Baru-baru ini, Indonesia diramaikan dengan tagar #PercumaLaporPolisi, tagar yang ramai diperbincangkan masyarakat oleh karena sikap institusi Polri yang dianggap tidak profesional dalam menangani kasus kekerasan seksual 3 (tiga) orang anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, yang diberitakan oleh Project Multatuli. Ditambah adanya penetapan tersangka kepada seorang pedagang yang mengalami penganiayaan dari beberapa orang terduga preman pasar di Deli Serdang, Sumatera Utara hingga kekerasan terhadap sejumlah mahasiswa dalam penanganan aksi demonstrasi di sekitar kantor Bupati Kabupaten Tangerang, Banten.
Kami menilai riuhnya tagar #PercumaLaporPolisi tidak lain merupakan ekspresi kekecewaan dan kritik masyarakat atas kerja-kerja Polri yang dalam berbagai kasus dianggap tidak akuntabel, transparan, dan bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Hal ini mengakibatkan krisis kepercayaan masyarakat pada aparat penegak hukum dan hukum itu sendiri.
Alih-alih merespon kritik dengan memperbaiki kinerja, Polri justru melakukan penyangkalan yang berlebihan dan tidak perlu. Semisal dalam kasus kekerasan seksual terhadap 3 (tiga) orang anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Akun instagram humas Polres Luwu Timur membuat klarifikasi dan diikuti cap hoaks pada artikel berita yang dipublikasi Project Multatuli. Parahnya, klarifikasi yang dimuat menyebut identitas orang tua korban. Padahal berdasarkan hukum, memuat identitas nama orang tua korban merupakan sesuatu yang dilarang.
Tidak hanya dalam penanganan kasus kekerasan seksual, ketidakprofesionalan anggota kepolisian juga terlihat dalam penanganan aksi demonstrasi mahasiswa di depan kantor Kabupaten Tangerang pada 13 oktober yang lalu. Diketahui dari video yang beredar, para mahasiswa mengalami kekerasan dari aparat kepolisian hingga ada yang sempat tidak sadarkan diri setelah dibanting ke trotoar jalan.
Kendati pelaku sudah menyampaikan klarifikasi dan permintaan maaf, namun hal tersebut tidak menghapus pertanggungjawaban pelaku dan juga atasan pelaku. Pada konteks ini, Polda harus tetap memproses baik secara etik maupun pidana. Proses hukum terhadap pelaku dan atasan pelaku sangat penting dilakukan tidak hanya untuk memberikan keadilan bagi korban tetapi juga memutus rantai impunitas sekaligus memastikan peristiwa serupa tidak terulang kembali.
Brutalitas aparat dalam penanganan aksi demonstrasi bukanlah peristiwa yang baru pertama kali terjadi. Sebelumnya, kritik terhadap cara-cara brutal yang dilakukan polisi dalam penanganan aksi demonstrasi juga terjadi pada kasus lain misalnya pada saat menangani aksi besar-besaran mahasiswa pada tahun 2019 dan tahun 2020. Akibatnya banyak terjadi bentuk pelanggaran hak asasi manusia, mulai dari penangkapan dan penahanan sewenang, hingga kekerasan dan penyiksaan yang mengakibatkan korban luka dan jiwa.
Merujuk data KontraS, diketahui selama Juni 2020 – Mei 2021 terdapat setidaknya 651 kasus kekerasan yang dilakukan oleh Polri terhadap masyarakat sipil. Jenis kekerasan yang paling banyak dilakukan adalah penembakan yang telah menewaskan 13 orang dan 98 luka-luka. Sedangkan menurut catatan IMPARSIAL, sepanjang 2016-2020 ditemukan setidaknya 76 kasus penyiksaan dilakukan dalam tugas-tugas pemolisian. Dari 76 kasus tersebut, 17 di antaranya terjadi di level Polsek, 51 peristiwa di level Polres, 5 di level Polda, 1 peristiwa oleh Brimob, dan 1 peristiwa oleh Densus 88. Cara yang paling banyak dilakukan adalah pemukulan (57 temuan), pencambukan (11 temuan), ditodong atau diancam dengan senjata (6 temuan), disetrum (4 temuan) dan cara-cara lainnya. Berdasarkan data yang kami miliki, diketahui setidaknya 25 orang telah meninggal dunia akibat praktik ini. Penting untuk digarisbawahi bahwa data tersebut merupakan puncak gunung es dari praktik kekerasan dan penyiksaan yang terjadi di Indonesia. Tidak tertutup kemungkinan bahwa masih terdapat kasus-kasus lainnya yang terjadi namun tidak terjangkau pemberitaan media maupun pemantauan kami.
Catatan rangkaian brutalitas polisi di atas sebenarnya menunjukkan bahwa persoalan tersebut bukan hanya persoalan individu anggota semata, tetapi juga persoalan sistemik yaitu kultur kekerasan yang masih kuat di dalam tubuh kepolisian. Jika persoalan ini tidak segera diselesaikan oleh jajaran Polri, maka peristiwa serupa akan terus berulang dan dengan sendirinya akan mencoreng nama baik institusi Polri juga menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap Polri.
Selain dari berbagai kasus di atas, kami mencatat banyak masalah lain di tubuh institusi Polri, mulai dari extra judicial killing, penundaan kasus yang berlarut-larut, korupsi, penyalahgunaan wewenang, masuknya anggota Polri dalam jabatan sipil atau rangkap jabatan, dikerdilkannya kebebasan sipil hingga masalah maladministrasi.
Dalam hal maladministrasi, Ombudsman RI menerima terdapat 699 laporan terkait kinerja Polri sepanjang tahun 2020, hal ini menempatkan Polri sebagai urutan pertama lembaga yang paling banyak dilaporkan oleh masyarakat dibandingkan dengan lembaga negara lainnya. Selain itu hasil Survei Kepatuhan Hukum oleh Lembaga Penegak Hukum tahun 2019 yang dilakukan oleh Ombudsman RI juga menyatakan kepatuhan Polri terhadap hukum relatif rendah. Survey tersebut menyatakan pemenuhan unsur dokumen tahap penyidikan sebanyak 31,85 persen atau kepatuhan rendah.
Berkaitan dengan hak asasi manusia, menurut data Komnas HAM RI, sepanjang tahun 2021, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menerima sebanyak 2.331 aduan terkait HAM. Dari ribuan aduan tersebut, menurut data Komnas HAM klasifikasi tertinggi yakni aduan terkait Polri. Pengaduan terkait Polri kebanyakan terkait ketidakprofesionalan prosedur kepolisian. Kemudian, kekerasan hingga penyiksaan oleh aparat kepolisian terhadap warga sipil.
Kami menilai masalah-masalah tersebut dapat muncul dan kerap kali berulang disebabkan adanya pengabaian terhadap masalah struktural, yang penyelesaiannya tidak cukup dengan pendekatan kasuistik. Melainkan dengan pendekatan integral, perubahan secara menyeluruh terhadap institusi kepolisian, caranya melalui agenda reformasi kepolisian dengan merevisi Undang-Undang Kepolisian. Beberapa substansi perubahan diantaranya seperti memperkuat mekanisme pengawasan eksternal yang dapat melakukan penindakan terhadap anggota kepolisian hingga mempertegas larangan anggota kepolisian dalam hal rangkap jabatan, atau apabila menduduki jabatan di luar tugas kepolisian harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Bahwa agenda tersebut tidak hanya terbatas pada reformasi instrumental, tetapi juga struktural dan kultural.
Berdasarkan uraian dan penjelasan kami di atas, kami mendesak:
- Presiden dan DPR RI untuk segera melakukan percepatan agenda reformasi kepolisian dengan melakukan revisi berbagai undang-undang yang berhubungan dengan aspek baik kultural, struktural, hingga instrumental. Revisi ini dapat dimulai dari revisi UU Kepolisian, KUHAP, dan berbagai aturan yang bersinggungan lainnya;
- Presiden dan DPR RI untuk segera merevisi undang-undang yang berhubungan dengan kewenangan besar dari Kepolisian dengan tujuan memberikan pengawasan dan kontrol yang efektif terhadap kewenangan besar Kepolisian tersebut, dengan setidaknya segera mendorong pembahasan RUU Hukum Acara Pidana (RKUHAP), RUU Kejaksaan, dan undang-undang lain yang berhubungan.
- Presiden dan DPR memerintahkan Kapolri untuk melakukan evaluasi menyeluruh dan mengambil langkah perbaikan bagi pelaksanaan tugas kepolisian yang mengedepankan prinsip-prinsip pemolisian demokratik dan penghormatan hak asasi manusia. Petugas yang melakukan tindak kekerasan harus segera ditindak melalui proses peradilan pidana yang transparan, sehingga bisa menjadi bagian komitmen dari penegakan hukum di tubuh internal kepolisian.
- Kapolri melakukan evaluasi terhadap aturan internal. Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian sebagai aturan pengamanan demonstrasi perlu direvisi dengan memasukan aturan sanksi yang tegas dan kewajiban untuk memproses pidana bagi anggota yang terbukti melakukan pelanggaran protap dan pidana. Selain itu, Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Standar HAM dalam Tugas Kepolisian perlu direvisi dengan menyertakan lampiran SOP terkait tugas-tugas pemolisian yang demokratis.
- Kapolri memperbaiki proses pendidikan untuk mengakhiri budaya kekerasan yang selama ini masih kuat di kepolisian. Anggota kepolisian sudah harus meninggalkan cara pandang lama yang melihat dirinya sebagai “penghukum”. Anggota Polri harus menyadari bahwa tugasnya adalah memelihara keamanan dan ketertiban, menegakkan hukum, mengayomi, melindungi, dan melayani masyarakat. Karenanya, anggota kepolisian tidak dibenarkan memberikan penghukuman apalagi dengan cara-cara kekerasan kepada masyarakat.
- Presiden segera membentuk sebuah Tim Independen Percepatan Reformasi di kepolisian yang bekerja secara langsung di bawah Presiden, guna memastikan perubahan terjadi di semua lini kepolisian.
Jakarta, 15 Oktober 2021
Koalisi Reformasi Sektor Keamanan
KontraS, Imparsial, Amnesty Internasional Indonesia, Public Virtue Institute, LBH Jakarta, Setara Institute, ICJR, HRWG, Elsam, PBHI, LBH Masyarakat, Pil-Net, ICW, LBH Pers dan Pusat Studi Demokrasi dan Keamanan (PSDK)
Narahubung:
- Andi Muhammad Rezaldy (KontraS)
- Hussein Ahmad (Imparsial)
- Erasmus Napitupulu (ICJR)
- Teo Reffelsen (LBH Jakarta)
- Usman Hamid (Amnesty Internasional Indonesia)