Kekerasan Terhadap Jurnalis di Stasiun Tawang: Perlu Jalankan Proses Pidana untuk Atasi Praktik Kekerasan Berulang oleh Aparat dan Hindari Impunitas

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengecam segala bentuk peristiwa kekerasan terhadap jurnalis yang menghambat dan menghalangi kerja-kerja dan tugas jurnalistik dalam menjalankan fungsinya sebagai pers.

Peristiwa kekerasan terhadap jurnalis terjadi saat peliputan agenda Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Listyo Sigit Prabowo tengah melakukan peninjauan arus balik mudik di Stasiun Tawang, Semarang pada 05 April 2025 yang diduga dilakukan oleh anggota kepolisian dari tim pengamanan Kapolri, Ipda Endry Purwa Sefa. Peristiwa intimidasi terjadi pada saat Kapolri sedang menyapa calon penumpang kereta api, kemudian Ipda Endry meminta para jurnalis untuk menjauh dengan cara mendorong cukup kasar. Selain itu, Ipda Endry juga melakukan tindakan fisik yaitu memukul bagian kepala salah satu jurnalis disertai dengan kalimat “Kalian pers, saya tempeleng satu-satu”.

Setelah kejadian tersebut pada 6 April 2025, Ipda Endry Purwa Sefa difasilitasi oleh Polda Jawa Tengah telah menemui jurnalis yang diintimidasi tersebut dan meminta maaf kepada jurnalis tersebut yang diselenggarakan di kantor perusahaan pers tempat jurnalis tersebut bekerja.

Sehubungan dengan peristiwa intimidasi ini, kami berpandangan sebagai berikut:

Pertama, anomali ketidakpahaman terhadap fungsi Pers masih mengakar dalam tubuh Polri.

Tindakan intimidasi yang dilakukan Ipda Endry Purwa Sefa secara fisik yaitu mendorong dengan keras dan memukul kepala serta intimidasi secara verbal kepada jurnalis yang sedang meliput merupakan bentuk pelemahan dan pengurangan penikmatan jaminan serta perlindungan terhadap jurnalis dalam menjalankan kerja-kerja jurnalistik. Tindakan intimidasi terhadap jurnalis ini mencerminkan rendahnya pemahaman aparat penegak hukum terhadap tugas pers dan perlindungannya sebagaimana yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (“Undang-Undang Pers”) yang secara jelas mengatur terkait hukuman bagi setiap orang yang secara sengaja menghambat atau menghalangi jurnalis saat menjalani tugas jurnalistik. Tindakan ini juga mencerminkan masih kuatnya pendekatan berbasis kekerasan dalam merespons aktivitas jurnalistik. Pasal 8 UU pers seharusnya dijalankan setiap aparat penegak hukum untuk memberikan perlindungan hukum bagi pewarta yang menjalankan tugas profesi jurnalis, bukan justru menjadi pelaku.

Kedua, permintaan maaf tidak menghapus tanggung jawab etik dan potensi tindak pidana.

Meskipun Ipda Endry sudah meminta maaf kepada jurnalis yang bersangkutan dan difasilitasi oleh Polda Jawa Tengah pada 6 April 2025, proses etik dan disiplin harus tetap dijalankan sesuai dengan Peraturan Kepolisian  No 7 Tahun 2022 Tentang Kode Etik Profesi Dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang mengatur kewajiban anggota Polri untuk bersikap humanis, profesional, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Kekerasan terhadap jurnalis adalah pelanggaran serius yang wajib ditindaklanjuti tidak hanya dengan sanksi etik yang tegas, tindakan pelaku juga harus diproses secara hukum pidana.

Terlebih, berdasarkan Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai penganiayaan, tindakan pemukulan terhadap jurnalis dapat dianggap sebagai penganiayaan karena menyebabkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain. Selain itu, Pasal 335 KUHP terkait ancaman kekerasan juga dapat digunakan, ancaman verbal yang dilontarkan kepada para jurnalis bisa dikategorikan sebagai upaya memaksa orang lain melalui ancaman kekerasan. Penting untuk dicatat bahwa berdasarkan Pasal 52 KUHP, jika kejahatan dilakukan oleh seorang pegawai negeri dalam menjalankan tugasnya (dalam hal ini seorang anggota polisi) hukuman dapat diperberat.

Tindakan pelaku bahkan dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap pelaksanaan hak pers untuk mencari, mengolah dan menyebarluaskan informasi sebagaimana dijamin Pasal 18 ayat (1)  UU Pers. Polri harus melakukan menjalankan penegakan hukum secara profesional dan transparan.

Ketiga, perdamaian tidak sepatutnya menjadi sarana pelanggengan impunitas.

Model penyelesaian melalui berdamai tanpa sanksi yang jelas hanya akan melanggengkan impunitas dan membuka ruang bagi kekerasan serupa terulang. LBH Pers dan ICJR menilai pendekatan semacam ini hanya akan melahirkan kekerasan baru di kemudian hari, sebab mengabaikan keadilan dan perlindungan hukum bagi jurnalis. Penyelesaian masalah melalui proses berdamai tanpa terdapatnya sanksi etik maupun pidana ini menjadi faktor utama terjadinya keberulangan dan  memperparah siklus kekerasan. Pelaku merasa aman karena mengetahui tindakan yang ia lakukan tidak memiliki konsekuensi yang berarti. Berbagai kasus serupa di antaranya seperti: kasus pemukulan serta perampasan paksa alat kerja jurnalis oleh aparat kepolisian saat peliputan demonstrasi di Jakarta pada 2019 dan 2020 yang tak pernah berujung pada sanksi tegas;  kekerasan terhadap jurnalis Tempo Nurhadi di Surabaya (2021) yang ditangani lambat dan baru diproses hukum setelah terdapatnya tekanan publik luas, pun dengan vonis ringan terhadap pelaku; teror bom molotov terhadap media Jubi di Papua yang dilaporkan namun tidak ditindaklanjuti secara serius oleh Kepolisian. 

Keempat, Perusahaan Pers harus tegas melindungi jurnalis.

Perusahaan pers wajib memberikan perlindungan serta memiliki keberpihakan kepada jurnalis secara maksimal. Perdamaian yang dilakukan setelah tindakan intimidasi terjadi merupakan potensi terjadi keberulangan tindakan intimidasi kepada jurnalis di kemudian hari. Tindakan intimidasi kepada jurnalis yang diikuti dengan permintaan maaf sudah berulang kali terjadi yang mana hal ini merupakan pelanggaran dalam Undang-Undang Pers yang mengakibatkan berkurangnya penikmatan jaminan keamanan dalam menjalankan aktivitas kegiatan jurnalistik. Oleh karenanya walaupun permintaan maaf sudah dilakukan dan telah diterima oleh yang bersangkutan, sebagai perusahaan pers terus memantau kasus intimidasi ini sampai dengan pemeriksaan proses etik dan profesi selesai dilakukan.

Kami menegaskan bahwa jurnalis dalam menjalankan tugasnya sebagai pers memiliki hak untuk menjalankan peranannya dengan sebaik-baiknya sehingga jaminan dan perlindungan hukum untuk bebas dari ancaman serta intimidasi yang telah diatur dalam Undang-Undang Pers agar peristiwa intimidasi serupa tidak terus berulang. Oleh karena itu kami mendesak agar:

  1. Kapolri memerintahkan Kepala Divisi Profesi Pengamanan (Kadiv Propam) untuk memeriksa penegakan etik dan profesi terhadap Ajudan Kapolri yang telah melakukan intimidasi terhadap jurnalis di Stasiun Tawang, Semarang. Serta menindak pelaku secara pidana sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku sebagai bentuk keseriusan Polri dalam menghormati dan menjamin hak-hak jurnalis dalam melakukan kegiatan jurnalistik;
  2. Kepolisian Republik Indonesia sebagai alat negara yang berperan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat harus memahami hak-hak jurnalis dalam melakukan kegiatan jurnalistik agar peristiwa intimidasi tidak terjadi kembali di kemudian hari;
  3. Perusahaan pers selaku badan hukum yang menyelenggarakan pers harus berpihak kepada jurnalis-jurnalisnya dengan tujuan memberikan perlindungan serta menolak dengan keras tindakan intimidasi kepada jurnalis dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik.

Jakarta, 7 April 2025

Tertanda, Lembaga Bantuan Hukum Pers dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).

 

 

Related Posts

  • 15 for Justice
  • Advokasi RUU
  • Alert
  • Dokumen Hukum
  • English
  • ICLU
  • Law Strip
  • Media Center
  • Mitra Reformasi
  • Pengadaan
  • Publikasi
  • Special Project
    •   Back
    • Reformasi Defamasi
    • #diktum
    • Anotasi Putusan
    • Penyiksaan
    • Strategic Litigation
    • RKUHAP
    • Putusan Penting
    • advokasi RUU
    • Advokasi RUU
    • Resources
    • Cases
    • Other Jurisdiction Cases
    • Civil
    • Criminal
    • Media
    • National
    • Public
    • IT Related
    • Torture Cases
    • Torture Resources
    • Laws and Regulation
    • Law Enforcer
    • Survivor
    • Weekly Updates
    • RUU Polri
    • RUU TNI
    •   Back
    • Resources
    • Cases
    • Other Jurisdiction Cases
    • Civil
    • Criminal
    • Media
    • National
    • Public
    • IT Related
    •   Back
    • Civil
    • Criminal
    • Media
    • National
    • Public
    • IT Related
    •   Back
    • Kabar ICJR
    • ICJR di Media
    •   Back
    • Penetapan Presiden
    • Peraturan Menteri
    • Peraturan Pemerintah
    • Surat Edaran
    • Surat Keputusan Bersama
    • Keputusan DitJen PAS
    • Keputusan Menteri
    • Keputusan Presiden
    •   Back
    • Law Enforcer
    • Survivor
    •   Back
    • Torture Cases
    • Torture Resources
    • Laws and Regulation
    • Law Enforcer
    • Survivor
    •   Back
    • Peraturan Mengenai Trafficking
    • Perlindungan Saksi dan Korban
    • Rancangan KUHAP
    • Pemasyarakatan
    • Rancangan KUHP
    • Penetapan Presiden
    • Peraturan Menteri
    • Peraturan Pemerintah
    • Surat Edaran
    • Surat Keputusan Bersama
    • Keputusan DitJen PAS
    • Keputusan Menteri
    • Keputusan Presiden
    •   Back
    • Peraturan
    • Peraturan Mengenai Trafficking
    • Perlindungan Saksi dan Korban
    • Rancangan KUHAP
    • Pemasyarakatan
    • Rancangan KUHP
    • Penetapan Presiden
    • Peraturan Menteri
    • Peraturan Pemerintah
    • Surat Edaran
    • Surat Keputusan Bersama
    • Keputusan DitJen PAS
    • Keputusan Menteri
    • Keputusan Presiden
    •   Back
    • RUU Polri
    • RUU TNI
    •   Back
    • Weekly Updates
Load More

End of Content.

Copyright © 2024 Gogoho Indonesia | Powered by Gogoho Indonesia

Scroll to Top