Kasus pemerkosaan oleh oknum residen anestesi dari PPDS FK UNPAD, Priguna Anugerah Pratama (PAP), masih bergulir di Unit PPA Ditreskrimum Polda Jawa Barat. Tersangka diduga melakukan pemerkosaan kepada anak pasien dengan modus membuat korban tidak sadarkan diri saat proses pengambilan darah. Diketahui bahwa korban pemerkosaan oleh tersangka telah bertambah menjadi tiga orang.
Pihak Kuasa Hukum PAP menyebutkan bahwa kliennya telah menyampaikan permintaan maaf kepada korban dan keluarga korban, serta telah ada bukti perdamaian yang ditandatangani dan dibubuhi meterai. Selain itu, disebutkan pula bukti pencabutan laporan korban (Detik Jabar, 10 April 2025).
ICJR menyayangkan adanya upaya perdamaian yang dikemukanan dalam kasus kekerasan seksual tersebut. Padahal, Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah secara tegas menyatakan bahwa perkara kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak.
Perlu dicatat bahwa perdamaian antara pelaku dan korban tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana pelaku atas perbuatan yang dilakukan. Proses pidana harus tetap berjalan, sesuai prinsip penggunaan keadilan restoratif bahwa pertanggungjawaban pidana sebagai bentuk akuntabilitas terhadap kejahatan tetap berlaku.
Terlebih, terdapat penambahan jumlah korban yang melaporkan tersangka PAP selama kasus berlangsung. Oleh karena itu, aparat penegak hukum (APH) wajib memproses perkara ini hingga tuntas tanpa bergantung pada ada atau tidak adanya kesepakatan damai.
Praktik perdamaian dalam kasus kekerasan seksual tersebut terjadi akibat pemahaman sempit APH terhadap konsep keadilan restoratif atau restorative justice (RJ). RJ secara umum ditafsirkan sebagai proses perdamaian atau penghentian perkara, baik melalui mekanisme formal peradilan maupun mekanisme di luar persidangan. Hal ini diperparah dengan minimnya akuntabilitas dari proses perdamaian dalam kasus tersebut, yang dilaksanakan tanpa pemantauan independen, tidak mengedepankan persetujuan bebas dari tekanan, serta tidak mempertimbangkan kondisi psikologis para korban.
ICJR mencatat bahwa sejak konsep RJ masuk dalam RPJMN 2020–2024, pengaturannya justru lebih menitikberatkan pada kewenangan APH untuk menghentikan perkara melalui aturan internal lembaga yang mengatur mekanisme penyelesaian perkara berbasis keadilan restoratif. Kepolisian sendiri memiliki aturan internal yang mengatur mekanisme penghentian penyelidikan dan penyidikan, melalui Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perpol 8/2021). Selain itu, Perpol 8/2021 juga sama sekali tidak mengecualikan kekerasan seksual untuk dilakukan mekanisme keadilan restoratif.
Pada dasarnya, Perpol 8/2021 belum mencerminkan tujuan utama keadilan restoratif, yakni pemulihan korban pasca tindak pidana terjadi. Pemulihan ini seharusnya mencakup berbagai respons dan program, seperti reparasi, dana bantuan, restitusi, serta kerja atau layanan sosial, yang bertujuan menjawab kebutuhan individu dan kolektif para pihak demi tercapainya restoratif. Proses perdamaian dengan mempertemukan pelaku dan korban, yang dilakukan tanpa jaring pengaman kondisi psikologis korban akan menghambat proses pemulihan bagi korban.
Laporan Tahunan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) 2024 menemukan adanya tantangan krusial dalam pemberian perlindungan bagi korban kekerasan seksual salah satunya disebabkan oleh adanya kesepakatan dalam mediasi yang dipengaruhi oleh tekanan terhadap Saksi dan Korban, yang pada akhirnya mendorong mereka mencabut laporan. Tantangan ini selalu ditemukan dalam kasus kekerasan seksual.
Praktik penyelesaian perkara melalui perdamaian dalam kasus kekerasan seksual bertentangan dengan semangat perlindungan korban sebagaimana diatur dalam UU TPKS. Proses penanganan perkara harus menjamin akuntabilitas dan berpihak pada korban, bukan sebaliknya.
Oleh karena itu, ICJR mendorong agar:
- APH memperhatikan ketentuan UU TPKS tentang larangan penyelesaian di luar sidang untuk kekerasan seksual;
- Polda Jawa Barat harus memperhatikan pemenuhan hak korban;
- Secara lebih luas, Kapolri harus mencabut Perpol 8/2021 yang menyalahartikan Keadilan Restoratif dan tidak memperhatikan larangan pada kekerasan seksual
Jakarta, 11 April 2025
Hormat Kami
ICJR