Indonesia telah melakukan eksekusi gelombang ke-3 dibawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, kami Jaringan masyarakat sipil yang sejak awal menolak eksekusi hukuman mati mengecam eksekusi ini disebabkan banyaknya kejanggalan, kesalahan prosedur dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Pemerintah.
Pertama, Pemerintah melakukan eksekusi ditengah banyaknya kejanggalan kasus para terpidana mati yang masuk dalam 14 list nama yang akan dieksekusi. Kejanggalan ini kemudian terkonfirmasi dengan keputusan menunda eksekusi 10 terpidana mati. Meskipun pada dasarnya keputusan ini tepat karena kami yakin memang terdapat banyak kejanggalan sejak awal, namun hal ini menunjukkan bahkan Pemerintah sendiri mengakui adanya kejanggalan kasus-kasus tersebut.
Kedua, terdapat pelanggaran proses yang begitu nyata, Pemerintah melanggar setidaknya satu Undang-Undang dan satu putsan Mahkamah Konstitusi (MK). Pemerintah tetap melakukan eksekusi terpidana mati yang jelas-jelas dilindungi dalam Pasal 13 UU Grasi. Tiga terpidana mati, Sack Osmane, Humprey Jefferson, dan Freddi Budiman sedang dalam proses permohonan grasi pada saat dieksekusi. Keputusan ini tidak mengindahkan Paasal 13 UU Grasi yang melarang eksekusi dilakukan dalam hal terpidana amti sedang mengajukan grasi dan Putusan MK No. 107/PUU-XIII/2015. Kami tekankan bahwa pernyataan Jaksa Agung yang menyatakan ada tenggat waktu dalam mengajukan grasi berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU grasi tidaklah mendasar, sebab berdasarkan putusan MK diatas, Pasal 7 ayat (2) UU Grasi telah dihapuskan!
Ketiga, Pemerintah sengaja menutupi segala informasi menganai eksekusi mati, baik keluarga dan advokat tidak mendapatkan informasi pasti mengenai eksekusi mati, hal ini mengakibatkan hak para terpidana mati dipertaruhkan. Tidak ada list terpidana mati yang pasti sampai dengan eksekusi, sehingga para terpidana mati tidak siap dalam melakukan upaya hukum yang masih tersedia. Selain itu, Pemerintah melanggar ketentuan UU tentang notifikasi yang mengisyaratkan eksekusi dilakukan 3×24 jam. Para terpidana mati diberikan notifikasi pada tanggal 26 Juli malam sehingga eksekusi seharusnya dilakukan pada tanggal 29 Juli malam hari, nyatanya, eksekusi dilakukan pada tanggal 29 Juli dini hari.
Keempat, dalam rencana anggaran, eksksekusi dilakukan untuk 14 terpidana mati, membengkaknya anggara terpidana mati yang mencapai 7 Milyar rupiah, dipastikan terbuang disebabkan adanya penundaan eksekusi mati. Hal ini mengkonfirmasi kecurigaan kami bahwa anggaran eksekusi mati memang rawan pelanggaran dan penyelewangan diakibatkan kesengajaan-kesengajaan kesalahan prosedur seperti eksekusi gelombang ke-3 ini bisa saja terjadi.
Atas dasar kejanggalan dan kelemahan yang kami temukan ini, maka kami menuntut pada Pemerintah untuk :
- Meminta Presiden dan Jaksa Agung untuk bertanggungjawab atas tindakan melanggar UU Grasi dan Putusan MK No. 107/PUU-XIII/2015
- Meminta Presiden untuk membentuk tim independen guna melakukan peninjauan dan penelitian terhadap seluruh kasus-kasus terpidana mati akibat masih maraknya peradilan sesat yang tidak sesuai dengan prinsip fair trial
- Mendesak Presiden untuk mengambil langkah-langkah moratorium eksekusi mati dikarenakan kondisi hukum yang tidak dapat menjamin eksekusi mati berikutnya tidak didasarkan atas adanya peradilan sesat yang tidak sesuai dengan prinsip fair trial
- Meminta Presiden untuk menelaah dan mengkaji secara serius permohonan grasi para terpidana mati, atas pertimbangan itu meminta Presiden untuk menerima grasi para terpidana mati sebagai komitmen atas penegakan hak asasi manusia.
- Meminta Presiden untuk segera mencopot Jaksa Agung atas kinerja buruk dan kesalahan fatal dalam kinerja atas instruksi menjalankan eksekusi mati ilegal pada keempat terpidana mati.
YLBHI, ICJR, Kontas, LBH Masyarakat, MaPPI FH UI, HRWG, Imparsial, ELsam, Migrant Care, The Habibie Center