Rabu, 24 Maret 2021, ICJR mengirimkan Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) kepada Mahkamah Agung atas Perkara Kasasi Terdakwa I Gede Aryastina alias Jerinx. Dalam kasus Jerinx majelis kasasi perlu sangat teliti dan hati-hati dalam memutus, memperhaatikan kesalahan penerapan hukum yang dilakukan baik pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri maupun tingkat banding di Pengadilan Tinggi. Dalam kasus ini IDI yang dikritik dan ditanya oleh Jerinx adalah organisasi berdasarkan keahlian, terlalu jauh untuk dihubungkan dengan golongan penduduk ataupun dipersamakan dengan sejajar dengan agama suku dan ras yang dilindungi oleh Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Terlebih lagi, pembuktian unsur “antargolongan” yang dilakukan majelis tingkat pertama tidak dapat dipertanggungjawabkan, dan kesalahan tersebut gagal diperbaiki majelis tingkat banding. Kedepan, kasus ini akan menjadi petaka dalam hukum di Indonesia.
Terdakwa Jerinx adalah seorang musisi juga seorang aktivis yang sering menyampaikan opininya di media sosial. Salah satu kebijakan yang dikritik keras oleh Terdakwa Jerinx terkait dengan tata kelola Covid-19 adalah kebijakan paksa rapid test yang digunakan syarat administrasi untuk memperoleh layanan kesehatan. Kebijakan itu menimbulkan dampak negatif misalnya pemberitaan ibu hamil mengalami kesulitan untuk memperoleh layanan persalinan karena harus memenuhi prosedur rapid test yang menyebabkan adanya biaya tambahan, dengan harga yang beragam dan cenderung mahal. Bahkan juga terdapat kasus bayi dalam kandungan yang harus meninggal karena lambat diberikan layanan karena adanya kewajiban test ini. Bahwa pada saat Terdakwa Jerinx sudah ditahan pun kejadian Ibu hamil kesulitan memperoleh layanan yang mengakibatkan bayinya meninggal masih terjadi. Sehingga jelas diskursus tentang kebijakan rapid test adalah kepentingan publik yang seharusnya pendapat dan ekspresi atas hal ini dilindungi.
Petaka muncul dalam implementasi UU ITE ketika Penyidik dan JPU Menyatakan Organisasi Profesi sebagai bagian dari “antargolongan” yang dilindungi oleh Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Menyamakan profesi dengan suku, agama dan Ras jelas merendahkan standar yang ingin dituju oleh pasal 28 ayat (2) UU ITE dan Pasal 156 KUHP.
Baik Majelis Hakim tingkat pertama maupun tingkat banding gagal menerapkan hukum secara tepat memahami hakikat sebenarnya Pasal 28 ayat (2) UU ITE untuk melindungi kelompok yang harus dilindungi karena rentan menjadi target diskriminasi berdasarkan suku, agama, dan Ras (SARA). IDI jelas bukan kelompok yang bisa dilindungi dengan pasal ini.
Majelis hakim dalam perkara tingkat banding, melalui putusan No. 72/Pid.Sus/2020/PT.DPS malah justru menyatakan putusan pengadilan negeri 828/Pid.Sus/2020/Pn. Dps sudah tepat, dan benar, namun menyatakan tidak sependapat dengan lamanya hukuman yang diputuskan majelis tingkat pertama, menurut majelis hakim banding pemidanaan bukanlah bersifat pembalasan, dalam penjatuhan pidana/hukuman tidaklah dimaksudkan untuk melakukan balas dendam, akan tetapi lebih cenderung bersifat edukatif agar dengan tindakan penjatuhan hukuman nantinya pada diri terdakwa. Majelis Hakim banding juga menyatakan penjatuhan pidana terhadap diri terdakwa haruslah memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat. Menurut ICJR, jika memang majelis hakim tingkat banding menjatuhkan berdasarkan keadilan, maka seharusnya putusan bersalah tidak dapat dijatuhkan terhadap terdakwa Jerinx, karena dakwaan Jerinx adalah bentuk kesalahan penerapan hukum.
Dengan logika Penuntut Umum, Majelis Pengadilan Negeri dan Pegadilan Tinggi, maka akan timbul pertanyaan, apakah nantinya bila ada orang yang dianggap mengkritik atau dalam batasan tertentu menghina sebuah organisasi berbadan hukum dengan anggota yang spesifik pada golongan tertentu itu berarti telah menyampaikan ujaran kebencian pada golongan itu? Seandainya ada kritik pada kebijakan Gubernur Bali, apakah artinya itu telah menghina masyarakat bali? Apakah kalau ada krtitik pada lembaga atau organisasi kemasyarakatan yang mengusung nilai agama artinya penodaan agama? Majelis Hakim Kasasi harus sangat berhati-hati meluruskan kembali logika fatalistik ini dan memperbaiki kesalahan penerapan hukum yang dilakukan Penuntut Umum, Majelis Pengadilan Negeri, dan Pegadilan Tinggi tersebut.
Unduh dokumen amicus curiae di sini