Pada 8 Oktober 2015, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia mengeluarkan Surat Edaran No 6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) memandang bahwa Surat Edaran ini adalah suatu tindakan administrative dari suatu pejabat negeri yang hanya diberlakukan secara internal dan berlaku sebagai pedoman dari para staf untuk melakukan tindakan tertentu.
Dalam konteks hukum pidana Indonesia, penyebaran pernyataan kebencian berbasis dibagi menjadi dua kelompok yaitu pertama; pernyebaran pernyataan kebencian terhadap pemerintah yang diatur dalam Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dan dan penyebaran pernyataan kebencian yang berbasis SARA yang diatur berdasarkan ketentuan Pasal 156 dan Pasal 157 KUHP.
ICJR menyetujui, bahwa penyebaran pernyataan kebencian berbasis SARA memang harus dilarang karena ia menjadi pangkal dan sebab musabab terjadinya genosida yang sudah terjadi di berbagai belahan dunia seperti di Rwanda dan bekas Yugoslavia. Karena itu upaya yang dilakukan oleh Kapolri tetap perlu untuk diapresiasi.
Sayangnya, sebagai suatu pedoman, SE ini memuat berbagai penegasan terhadap penanganan ujaran kebencian namun pada saat yang sama SE ini mencampuradukkan ketentuan Penyebaran Pernyataan Kebencian dengan berbagai tindakan lainnya yang tidak ada hubungannya dengan Penyebaran Pernyataan Kebencian seperti Penghinaan (Bab XVI KUHP tentang Penghinaan), Pencemaran Nama Baik (Pasal 27 ayat (3) UU ITE), Penistaan (Pasal 310 KUHP), Perbuatan Tidak Menyenangkan (Pasal 335 ayat (1) KUHP), Menghasut (Pasal 160 KUHP), dan Penyebaran berita bohong (Pasal XIV UU No 1 Tahun 1946).
Selain soal mencampur aduk, SE ini juga tidak memperhatikan dua ketentuan sudah diubah sifatnya oleh Mahkamah Konstitusi, misalnya dalam ketentuan Pasal 335 ayat (1) dimana frasa perbuatan tidak menyenangkan sudah dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi. Selain itu Pasal Penghasutan dalam Pasal 160 KUHP yang tadinya delik formil juga sudah diubah oleh Mahkamah Konstitusi menjadi delik materil yang mensyaratkan adanya akibat dari penghasutan tersebut.
ICJR memandang SE ini, secara implisit, memperkenalkan model mediasi penal yang memang dikenal dalam sistem hukum pidana di berbagai Negara. Persoalannya mediasi penal justru tidak bisa dilakukan untuk menangani persoalan – persoalan penyebaran pernyataan kebencian.
Hal lainnya adalah ICJR kuatir jika kasus – kasus seperti Florence Sihombing yang justru akan ditangani dengan menggunakan model yang diharapkan dalam SE Kapolri ini. ICJR kuatir kasus – kasus penyebaran pernyataan kebencian yang sesungguhnya justru tidak ditangani karena umumnya kasus – kasus seperti ini terjadi terhadap kelompok minoritas baik berbasis agama/keyakinan ataupun ras. ICJR juga mengingatkan ada sejumlah kasus yang masih menjadi Pekerjaan Rumah Kepolisian seperti kasus Arif Kusnandar yang menyatakan kebencian terhadap etnis tertentu melalui laman facebook.
ICJR meminta agar Kapolri untuk segera melakukan revisi terhadap SE tersebut dengan tetap berfokus pada penanganan penyebaran pernyataan kebencian dan tidak lagi mengambil banyak ketentuan yang tidak ada sangkut pautnya dengan penyebaran pernyataan kebencian