Terpidana mati. Dengan melakukan ekskusi mati ini, politik pemidanaan pemerintah dalam konteks pidana mati, dalam pandangan ICJR, belum ada perubahan yang signifikan.
ICJR juga mendesak agar Mahkamah Agung segera mencabut SEMA pembatasan peninjauan kembali yang bertentangan dengan Konstitusi. ICJR menilai tindakan MA yang masih mempertahankan SEMA pembatasan peninjauan kembali merupakan pembangkangan terhadap Konstitusi
Artikel Terkait
- 30/07/2016 Presiden Joko Widodo dan Jaksa Agung Harus Bertanggung Jawab Atas Eksekusi Mati Ilegal
- 29/07/2016 #Indonesia : Executed in the name of Law
- 29/07/2016 Bila Eksekusi Terpidana Mati yang Belum Menerima Keputusan Presiden Terkait Grasi, Jaksa Lakukan Perbuatan Melawan Hukum dan Pembangkangan Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi
- 28/07/2016 Pemerintah Indonesia kembali mengulang kesalahan: 14 Terpidana Mati Di Kabarkan Masuk List Ekskusi Tahap III
- 06/08/2018 ICJR calls for Government Assurance on “Indonesian Way” of Death Penalty
Related Articles
LPSK Harus Segera Bentuk Pansel Anggota LPSK Periode 2013-2018
Siaran Pers Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban Keanggotaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) periode 2008-2013 akan berakhir pada 8
Darurat Kondisi Pandemi: ICJR, IJRS dan LeIP serukan 5 Langkah Darurat yang Perlu Dilakukan Presiden terkait Kondisi Rutan dan Lapas
Darurat Kondisi Pandemi: ICJR, IJRS dan LeIP serukan 5 Langkah Darurat yang Perlu Dilakukan Presiden terkait Kondisi Rutan dan Lapas
Perlu Segera Mereformasi Kebijakan Anti Perdagangan Orang di Indonesia
Pada 2020 lalu ICJR menerbitkan penelitian terkait penanganan masalah tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Indonesia berjudul Buku Kerja: Menuju