ICJR mencermati bahwa praktek peradilan pidana anak di Indonesia masih jauh dari cita-cita ideal yang dituangkan dalam UU SPPA
Setiap 23 Juli, Indonesia merayakan Hari Anak Nasional (HAN) sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1984 tanggal 19 Juli 1984. Peringatan HAN sebagai momentum penting untuk menggugah kepedulian dan partisipasi seluruh bangsa Indonesia dalam menghormati, menghargai, dan menjamin hak-hak anak tanpa membeda-bedakan atau diskriminatif, memberikan yang terbaik untuk anak, menjamin semaksimal mungkin kelangsungan hidup dan tumbuh kembangnya. Peringatan HAN juga untuk menggugah dan meningkatkan kesadaran anak akan hak, kewajiban, dan tanggung jawabnya kepada orang tua, masyarakat, serta kepada bangsa dan negara.
Untuk memperingati HAN 23 Juli 2017, Institute for criminal Justice Reform (ICJR) secara khusus menyuarakan mengenai persoalan anak dalam sistem peradilan pidana yang dikenal dengan SPPA. ICJR mencermati bahwa praktek peradilan pidana anak di Indonesia masih jauh dari cita-cita ideal yang dituangkan dalam UU SPPA.
Sejak lahirnya Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) diharapkan model sistem peradilan pidana yang lebih ramah terhadap anak di Indonesia semakin baik. Tak heran jika banyak pihak memberi harapan besar terhadap lahirnya UU SPPA ini. Namun sudah empat tahun berlalu sejak disahkan pada 30 Juli 2012, ternyata tantangan implementasi SPPA mulai terbukti.
Regulasi pendukung dari UU SPPA yang tak kunjung diselesaikan
Regulasi pendukung dari UU SPPA sampai saat ini memang tak kunjung diselesaikan. Berdasarkan UU SPPA, Pemerintah diwajibkan untuk membuat enam materi dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan dua materi dalam bentuk Peraturan Presiden. Namun sampai saat ini peraturan pendukung masih belum semua tersedia. Pemerintah baru merampungkan subtansi dalam Peraturan Pemerintah (PP No 65 tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun) dan Peraturan Presiden tentang Pelatihan Aparat Penegak Hukum. (Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 175 tahun 2014 tentang Pendidikan Dan Pelatihan Terpadu Bagi Penegak Hukum Dan Pihak Terkait Mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak)
Tabel 1 Materi Peraturan Pelaksanaan SPPA
Perintah dalam UU SPPA | Peraturan Pelaksana | Status | |
Pasal 15 | Peraturan Pemerintah mengenai pedoman pelaksanaan proses Diversi, tata cara, dan koordinasi pelaksanaan Diversi. | tersedia | |
Pasal 21 ayat (6) | Peraturan Pemerintah mengenai syarat dan tata cara pengambilan keputusan serta program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan dalam hal Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana . | tersedia | |
Pasal 25 ayat (2) | Peraturan Pemerintah mengenai pedoman register perkara Anak dan Anak korban | Belum tersedia | |
Pasal 71 ayat (5) | Peraturan Pemerintah mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana. | Belum tersedia | |
Pasal 82 ayat (4) | Peraturan Pemerintah mengenai Tindakan yang dapat dikenakan kepada Anak | Belum tersedia | |
Pasal 94 ayat (4) | Peraturan Pemerintah mengenai tata cara pelaksanaan koordinasi, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan | Belum tersedia | |
Pasal 90 ayat (2) | Peraturan Presiden mengenai pelaksanaan hak Anak Korban dan Anak Saksi | Belum tersedia | |
Pasal 92 ayat (4) | Peraturan Presiden mengenai penyelenggaraan pendidikan dan pelatihanbagi penegak hukum dan pihak terkait secara terpadu | tersedia |
Minimnya jumlah institusi baru pengganti tempat penangkapan dan penahanan anak
Selain implementasi peraturan pelaksana yang belum optimal, salah satu permasalahan yang memprihatinkan adalah soal minimnya jumlah institusi baru pengganti tempat penangkapan dan penahanan anak. UU SPPA telah mendorong lahirnya empat lembaga yakni Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS), Ruang Pelayanan Khusus Anak(RPKA) dan Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) sebagai pengganti tempat Penahanan, Pembinaan dan Lapas anak, sebagaimana diamanatkan oleh UU SPPA.LPKA adalah lembaga atau tempat Anak menjalani masa pidananya sedangkan LPAS adalah tempat sementara bagi Anak selama proses peradilan berlangsung.
Tabel 2 Permasalahan 4 (Empat) Lembaga Implementasi UU SPPA
Lembaga | Fungsi | Masalah |
Lembaga Pembinaan Khusus Anak(LPKA) | lembaga atau tempat Anak menjalani masa pidananya (usia 12-18 tahun) | 33 LPKA seluruh Indonesia yang terdiri dari tujuh LPKA Klas I dan 26 LPKA Klas II-B (18 diantaranya merupakan perubahan nomenklatur dari 18 Lapas Anak yang telah ada selama ini. Adapun 15 LPKA untuk sementara masih ditempatkan di lapas/rutan dewasa) |
Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) | Tempat penitipan anak yang ditangkap jika belum ada ruang pelayanan khusus anak. & Tempat pembinaan anak (di bawah 12 tahun) | belum banyak tersedia di seluruh Indonesia |
Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) | tempat sementara bagi Anak selama proses peradilan berlangsung (pengganti Rutan bagi anak) untuk usia 14 tahun -18 tahun | belum banyak tersedia di seluruh Indonesia |
Ruang Pelayanan Khusus anak (RPKA) | tempat penitipan anak yang ditangkap 1×24 jam | Tidak semua polsek memiliki RPKA |
Untuk anak yang berumur 14 sampai dengan 18 tahun yang berkonflik dengan hukum maka UU SPPA memandatkan penitipan anak di LPAS sebagai pengganti Rutan. bila belum ada LPAS di wilayah yang bersangkutan, maka anak dapat dititipkan di LPKS. jadi untuk melindungi keamanan anak, maka UU SPPA memerintahkan dapat dilakukan penempatan anak di LPKS (sementara) sebagai pengganti LPAS. Masalahnya adalah, sampai saat ini LPAS dan LPKS belum banyak tersedia di seluruh Indonesia. Hanya beberapa wilayah di tingkat provinsi saja yang mulai memliki LPAS. Namun hampir sama dengan kondisi LPAS maka jumlah LPKS pun tidak ada di setiap kabupaten. Akibatnya aparat penegak hukum seringkali bingung ke mana anak yang bersangkutan akan di tempatkan.
Besarnya Jumlah anak dalam Tahanan
Sampai dengan per juni 2017, jumlah anak yang terdaftar di UPT yang dikelola Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) berjumlah 910Tahanan Anak. Jumlah ini meningkat di banding tahun 2016 yang berjumlah 907 Tahanan Anak, angka ini juga tidak termasuk jumlah tahanan anak yang dikelola oleh Polisi dimana angkanya tidak tersedia dan tidak dapat diakses.
Tabel 3 Jumlah Anak dalam Tahanan di Indonesia
Bulan /Tahun | Anak Laki-Laki | Anak Perempuan | Total |
Per Juni 2017 | 895 | 15 | 910 |
Per Desember 2016 | 881 | 26 | 907 |
Per Januari 2016 | 683 | 14 | 697 |
Per Januari 2015 | 737 | 117 | 854 |
Per Januari 2014 | 1.792 | 51 | 1,843 |
Per Januari 2013 | 1.980 | 42 | 2,022 |
Per Januari 2012 | 2.081 | 64 | 2,145 |
Sumber : SDP data yang diperoleh ICJR
Meningkatnya Jumlah anak Dalam LPAS
Jumlah Anak yang menjadi narapidana (warga binaan) per Juni 2017 berjumlah 2,559 Anak,angka ini naik dari angka sebelumnya per Desember 2016 yakni berjumlah 2.320 Anak yang tersebar di 33 Wilayah di Indonesia.
Ironisnya, tidak seluruh wilayah memiliki LPAS dan LPKA. Sebagai perbandingan, sebelum berubah nomenklautur menjadi LPAS, jumlah Lapas Anak hanya tersebar di 17 Provinsi di Indonesia. Sehingga bisa dipastikan bahwa Anak yang menjadi Tahanan ataupun Warga Binaan di daerah yang tidak memiliki Lapas Anak (saat ini LPKA dan LPAS) berada ditempat penahanan dan Lapas Dewasa.
Tabel 4. Jumlah Anak dalam Lapas/LPKA di Indonesia
Bulan /Tahun | Anak Laki-Laki | Anak Perempuan | Total |
Per Juni 2017 | 2,558 | 41 | 2,559 |
Per Desember 2016 | 2,281 | 39 | 2,320 |
Per Januari 2016 | 2,179 | 38 | 2,217 |
Per Januari 2015 | 2,735 | 58 | 2,793 |
Per Januari 2014 | 3,030 | 57 | 3,087 |
Per Januari 2013 | 3,221 | 75 | 3,296 |
Per Januari 2012 | 3,218 | 82 | 3,300 |
Sumber : SDP data yang diolah ICJR
Berdasarkan Pengamatan ICJR. Dalam praktek satu satunya solusi adalah menitipkan ke dinas sosial di bawah kemensos, namun ada kesulitan pertama, tidak semua wilayah juga ada lembaga sosialnya. Kedua, jika terkait keamanan (misalnya potensi anak lari dari tempat penitipan) Polisi setempat tidak bisa melakukan penjagaan setiap hari di dinas sosial, dan ada pula soal birokrasi pengamanan di Polri yang harus dilakukan, intinya untuk penempatan di dinas sosial belum ada peraturan yang mewadahinya. Akibatnya anak-anak juga berpotensi dititipkan ke Rumah Tahanan, yang justru ditolak oleh UU SPPA.
Sebaliknya juga dalam praktek, dalam wilayah tersebut belum ada LPKS (khusus penitipan anak yang berkonflik dengan hukum dibawah 12 tahun), maka akhirnya anak pun dititipkan juga ke LPKA yang tersedia. Yang lebih problematik adalah bagaimana jika satu wilayah belum ada LPAS, dan LPKS dan RPKA maka bagi anak yang di tangkap terpaksa masuk Rutan Polisi. Akibatnya tidak terhindarkan kondisi anak yang ditahan sejak penyidikan sampai dengan putusan pengadilan demi menjaga keamanan, karena tidak adanya lembaga yang diamanatkan oleh UU SPPA.Anak seharusnya tidak di masukkan ke dalam Rutan, baik Rutan yang dikelola oleh Dirjen Lapas maupun Rutan yang dikelola Polri. Pelanggaran atas hal ini jelas bertentangan dengan perintah UU SPPA dan pelanggaran atas hak anak.
Kondisi tempat penahanan dan pembinaan Anak bisa menjadi masalah serius dikemudian hari, sebab ternyata pemenjaraan pada Anak masih berpotensi besar terjadi. Sepintas apabila dilihat berdasarkan tabel Anak yang menjalankan pidana di dalam lembaga angkanya berkurang semenjak UU SPPA berlaku, namun apabila dicermati, pasca pertengahan 2016, angka pemidanaan berlahan merangkak naik.
Dalam riset yang dilakukan ICJR pada 2016, berdasarkan 77 putusan yang melibatkan 91 Anak di empat Pengadilan Negeri se-DKI Jakarta, ditemukan fakta bahwa ternyata penggunaan pidana penjara masih cukup tinggi. Penahanan Anak masih sangat tinggi, anak yang masuk ke dalam proses persidangan umumnya ditahan dan meninggalkan hanya 7% anak yang berhubungan dengan hukum dan tidak ditahan.Selebihnya dari data yang dapat diidentifikasi, anak pasti dikenakan penahanan. Meskipun terdapat kemungkinan penahanan anak ditangguhkan, namun tidak banyak Orang Tua atau wali yang menggunakan penangguhan penahanan untuk Anak.Penggunaan penahanan atau perampasan kebebasan fisik harusnya dijadikan upaya hukum terakhir bagianak yang berhubungan dengan hukum.
Sejalan dengan itu, tempat penahanan dan pidana anak masih menjadi masalah serius, minimnya lembaga dan infrastruktur tempat penahanan dan pidana anak masih menjadi persoalan berarti dalam putusan, termasuk ketika hakim menempatkan anak pada tempat pembinaan yang tidak terdaftar. Tempat penahanan anak juga bervariasi.Tempat tertinggi penahanan anak berada di Rumah Tahanan Negara (Rutan), dan tidak jelas secara spesifik dimana Rutan ini berada. Selain tempat penahanan yang dikelola negara, Anak juga ditempatkan di Panti Sosial milik Dinas Sosial. Selain itu juga terdapat Anak yang menjadi tahanan Kota.
Kembali merujuk riset ICJR, pemenjaraan masih menjadi jenis putusan terbesar dari Hakim, penggunaan tindakan ataupun pemidanaan alternatif di luar penjara belum terlalu signifikan digunakan. Pada dasarnya hakim bisa menjatuhkan tindakan atau pidana pada Anak. Hanya 15% Anak yang diberikan tindakan.13% diantaranya dikembalikan pada orang tua, lalu masing-masing sebanyak 1% menjalani rehabilitasi medis dan sosial.Sejalan dengan penuntutan, pemidanaan masih sangat melekat pada Sistem Peradilan Pidana Anak.Penjara masih menjadi pilihan utama bagi hakim, 56% Anak yang masuk ke pengadilan, berakhirdalam Penjara.
Catatan menarik timbul dari pemidanaan denda, meskipun SPPA sudah mengatakan anak tidak boleh dijatuhi pidana denda, namun masih ada 8% putusan yang mencantumkan pidana denda bagi anak. Dengan 7 kasus yang dijatuhi denda, rata-rata jumlah denda berkisar di angka Rp. 514.000.000.
Khusus untuk kasus Anak sebagai pengguna narkotik, Polisi, Jaksa dan Hakim belum sepenuhnya menempatkan Anak sebagai korban Narkotik, dalam kondisi Anak terkonfirmasi dan teridentifikasi sebagai pengguna, pidana tertinggi masih penjara bukan tindakan. Mayoritas anak dijatuhi pidana, 37% dijatuhi pidana penjara, 18% dikenai pidana pelatihan kerja. Terdapat 18% Anak yang akhirnya dikembalikan ke orang tua, hanya 9% atau satu kasus dimana anak dirahabilitasi medis.
Masalah Anak Korban
Salah satu hal yang krusial adalah soal layanan anak korban pasca lahirnya UU SPPA. Pada kasus-kasus kekerasan seksual khususnya kepada anak, selama ini pemerintah hadir seperti layaknya “Pemadam Kebakaran” ketika kasus-kasus tersebut terangkat ke media. Bahkan keadilan bagi korban terkesan ketika pelaku mendapatkan hukuman berat. Pemerintah hanya puas dengan menjatuhkan saksi yang berat untuk mendukung efek jera pada kasus-kasus kekerasan seksual anak.Sejauh ini pemerintah belum memberikan hak-hak anak korban terutama anak korban kejahatan seksual.
Problem juga terlihat ketika Undang-undang yag ada saat ini hanya mengatur secara terbatas hak-hak korban, bahkan sampai saat ini dalam praktiknya tidak jelas implementasi hak-hak korban tersebut. Tidak ada data Nasional soal berapa jumlah layanan bagi anak korban di Indonesia. ICJR melihat hanya sedikit lembaga yang secara periodik memberikan catatan dan laporan.
Rekomendasi
Pada 2017 implementasi UU SPPA masih berjalan lamban. oleh karena itu pemerintah harus fokus dan segera mengeluarkan peraturan pelaksana UU SPPA yang bermutu. Pemerintah juga harus mempercepat realisasi dan optimalisasi infrastruktur serta sumber daya manusia khususnya apgakum dalam lingkup peradilan pidana Anak.
Perlu mengantisipasi meningkatnya jumlah Anak yang dipidana penjara. Karena jumlah Anak yang dipidana penjara mulai meningkat. Atas dasar itu, penting untuk kembali mengingatkan aparat penegak hukum pentingnya perspektif perlindungan Anak dan kepentingan terbaik bagi Anak dalam penanganan kasus pidana, agar Anak tidak dengan mudah dimasukkan dalam proses pidana.ICJR mendorong pemerintah untuk melakukan evaluasi secara reguler lewat Strategi Nasional yang sudah didorong oleh berbagai Kementerian. Khususnya mengenai praktek peradilan anak.