Masalah korban penyiksaan bermula dari Mekanisme Nasional untuk Pencegahan Penyiksaan yang belum efektif sampai dengan belum adanya mekanisme yang lebih jelas untuk komutasi hukuman mati bagi narapidana yang sudah begitu lama mendekam di penjara. Pembahasan Rancangan KUHAP harus segera dimulai sampai dengan Rancangan UU Anti-Penyiksaan.
Pada hari ini, 26 Juni 2019, dunia internasional akan kembali merayakan hari dukungan untuk korban penyiksaan. Untuk Indonesia sendiri, hari anti penyiksaan merupakan salah satu waktu yang tepat untuk merefleksikan diri serta melakukan pembenahan diri terhadap isu-isu yang terkait dengan penyiksaan. Tahun 2019 ini menunjukan bahwa sudah 19 Tahun Indonesia meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture) dan selama 19 tahun itu pula lah berarti Indonesia telah menyatakan tunduk pada prinsip anti penyiksaan Internasional.
Meskipun begitu, berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh ICJR, masih terdapat beberapa catatan-catatan terkait penghapusan praktik penyiksaan di Indonesia.
Pertama, pemerintah Indonesia belum melakukan ratifikasi terhadap Protokol Opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakukan atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (Optional Protocol to the Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment/OPCAT). Meskipun Indonesia memiliki Mekanisme Nasional untuk Pencegahan Penyiksaan (National Prevention Mechanism) yang terdiri dari lima lembaga (Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, Ombudsman RI dan LPSK ), namun dengan belum meratifikasi OPCAT, Indonesia tidak memiliki mekanisme pemantauan tempat-tempat penahanan yang terintegrasi dengan berbagai lembaga pengawasan dan perlindungan hak asasi manusia sesuai amanat konvensi anti penyiksaan yang telah diratifikasi oleh Indonesia sejak 1998 lalu. Hla ini yang pada akhirnya menjadikan tempat-tempat penahanan sebagai safe haven atau “surga” bagi pelaku-pelaku penyiksaan.
Kedua adalah terkait pemulihan hak-hak korban penyiksaan, yang saat ini telah diatur di dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban (UU LPSK), termasuk hak untuk mendapatkan restitusi. Namun terkait hal ini masih tedapat beberapa catatan. Pertama, dari sisi pendanaan atau alokasi budget, saat ini LPSK belum memiliki kemandirian dalam penyusunan Rencana Kerja dan Anggarannya (RKAL) karena RKAL LPSK masih menempel pada RKAL Sekretariat Negara (Setneg). Hal ini tentunya berakibat pada tidak maksimalnya atau keterbatasan LPSK dalam memberikan layanan bantuan pada para korban tindak pidana. Kedua, khususnya untuk kasus penyiksaan saat ini sulit ditindaklanjuti karena praktik penyiksaan seringkali dilakukan oleh aparatur negara untuk mendapatkan pengakuan dalam proses peradilan dan atau penghukuman kejam lainnya, sedangkan untuk pengajuan layanan LPSK terkadang harus ada laporan tindak pidana, sesuatu yang jarang direspon oleh pihak yang berwajib. Untuk itu, baik dari sisi pendanaan maupun pelayanan Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) harus lebih dioptimalkan lagi.
Ketiga, untuk mendorong restorative justice, khususnya bagi korban, pemerintah perlu menambah opsi bentuk pemulihan hak korban tindak pidana penyiksaan selain dalam bentuk restitusi sebagaimana yang telah tercantum dalam UU LPSK. LPSK dan jaksa dapat menggunakan Pasal 98 Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu dengan menggabungkan gugatan kerugian agar mekanisme eksekusinya bisa dilakukan secara perdata dan dapat lebih efektif apabila dibandingkan dengan mekanisme restitusi semata.
Keempat, hal khusus yang perlu diperhatikandan selama ini terlupakan adalah terkait terpidana hukuman mati yang dikaitkan dengan fenomena daftar tunggu eksekusi (death row) yang tinggi. Fenomena death row merupakan salah satu bentuk penyiksaan, baik secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan penelitian oleh William Schabas (1996), penundaan hukuman mati menambah efek psikologis ketercerabutan seseorang, tidak hanya dari masyarakat, tapi bahkan sesama narapidana. Juan Mendez (2012), Pelapor khusus PBB untuk isu penyiksaan pun sudah menyatakan bahwa fenomena deathrow adalah bentuk penyiksaan. Pengadilan Hak Asasi Manusia Uni Eropa juga mengeluarkan putusan penting dalam kasus Soering vs The United Kingdom (1989) yang menyatakan bahwa penundaan hukuman merupakan pemenjaraan berkepanjangan dengan situasi penekanan dan kesengsaraan terus-menerus. Untuk itu ICJR mendesak Mekanisme Nasional untuk Pencegahan Penyiksaan untuk segera mengkaji para terpidana mati yang telah telah mendekam begitu lama di penjara untuk kemudian dapat dimintakan komutasi hukuman dari pidana mati ke jenis hukuman lainnya, prosesnya bisa melalui amnesti atau grasi presiden, atau bahkan membuat mekanisme lainnya yang diperlukan.
Kelima, sistem pembuktian dalam peradilan pidana di Indonesia harus diperbaiki dengan memastikan bahwa majelis hakim tidak menjatuhkan pidana berdasarkan bukti yang didapatkan dari proses yang melawan hukum, salah satunya adalah melalui praktik penyiksaan. Hal ini sangat penting tentunya untuk memberikan perlindungan hukum bagi korban dan memenuhi prinsip fair trail. Selain itu, ICJR juga mendesak hakim untuk melakukan pemeriksaan yang optimal dan menyeluruh. Proses pemeriksaan dan interogasi dilarang menggunakan penyiksaan, kekerasan atau tekanan dalam bentuk apapun. Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibuat dengan adanya pemerasan, tekanan, ancaman, atau paksaan, maka BAP yang diperoleh dengan cara tersebut tidak sah. Saat ini KUHAP tidak mengatur secara mendetail tentang proses pembuktian adanya dugaan pembuatan BAP yang dilakukan dengan penyiksaan dan penekanan, jika terdakwa atau penasihat hukumnya mengklaim ada penyiksaan selama pemeriksaan yang menyebabkan tersangka/terdakwa kemudian mengeluarkan keterangan yang tidak benar, selama ini hakim hanya sekedar menggunakan pengakuan dari penyidik untuk membuktikan tidak ada penyiksaan. Tentunya hal ini merupakan sesuatu yang tidak ada gunanya karena penyidik tentu akan menyangkal praktik penyiksaan yang telah dilakukan.
Berdasarkan atas hal ini, maka ICJR merekomendasikan lima hal kepada Pemerintah yaitu:
- Pemerintah Indonesia segera melakukan ratifikasi terhadap Protokol Opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakukan atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (Optional Protocol to the Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment/OPCAT) agar mekanisme pemantauan tempat-tempat penahanan yang terintegrasi dengan berbagai lembaga pengawasan dan perlindungan hak asasi manusia menjadi jelas. Kedepan, Indonesia perlu juga segera membahasa Rancangan UU Anti-Penyiksaan guna mengakomodir lebih banyak mekanisme pencegahan dan pengawasan untuk isu penyiksaan.
- Demi kepentingan pemulihan hak korban, khususnya korban tindak pidana penyiksaan, sisi pendanaan maupun pelayanan Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) harus lebih dioptimalkan lagi.
- Pemerintah menambah opsi bentuk pemulihan hak korban tindak pidana penyiksaan selain dalam bentuk restitusi sebagaimana yang telah tercantum dalam UU LPSK agar eksekusi dapat dilakukan dengan lebih efektif.
- Mekanisme Nasional untuk Pencegahan Penyiksaan (National Prevention Mechanism) yang saat ini telah ada segera mengkaji para terpidana mati yang telah telah mendekam begitu lama di penjara untuk kemudian dapat dimintakan komutasi pidana mati, prosesnya bisa melalui amnesti atau grasi presiden, atau bahkan membuat mekanisme lainnya yang diperlukan.
- Sistem pembuktian dalam peradilan pidana di Indonesia harus diperbaiki dengan memastikan bahwa majelis hakim tidak menjatuhkan pidana berdasarkan bukti yang didapatkan dari proses yang melawan hukum, salah satunya adalah melalui praktik penyiksaan. Hal ini dapat dilakukan dengan segera melakukan pembahasan Rancangan KUHAP dan memastikan kriminalisasi tindak pidana penyiksaan dalam Rancangan KUHP.
—
Kami memahami, tidak semua orang orang memiliki kesempatan untuk menjadi pendukung dari ICJR. Namun jika anda memiliki kesamaan pandangan dengan kami, maka anda akan menjadi bagian dari misi kami untuk membuat Indonesia memiliki sistem hukum yang adil, akuntabel, dan transparan untuk semua warga di Indonesia tanpa membeda – bedakan status sosial, pandangan politik, warna kulit, jenis kelamin, asal – usul, dan kebangsaan.
Hanya dengan 15 ribu rupiah, anda dapat menjadi bagian dari misi kami dan mendukung ICJR untuk tetap dapat bekerja memastikan sistem hukum Indonesia menjadi lebih adil, transparan, dan akuntabel
Klik taut icjr.or.id/15untukkeadilan