Permasalahan yang menjerat Florence Sihombing saat ini sedang bergulir. Kasus postingan Florence di Media Sosial Path miliknya berdampak panjang terlebih saat beberapa oraganisasi melaporkan dirinya ke Polisi dengan dugaan penghinaan. Oleh Kepolisian Daerah Jogjakarta, Florence kemudian ditahan, atas dasar tidak kooperatif, ditakutkan mengulangi perbuatan dan menghilangkan alat bukti.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai bahwa tindakan penahanan yang dilakukan terhadap Florence sangat tidak beralasan, dan bertentangan dengan KUHAP.
Anggara, Peneliti Senior ICJR, mengatakan untuk kasus seperti penghinaan, apalagi dengan latar belakang terdakwanya jelas dan tiadanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa adanya kemungkinan terdakwa untuk melarikan diri, mengulangi perbuatan dan menghilangkan barang bukti, penahanan harusnya tidak perlu dilakukan. “Saudari Florence ini sudah jelas latar belakangnya, siapa dia dan dapat ditelusuri keberadaannya, untuk apa ditahan?” sebutnya. “Apa dasar atau indikator keadaan yang menimbulkan kekhawatiran oleh kepolisian? Ini tidak masuk akal” Anggara menambahkan.
Anggara menilai bahwa penahanan pada Florence, kalaupun benar, hanyalah berdasarkan alasan ancaman hukuman lebih dari 5 tahun. Perlu untuk diketahui bahwa Florence dikabarkan dikenakan dakwaan berdasarkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan atau Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang ancaman pidananya 6 Tahun penjara. Anggara menegaskan bahwa penahanan tersebut hanya akan menyebarkan rasa takut di kalangan masyarakat dan berpotensi mengekang kebebasan berekspresi, karena ancaman nyatanya adalah dapat dilakukannya penahanan kepada pelaku yang dirasa melakukan penghinaan di dunia Internet. “Tindakan penahanan atas perkara penghinaan terlebih dilakukan tanpa indikator yg jelas berdasarkan KUHAP jelas bertentangan prinsip – prinsip negara hukum” tegas Anggara.
Lebih lanjut Anggara juga menyoroti kinerja dari Ketua Pengadilan Negeri Setempat. Perlu dicatat bahwa berdasarkan Pasal 43 ayat (6) UU ITE, dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui penuntut umum wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu satu kali dua puluh empat jam. Anggara merasa bahwa harusnya Penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri menjadi pintu untuk menguji penting atau tidaknya suatu penahanan, untuk kasus seperti Florence dengan latar belakang tersangka yang jelas, mestinya tidak dilakukan penahanan dan Ketua Pengadilan Negeri Jogjakarta semestinya tidak mengeluarkan penetapan tersebut. Anggara menyebutkan bahwa “Jangan sampai Ketua Pengadilan Negeri hanya jadi lembaga cap saja, harus diuji kelayakan penahanan tersebut” sebut Anggara.
Namun Anggara juga menilai adanya kemungkinan justru polisi tidak mengikuti prosedur sebagaimana dalam ketentuan Pasal 43 ayat (6) UU ITE, karena praktik selama ini banyak kasus polisi langsung melakukan penahanan tanpa penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri untuk kasus-kasus yang dijerat UU ITE.
Terakhir, menurut Anggara kasus Florence merupakan satu lagi bentuk dari buruknya pengaturan dalam UU ITE, lebih jauh ini membuktikan bahwa aparat penegak hukum masih belum mampu secara bijak dan bertanggungjawab menggunakan upaya paksa penahanan pada porsi dan cara yang tepat. Untuk itu ICJR merasa perlu untuk segara melakukan perubahan dalam UU ITE terlebih dalam KUHAP untuk meningkatkan kontrol dan pengawasan kepada Kepolisian. Untuk Kasus Florence ICJR mendesak agar Florence segera dikeluarkan dari tahanan.