ICJR: Golput Adalah Hak Politik, Bukan Tindak Pidana
Di tengah euphoria tahun politik 2019, banyak beredar wacana bahwa golput merupakan perbuatan yang dilarang atau bahkan dapat dipidana. Namun, ICJR dengan tegas menyatakan bahwa wacana tersebut sama sekali tidak berdasar karena minimnya pemahaman masyarakat tentang golput yang sebenarnya juga merupakan bagian dari hak politik warga negara. ICJR memiliki kepentingan agar tidak terjadi penggunaan pidana yang eksesif dengan tujuan mengekang kebebasan berekspresi dan berpendapat serta hak politik warga negara.
Golongan putih atau golput merupakan istilah yang digunakan ketika seseorang yang masuk dalam kategori pemilih dalam pemilu memutuskan untuk tidak menggunakan haknya untuk memilih salah satu calon dalam pemilu. Banyak orang kemudian beranggapan bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak dapat dibenarkan, atau malah merupakan pelanggaran hukum. Padahal, menurut ICJR baik memilih ataupun tidak memilih, keduanya sama-sama merupakan bagian dari hak politik warga negara.
Pasal 28 UUD 1945 menjamin bahwa setiap warga negara mempunyai kemerdekaan untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya yang ditetapkan dalam undang-undang. Salah satu bentuk turunan dari hak tersebut antara lain adalah hak untuk menyatakan pilihan politiknya dalam pemilihan umum bagi warga negara yang ditetapkan sebagai kategori pemilih dalam pemilu. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) khususnya pada Pasal 198 ayat (1) menyatakan bahwa Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin mempunyai hak memilih.
Mengenai hak memilih dalam pemilu tersebut, setidaknya terdapat dua pandangan yang dapat dikaitkan dengan sikap golput. Pertama, jika hak untuk memilih yang pada hakikatnya merupakan hak yang sifatnya boleh digunakan maupun tidak digunakan oleh pemiliknya, maka golput dapat diartikan sebagai pilihan seseorang yang tidak menggunakan haknya tersebut. Kedua, jika kembali merujuk pada ketentuan UUD 1945 maka pernyataan seseorang untuk menjadi golput juga dapat diartikan sebagai bagian dari hak warga negara untuk mengekspresikan pikirannya yang dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945 di atas.
Di sisi lain, posisi seseorang atau sekelompok orang yang memilih untuk tidak memilih juga sama sekali bukan merupakan pelanggaran hukum karena tak ada satu pun aturan hukum yang dilanggar. Ketentuan dalam UU Pemilu tidak melarang seseorang menjadi golput.
Pidana dalam pemilu pada dasarnya mengatur mengenai kemungkinan golput, namun berdasarkan pasal 515 UU Pemilu, terdapat unsur-unsur pidana yang sudah diatur dengan jelas kepada siapa pidana itu dapat berlaku.
Pasal 515 UU pemilu berbunyi :
Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Atas dasar rumusan pasal ini, maka terdapat catatan penting yang harus diperhatikan :
Pertama, memperhatikan unsur “dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih,” dengan unsur ini maka yang dapat dipidana hanya orang yang menggerakkan orang lain untuk golput pada hari pemilihan dengan cara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya. Dengan demikian tanpa adanya janji atau memberikan sejumlah uang atau materi, tindakan sekedar menggerakkan orang untuk golput tidak dapat dipidana.
Kedua, orang yang memilih golput atau mendeklarasikan dirinya Golput tidak dapat dipidana. Masih sejalan dengan unsur sebelumnya. Seorang yang memilih golput tidak dapat dipidana. Bahwa seseorang mendeklarasikan dirinya golput adalah hak yang dijamin oleh Undang-Undang dan Konstitusi selama tidak menggerakkan orang lain menggunakan janji dan pemberian uang atau materi lainnya untuk golput.
Dengan demikian, mengambil sikap golput di dalam pemilihan presiden 2019 adalah hak politik warga negara sepenuhnya dan bukan pelanggaran hukum. Demikian juga dengan menyebarluaskan gagasan atau ekspresi tentang pilihan politik ini. Apabila nantinya terjadi penyelidikan untuk kasus seperti ini, maka penting untuk memastikan unsur-unsur pidana dalam pasal 515 UU Pemilu harus diimplementasikan dengan ketat. Penggunaan pasal ini bagi mereka yang Golput atau melakukannya ekspresi politiknya dengan berkampanye Golput adalah pelanggaran serius bagi hak konstitusi warga negara
———-
Kami memahami, tidak semua orang orang memiliki kesempatan untuk menjadi pendukung dari ICJR. Namun jika anda memiliki kesamaan pandangan dengan kami, maka anda akan menjadi bagian dari misi kami untuk membuat Indonesia memiliki sistem hukum yang adil, akuntabel, dan transparan untuk semua warga di Indonesia tanpa membeda – bedakan status sosial, pandangan politik, warna kulit, jenis kelamin, asal – usul, dan kebangsaan.
Hanya dengan 15 ribu rupiah, anda dapat menjadi bagian dari misi kami dan mendukung ICJR untuk tetap dapat bekerja memastikan sistem hukum Indonesia menjadi lebih adil, transparan, dan akuntabel
Klik taut icjr.or.id/15untukkeadilan
Artikel Terkait
- 27/03/2019 ICJR: Ancaman Pidana terhadap Golput adalah Fenomena Penal Populism
- 10/06/2021 [Siaran Pers Aliansi Nasional Reformasi KUHP] Rancangan KUHP dan Pasal-Pasal Pembunuh Demokrasi
- 22/03/2021 Mengatur Ulang Kebijakan Pidana di Ruang Siber: Studi Tentang Penerapan UU ITE di Indonesia
- 15/02/2021 [Rilis Koalisi Masyarakat Sipil] Usut Tuntas Kekerasan dan Penyerangan Terhadap Warga dan Pembela HAM di Taman Sari
- 22/12/2020 ICJR: Pembaruan Peradilan Pidana di Indonesia Harus juga Menjangkau Kesetaraan Gender
Related Articles
Satu Lagi, Reyndhart Rossy N. Siahaan Korban Kampanye Buta Anti Narkotika Pemerintah Indonesia
Perjuangan Reyndhart Rossy mendapatkan keadilan terpatahkan. Pada Senin, 22 Juni 2020 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kupang memutus bersalah Reyndhart Rossy
7 Tahun dan Reformasi Peradilan Pidana Belum Menjadi Prioritas Presiden
20 Oktober 2019, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin resmi dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik
Perubahan RUU ITE Harus Berperspektif HAM, Bukan Hanya Mengejar Target Produk Legislasi
Pada Rabu 20 April 2016, anggota DPR RI Komisi I bersama Menteri Kominfo, Rudiantara dan Menkumham telah melaksanakan rapat kerja