Pada Kamis, 13 Juli 2017 Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang perkara No 7/PUU-XV/2017 tentang Permohonan Uji Materil Pasal-pasal Makar dalam KUHP. ICJR selaku pemohon dalam agenda persidangan tersebut menghadirkan dua orang ahli terdiri dari Dr Tristam Pascal Moeliono, S.H., M.H., LL.M dan Imam Nasima, LL.M. Kedua ahli tersebut memiliki latar belakang ilmu hukum dan fasih berbahasa Belanda, keahlian tersebut mampu memberikan gambaran tentang sejarah seluk beluk penggunaan kata makar dalam KUHP yang saat ini berlaku di Indonesia, apakah penggunaan kata makar tersebut tepat untuk mengartikan perbuataan yang diatur dalam Pasal 87, Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 139a, Pasal 139b dan Pasal 140 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Dr Tristam Pascal Moeliono hadir sebagai ahli yang pertama kali diperdengarkan keterangannya dalam sidang tersebut, dalam keterangannya menyimpulkan bahwa penggunaan kata makar yang berdasarkan penelurusannya terjadi pertama kali pada penyusunan terjemahan Wetboek van Strafrecht menurut sistem Engelbrecht oleh Mr. W.A Engelbrecht langsung menerjemahkan kata aanslag dalam Pasal 87, 104, 106, 107, 139a, 139b, dan Pasal 140 Wetboek van Strafrecht voor Nederlansch-Indies dengan menggunakan kata “makar”. Sedangkan kata makar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah, seperti yang dipahami kebanyakan orang. Jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris kata aanslag menjadi onslaught atau violent attack yang jika diterjemahkan kembali ke dalam Bahasa Indonesia menjadi serangan. Jadi penggunaan kata makar tidak tepat untuk langsung menerjemahkan kata aanslag, sekalipun tujuan dari pasal-pasalnya tetap melindungi kepentingan negara.
Dr Tristam Pascal Moelino juga berpendapat pentingnya untuk membedakan rumusan dalam Pasal 87 KUHP dengan Pasal-pasal lain dalam buku II KUHP yang menggunakan kata aanslag. Perlu diperhatikan bahwa terdapat perbedaan antara frasa aanslag to een feit (attempt to commit an act) (dalam Pasal 87 KUHP) dengan aanslag dalam makna melakukan serangan tertentu secara khusus. Pemaknaan aanslag dalam konteks melakukan serangan harus dikaitkan dengan perbuatan-perbuatan khusus yang dirumuskan dalam ketentuan pidana yang mengaturnya, dalam hal ini Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 139a, Pasal 139b dan Pasal 140 KUHP. Kata aanslag dan aanlag tot een feit harus dibedakan satu sama lain, merujuk pada pengertian yang berbeda makna sesuai konteks penempatannya dalam sistematika perundang-undangan.
Atas keterangan ahli tersebut, Pemerintah sebagai Termohon yang diwakilkan oleh Kementerian Hukum dan HAM serta Kejaksaan Agung tidak memberikan komentarnya, sedangkan pihak Majelis Hakim Mahkamah Konstutusi mengajukan beberapa komentar dan pertanyaan, salah satunya yang disampaikan oleh Hakim Suhartoyo. Yang Mulia Hakim Suhartoyo kembali menanyakan seputar keterkaitkan aanslaag dengan percobaan atau poging. Untuk menjawab pertanyaan tersebut Dr Tristam kembali menjelaskan perbedaan antara aanslaag to een feit (attempt to commit an act) dengan anslaag ondernomen yang berarti serangan. Rumusan dalam Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 139a, Pasal 139b dan Pasal 140 KUHP menggunakan istilah aanslag yang berarti serangan, sehingga konteks perbuatan tersebut harus dilakukan dalam bentuk serangan, sedangkan aanslaag to een feit dalam Pasal 87 berkaitkan dengan ketentuan umum yang menjelaskan tentang konteks adanya awalan (niat atau ikhtiar) untuk memulai mewujudkan perbuatan atau tindak pidana.
Selanjutnya ahli yang dihadirkan dalam persidangan adalah Imam Nasima, LL.M yang akan memberikan keterangan terkait dengan penelusuran sejarah pembahasan (MvT) dari pasal-pasal KUHP Belanda ketika itu. Keterangan tersebut sedianya akan diperdengarkan melalui video conference, namun dikarenakan permasalahan teknis ruang persidangan, pelaksanaan video conference urung dilakukan. Keterangan ahli Imam Nasima, LL.M hanya diajukan dalam bentuk tertulis.
Berdasarkan keterangan tertulis ahli Imam Nasima, LL.M yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi dinyatakan bahwa dari pasal-pasal yang dimohonkan oleh ICJR (yaitu Pasal 87, Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107 KUHP, Pasal 139a, Pasal 139b dan Pasal 140 KUHP) hanya Pasal 87, Pasal 104, Pasal 106[1] dan Pasal 107[2] yang ada padanannya dalam Wetboek van Strafrecht (Sr) Belanda pada saat itu[3], sehingga hanya pasal-pasal tersebut yang dapat ditelusuri pembahasan MvT-nya. Dalam pembahasan MvT Pasal 87 dijelaskan bahwa adanya Pasal 87 yang dirumuskan dengan menyebutkan Pasal 53 tentang percobaan dimaksudkan untuk menyetarakan dilakukannya perbuatan yang diatur oleh Pasal 87 dengan percobaan dalam Pasal 53, artinya kedua bentuk perbuatan tersebut sama-sama dapat dipidana, namun begitu dalam pembahasan MvT pasal tersebut menyatakan bahwa dalam rumusan Pasal 87 jelas mensyaratkan adanya permulaan pelaksanaan, bukan perbuatan persiapan. Perbuatan-perbuatan persiapan terkait aanslag tidak dapat dipidana.
Sedangkan untuk rumusan aanslag dalam Buku II Bab I KUHP tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara maksud yang dituju pembuat UU dapat dilihat dalam Penjelasan Umum Bab I tersebut, bahwa kepentingan yang hendak dilindungi oleh Pasal-pasal tersebut adalah keamanan negara, bukan loyalitas terhadap negara (seperti yang diartikan sekarang, sesuai dengan definisi dalam KBBI). Pembahasan MvT jelas mengatakan
“…Bukan pelanggaran atas kepercayaan, namun bahaya serius terhadap negaralah yang menjadi dasar dari pemidanaan, dan akan bagi kemananan negara…”
Untuk rumusan Pasal 104 mengenai aanslag dengan maksud membunuh atau merampas kemerdekaan atau meniadakan kemampuan Presiden atau wakil Presiden memerintah dalam pembahasannya tidak terlalu menimbulkan banyak perdebatan, menurut MvT pasal ini bahwa aanslag disini meliputi segala perbuatan yang dimaksudkan untuk merampas atau menghilangkan hal-hal tersebut, tidak harus dipahami sebagai dilakukannya suatu tindak kekerasan saja, namun juga menyediakan segala sesuatu yang bersifat merusak (misalnya meracun atau menyekap) untuk mencapai tujuan atau maksud tersebut.
Berbeda dengan Pasal 104 KUHP yang berkaitan dengan perbuatan yang sifatnya konkret (menyerang individu), rumusan Pasal 106 dan Pasal 107 dalam pembahasannya menimbulkan perdebatan yang cukup panjang karena objek dari perbuatan yang diatur bersifat abstrak yaitu wilayah negara dan posisi pemerintah. Dalam pembahasan Pasal 107 jelas dinyatakan bahwa rumusan pasal ini tidak dapat dipisahkan dengan ketentuan Pasal 88 bis yang menjelaskan penggulingan pemerintah adalah mengubah atau meniadakan secara tidak sah bentuk pemerintahan menurut Undang-undang Dasar, kesepakatan ketika itu adalah dengan menyerahkan wewenang penafsiran aanslag pada praktik pengadilan dan penegasan kembali unsur “secara tidak sah”, perancang KUHP pada saat itu jelas mengartikan aanslag dalam konteks tidak boleh melanggar hak atas kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul, karena perubahan bentuk pemerintahan atau penerus tahta dapat dicapai melalui cara yang tak layak dipidana.
“Namun, Komisi (tetap) beranggapan, bahwa penafsirannya aman untuk diserahkan kepada yurisprudensi – yang (dapat) menemukan cukup arahan bagi pengertian umum suatu percobaan yang dapat dipidana, untuk membedakan ‘aanslag’ yang dimaksud di sini dari kegiatan akademis atau diskusi-diskusi politik”
Penafsiran anslaag menurut ahli Imam Nasima, LL.M selanjutnya dapat dilihat dengan penerapan yang terjadi di Belanda yang dapat dilihat dari satu-satunya kasus yang ditemukan, yaitu kasus Mussert-arrest’ (NOR 1945/46, 124, 20 Maret 1946)[4]. Mussert didakwa telah melakukan perbuatan “dengan maksud mendukung dilakukannya aanslag dengan maksud untuk menundukkan kerajaan di bawah kekuasaan asing, dengan mencoba menggerakkan orang lain untuk turut serta melakukan kejahatan” dalam dakwaan tersebut diuraikan secara rinci bentuk perbuatan Mussert, seperti menyurati Hilter untuk menjadikan bangsa Belanda sebagai salah satu sekutunya pada awal bulan September 1940, mengirimkan telegram kepada Hitler dengan pernyataan ingin menyerahkan kesejahteraan bangsa Belanda dan menunggu perintahnya, mengikrarkan kesetiaannya sampai mati di hadapan Hitler pada bulan Desember 1941, mengambil sumpah setia pengurus NSB pada bulan Juni 1942, dan melakukan berbagai kegiatan sebagai Pemimpin NSB untuk mewujudkan Persekutuan Negara-Negara Jerman Raya. Sementara, terkait dengan dakwaan penghancuran bentuk pemerintahan yang konstitusional, disebutkan pula rencana yang memuat beberapa masukan dan kontribusi Mussert dalam rangka mengganti bentuk pemerintahan yang konstitusional di Belanda dengan pemerintahan baru di bawah Mussert. Dapat dilihat dalam prakteknya, penggunaan pasal-pasal terkait kejahatan terhadap keamanan negara memang harus diikuti dengan penjabaran uraian delik dan pembuktian dari masing-masing unsur. Kata ‘aanslag’ sendiri harus selalu diuraikan sebagai suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan dalam rangka mencapai tujuan yang disebutkan di dalam masing-masing pasal tersebut.
Perbuatan itu memang tidak selalu harus termanifestasi dalam suatu bentuk kekerasan atau serangan fisik, tetapi dalam kasus-kasus konkret tetap harus dilihat secara nyata kaitannya dengan (dan probabilitasnya untuk) benar-benar melahirkan ancaman yang nyata terhadap negara. Penerjemahan aanslag langsung ke dalam kata makar yang memiliki arti begitu luas telah menghilangkan sama sekali nuansa perbedaan antara perbuatan yang dapat dipidana dengan yang tidak dapat dipidana, yang dilakukan dengan cara-cara yang sah.
[1] Pasal 93 Sr, Pasal 100 MvT
[2] Pasal 94 Sr, Pasal 101 MvT
[3] Pasal 139a, Pasal 139b, Pasal 140 pada dasarnya esensinya sama dengan Pasal 106 KUHP untuk Pasal 139b, Pasal 107 untuk Pasal 139a dan Pasal 104 untuk Pasal 140, namun dilakukan dalam konteks negara kolonial ketika itu, namun belum ditemukan alasan/urgensi KUHP Hindia Belanda ketika itu mencantumkan pasal-pasal tersebut
[4]Perlu diketahui, perkara ini merupakan bagian dari penegakan hukum luar biasa yang terjadi setelah meletusnya perang dunia kedua, di mana sebelumnya (Mei 1940 – Mei 1945) negeri Belanda sempat diduduki oleh pasukan Nazi-nya Hitler