Dengan mengadopsi hukum yang hidup dalam peraturan daerah, Indonesia akan punya 548 KUHP Lokal selain KUHP Nasional
RKUHP yang telah dibahas oleh Pemerintah dan DPR sejak tahun 2015 direncanakan akan segera disahkan di Agustus 2018 mendatang. Hingga rapat terakhir pada 30 Mei 2018 lalu, masih terdapat beberapa pasal yang masuk dalam pending issue yang harus dibahas kembali, termasuk di dalamnya adalah pasal yang berkaitan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Pengaturan mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat, dimuat di dalam Buku I, tepatnya dalam Pasal 2 yang berdasarkan RKUHP versi 28 Mei 2018 berbunyi sebagai berikut:
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang‑undangan.
(2) Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.
Dalam penjelasan RKUHP, disampaikan bahwa ketentuan dalam Pasal 2 berkaitan dengan hukum yang masih berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia atau yang dikenal dengan hukum pidana adat. Keberlakuan hukum pidana adat ini nantinya akan dikompilasi dalam bentuk Peraturan Presiden. Pada pembahasan rapat 30 Mei 2018 pemerintah menyebutkan bahwa ketentuan berkaitan dengan delik adat sendiri akan dimuat di dalam Peraturan Daerah baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota.
Terkait perkembangan terbaru masalah hukum yang hidup dalam masyarakat ini, maka ICJR memiliki beberapa catatan:
Pertama, pemerintah masih menggunakan istilah hukum yang hidup dalam masyarakat yang multi tafsir. Dalam konteks ini, ICJR meminta agar pemerintah dengan tegas menyebut hukum adat, sehingga terdapat legitimasi yang jelas bahwa perbuatan yang nantinya dilarang adalah perbuatan yang memang masuk kualifikasi perbuatan yang dilarang menurut hukum adat.
Kedua, menyerahkan pengaturan hukum pidana ke masing-masing daerah berarti menganulir tujuan kodifikasi dalam RKUHP yaitu adanya unifikasi hukum. Nantinya masing-masing daerah akan memiliki KUHP nya sendiri. Indonesia saat ini memiliki 34 provinsi dan 514 kebupaten kota. Jika ketentuan mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat akan dimuat di dalam peraturan daerah, maka kurang lebih akan ada 548 peraturan daerah baru yang akan dikeluarkan atau dalam kalimat yang lain Indonesia akan memiliki 548 KUHP lokal di samping KUHP Nasional
Ketiga, jika kewenangan untuk memberikan penetapan terhadap perkara-perkara delik adat nantinya diberikan kepada Pengadilan Negeri, maka beban penanganan perkara hakim akan semakin meningkat. Padahal, berdasarkan Laporan Tahunan MA 2017 saja pada tingkat pertama, jumlah hakim peradilan umum yang tersedia adalah sebesar 3.040, dengan jumlah perkara 4.877.659 perkara pidana. Sehingga, rata-rata beban penanganan perkara pidana untuk setiap hakim adalah 4.813 perkara. Dapat dipastikan, dengan adanya ketentuan mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat, beban perkara pidana yang harus ditangani oleh Pengadilan akan terus meningkat.
Keempat, RKUHP membuka peluang Polisi dan Jaksa mencampuri masalah adat. RKUHP pada dasarnya memasukkan pengaturan yang tidak jelas mengenai pidana yang hidup dalam masyarakat. Pasal 679 ayat (1) RKUHP menyebutkan bahwa “setiap orang yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dicancam dengan pidana”,. Meskipun pidana yang dimaksud berupa pemenuhan kewajiban adat, masukknya delik yang tidak memiliki pengaturan jelas perbuatan apa saja yang dilarang ini berarti membuka peluang aparat penegak hukum seperti Polisi dan Jaksa turut serta mencampuri masalah adat.
Kelima, Pengakuan terhadap hukum adat masih menjadi masalah sendiri dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Sehingga pengaturannya tidak bisa sesederhana menyerahkan seluruh pengaturan ke masing-masing daerah. Persoalan pidana adat harus diatur sengan peraturan sendiri.
Oleh sebab itu, ICJR meminta agar DPR dan Pemerintah untuk:
1. Menghapus ketentuan terkait dengan hukum yang hidup dalam masyarakat atau setidak-tidaknya mengubah rumusan Pasal 2 menjadi:
Pasal 2
1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum adat dalam masyarakat adat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
2. Hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan hanya untuk perbuatan yang diancam dengan pidana maksimal 3 bulan penjara
3. Ketentuan tentang pelaksanaan hukum adat dan tata cara pemeriksaan pelanggaran hukum adat diatur dalam UU tersendiri_
2. Menegaskan tidak adanya pelibatan aparat negara dalam penegakan hukum adat dan sepenuhnya menyerahkan persoalan hukum adat pada masyarakat adat.
3. Mengatur pembatasan perbuatan apa saja yang bisa dikategorikan sebagai pidana adat dan pemerintah harus mampu mengidentifikasi perbuatan apa saja yang benar-benar merupakan pidana adat.
Kami memahami, tidak semua orang orang memiliki kesempatan untuk menjadi pendukung dari ICJR. Namun jika anda memiliki kesamaan pandangan dengan kami, maka anda akan menjadi bagian dari misi kami untuk membuat Indonesia memiliki sistem hukum yang adil, akuntabel, dan transparan untuk semua warga di Indonesia tanpa membeda – bedakan status sosial, pandangan politik, warna kulit, jenis kelamin, asal – usul, dan kebangsaan.
Hanya dengan 15 ribu rupiah, anda dapat menjadi bagian dari misi kami dan mendukung ICJR untuk tetap dapat bekerja memastikan sistem hukum Indonesia menjadi lebih adil, transparan, dan akuntabel
Klik taut berikut ini