ICJR menilai penggunaan UU ITE keliru diterapkan dalam kejadian ini, Namun ICJR tetap menghormati proses hukum yang dilakukan aparat kepolisian terhadap Ferdian Paleka terutama dalam rangka melindungi kelompok minoritas transpuan yang sering mendapat perlakuan tidak manusiawi dan diskriminatif. Lebih dari itu, ICJR tidak mentolerir segala bentuk penyiksaan maupun tindakan merendahkan dan tidak manusiawi lainnya yang diduga dialami tersangka Ferdian ketika berada di bawah wewenang aparat.
Pasca ditangkap dengan dugaan pelanggaran UU ITE, tepatnya pada Sabtu, 9 Mei 2020 pagi beredar video yang berisikan perbuatan tidak manusiawi yang memperlihatkan beberapa orang yang menyuruh Ferdian melakukan aktivitas fisik berupa push up dan squat jump serta mengatakan kata-kata yang memaki diri sendiri. Bahkan dalam video tersebut terlihat Ferdian dimasukkan ke dalam tempat sampah dengan dikelilingi banyak orang sambil dimaki. Saat ini Ferdian diketahui tengah ditahan di Polrestabes Bandung untuk proses penyidikan kasusnya sehingga kuat dugaan bahwa video tersebut diambil di tempat yang berada di bawah pengawasan aparat yang berwenang.
Meskipun ICJR tidak sepakat dengan penggunaan UU ITE dikarenakan perbuatan Ferdian Paleka tidak memenuhi unsur-unsur pidana dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yaitu pasal yang disangkakan kepadanya, namun ICJR tetap menghormati proses hukum yang dilakukan aparat kepolisian terutama dalam rangka melindungi kelompok minoritas transpuan yang sering mendapat perlakuan tidak manusiawi dan diskriminatif, perbuatan diskriminatif memang harus diusut. LEbih dari itu, ICJR tidak mentolerir segala bentuk penyiksaan maupun tindakan merendahkan dan tidak manusiawi lainnya yang dilarang oleh hukum.
Penyiksaan maupun tindakan merendahkan dan tidak manusia terhadap setiap orang terutama tersangka telah dilarang secara tegas baik oleh hukum nasional maupun internasional. Hal tersebut diantaranya diatur dalam Konvensi Anti Penyiksaan yang diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 5 tahun 1998 serta UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Bahkan institusi kepolisian melalui Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia juga telah tegas mengatakan agar praktik penyiksaan tidak terjadi dengan memerintahkan agar tersangka diperlakukan dengan baik dan hak asasi manusia yang melekat pada dirinya juga harus tetap dihormati. Aparat seharusnya dapat melaksanakan amanat peraturan perundang-undangan dan hukum yang berlaku dengan menjauhi segala tindak tanduk yang dapat mengarah pada dugaan penyiksaan, tindakan merendahkan, serta tidak manusiawi khususnya terhadap tersangka atau pelaku kejahatan.
Hingga saat ini belum diketahui secara pasti oknum yang menjadi dalang kejadian dalam video tersebut, namun ICJR pertama-tama perlu menekankan agar dugaan perlakuan tidak manusiawi tersebut perlu diusut secara tuntas apabila kemudian diketahui benar terjadi di area institusi kepolisian.
ICJR juga mengingatkan bahwa dalam upaya mengusut kasus perbuatan diskriminatif terhadap kelompok minoritas dalam hal ini transpuan yang termarjinalkan, yang harus menjadi fokus utama aparat penegak hukum adalah adanya pengembalian kehormatan korban dan penggantian kerugian yang diderita korban.
Harusnya polisi melakukan langkah-langkah restoratif yang memulihkan korban. Polisi dapat mendorong adanya permintaan maaf dari pelaku kepada korban, mengupayakan pelaku ganti rugi kepada korban, misalnya dengan kewajiban pelaku memberikan sembako kepada korban dan kelompok minoritas lainnya yang termarjinalkan. Upaya-upaya restoratif tersebut untuk memupuk rasa tanggung jawab pelaku sambil juga memulihkan korban, bukan malah membiarkan terjadinya perlakuan tidak manusiawi kepada pelaku.