image001

(Lagi) Transaksi Narkotika Dikendalikan dari Lapas: Kapan Langkah Konkret Perombakan Kebijakan Narkotika?

Pada hari Rabu, 18 September 2024 Bareskrim Polri berhasil melakukan penangkapan terhadap 8 (delapan) orang tersangka dalam kasus pencucian uang senilai 2,1 triliun rupiah hasil peredaran gelap narkotika jenis sabu yang dikendalikan oleh Hendra alias HS. HS merupakan narapidana di Lapas Tarakan yang divonis hukuman mati dalam perkara narkotika pada tahun 2020. HS bekerja sama dengan 8 (delapan) orang tersebut dimana tiap mereka memiliki peran masing-masing, dari pengelolaan uang hasil kejahatan sampai mengurus proses upaya hukum. Atas perbuatan yang dilakukan para tersangka, mereka dijerat dengan Pasal 3,4,5, 6, dan 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 137 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Peredaran gelap narkotika dari dalam lapas bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Adapun salah satu contoh praktik peredaran gelap narkotika dari dalam lapas pernah terjadi pada tahun 2012 yang mana dilakukan oleh seorang narapidana bernama Freddy Budiman. Freddy divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat karena terlibat kasus impor 1,4 juta butir pil ekstasi dari Tiongkok, sehingga ia dipenjara di Lapas Narkotika Cipinang. Namun, aktivitas kriminalnya berlanjut meski di dalam lapas. Pada tahun 2016, Freddy menjalani eksekusi hukuman mati. Maraknya praktik ini bahkan sudah diamini oleh otoritas negara sendiri. Pada 2018 lalu, Menteri Hukum dan HAM menyatakan bahwa 50% peredaran gelap narkotika narkotika dikendalikan dari dalam Lapas. Hukuman mati nyatanya tidak menimbulkan efek jera.

ICJR telah sejak 2017 lalu memaparkan solusi yang bisa diterapkan untuk mengatasi peredaran gelap narkotika di Lapas maupun dikendalikan dari dalam Lapas. Namun, hingga saat ini tidak ada tindak lanjut yang diambil oleh Pemerintah maupun DPR atas hal ini.  

Pemicu adanya peredaran gelap narkotika di Indonesia dikarenakan permasalahan mendasar Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) yang masih mengkriminalisasi pengguna narkotika. Melalui UU Narkotika, pemerintah memberikan sanksi pidana kepada pengguna narkotika. Kriminalisasi ini tidak membawa dampak menurunnya angka perdagangan gelap narkotika malah justru menimbulkan permasalahan baru. Pertama, masalah overcrowding Lapas utamanya pengguna narkotika. Mayoritas penegakan hukum justru menjerat pengguna narkotika. Penelitian terhadap 1.353 putusan pengadilan selama kurun waktu 2016 – 2020, menunjukkan bahwa 40,6% (mayoritas) penegakan pasal-pasal peredaran gelap narkotika dalam UU Narkotika justru menyasar pengguna narkotika (IJRS, 2022).  Hal ini menyebabkan pada Februari 2022, terdapat 103.081 pengguna narkotika di dalam Lapas di seluruh Indonesia. Kondisi kelebihan penghuni di Lapas kemudian menyebabkan berbagai persoalan, utamanya terkait pengawasan. Pengawasan menjadi tidak ideal karena jumlah penghuni tidak seimbang dengan jumlah petugas. 

Kedua, kriminalisasi pengguna narkotika justru menumbuhsuburkan peredaran gelap narkotika. Secara normatif dan praktik UU Narkotika tidak memuat pemisahan yang tegas perlakuan antara pengguna dan pengedar narkotika, yang membuat pemerintah kehilangan fokusnya dalam mengatasi dan menangani permasalahan peredaran gelap narkotika di Indonesia, dan menjadikan kasus narkotika sebagai ladang transaksi ilegal, termasuk melibatkan aparat penegak hukum sendiri.  Sepanjang 2019 – 2022, terdapat 106 insiden Polisi terlibat dalam peredaran gelap narkotika, yang melibatkan 178 anggota polisi, tersebar pada semua level kantor polisi maulia dari Polsek (24 anggota) Polres (107 anggota) dan Polda (47 anggota) (Kontras, 2023). Anggota polisi dengan pangkat tertinggi yang terlibat peredaran narkotika adalah Teddy Minahasa yang divonis penjara seumur hidup. Dalam keterangan di persidangan, bahkan ia menyatakan hal yang lumrah polisi mengambil dan menjual kembali narkotika yang sita menjadi barang bukti. Namun, pasca kasus ini dan maraknya keterlibatan aparat dalam kasus narkotika, tidak ada langkah komprehensif yang memutus akar masalah ini. 

Pasar gelap narkotika bertumbuh di dalam Lapas karena juga terdapat pengguna narkotika di dalam Lapas yang tidak mendapatkan akses intervensi kesehatan maupun tidak ada program intervensi kesehatan sama sekali (ICJR, 2017, 2020, 2022). 

ICJR telah menyerukan perombakan kebijakan narkotika dengan memperkenalkan dekriminalisasi pengguna narkotika. Pengguna narkotika diregulasi dengan menegaskan adanya intervensi berbasis kesehatan dan respon non-pidana bagi seluruh pengguna narkotika, sehingga tidak ada celah transaksional yang menyebabkan aparat menawarkan ‘pilihan’ untuk pendekatan kesehatan. Aparat pun bisa berfokus pada menegakkan peredaran gelap narkotika, bukan justru menjerat pengguna narkotika. 

Rekomendasi komprehensif dekriminalisasi pengguna narkotika dan perubahan menyeluruh UU Narkotika telah dihasilkan oleh JRKN (Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika, ICJR bagian di dalamnya). Sehingga, kami menyerukan Pemerintah perlu segera melakukan pembahasan revisi UU Narkotika dan menindaklanjuti rekomendasi JRKN dengan membahas dan mengadopsi dekriminalisasi pengguna narkotika. 

Terkait dengan penanganan kasus narkotika dan TPPU yang melibatkan HS dan jaringannya, ICJR mencermati 2 hal. Pertama, Polisi menyebutkan terdapat jaringan F sumber narkotika HS, namun jaringan tersebut masih DPO. Polisi harus membongkar jaringan tersebut. Kedua, ICJR juga mencermati adanya keterlibatan anggota HS pada aktivitas “upaya hukum” dalam TPPU nya. ICJR menyerukan usut tuntas apa yang dimaksud kegiatan “upaya hukum” termasuk juga adanya kemungkinan terdapat keterlibatan aparat yang disuap ataupun melindungi aktivitas tersebut.

Hormat kami, 

ICJR

Related Posts

  • 15 for Justice
  • Advokasi RUU
  • Alert
  • Dokumen Hukum
  • English
  • ICLU
  • Law Strip
  • Media Center
  • Mitra Reformasi
  • Publikasi
  • Special Project
  • Uncategorized
    •   Back
    • Reformasi Defamasi
    • #diktum
    • Anotasi Putusan
    • Penyiksaan
    • Strategic Litigation
    • RKUHAP
    • Putusan Penting
    • advokasi RUU
    • Advokasi RUU
    • Resources
    • Cases
    • Other Jurisdiction Cases
    • Civil
    • Criminal
    • Media
    • National
    • Public
    • IT Related
    • Torture Cases
    • Torture Resources
    • Laws and Regulation
    • Law Enforcer
    • Survivor
    • Weekly Updates
    • RUU Polri
    • RUU TNI
    •   Back
    • Resources
    • Cases
    • Other Jurisdiction Cases
    • Civil
    • Criminal
    • Media
    • National
    • Public
    • IT Related
    •   Back
    • Civil
    • Criminal
    • Media
    • National
    • Public
    • IT Related
    •   Back
    • Kabar ICJR
    • ICJR di Media
    •   Back
    • Law Enforcer
    • Survivor
    •   Back
    • Torture Cases
    • Torture Resources
    • Laws and Regulation
    • Law Enforcer
    • Survivor
    •   Back
    • Peraturan Mengenai Trafficking
    • Perlindungan Saksi dan Korban
    • Rancangan KUHAP
    • Pemasyarakatan
    • Rancangan KUHP
    • Penetapan Presiden
    • Peraturan Menteri
    • Peraturan Pemerintah
    • Surat Edaran
    • Surat Keputusan Bersama
    • Keputusan DitJen PAS
    • Keputusan Menteri
    • Keputusan Presiden
    •   Back
    • Peraturan
    • Peraturan Mengenai Trafficking
    • Perlindungan Saksi dan Korban
    • Rancangan KUHAP
    • Pemasyarakatan
    • Rancangan KUHP
    • Penetapan Presiden
    • Peraturan Menteri
    • Peraturan Pemerintah
    • Surat Edaran
    • Surat Keputusan Bersama
    • Keputusan DitJen PAS
    • Keputusan Menteri
    • Keputusan Presiden
    •   Back
    • RUU Polri
    • RUU TNI
    •   Back
    • Penetapan Presiden
    • Peraturan Menteri
    • Peraturan Pemerintah
    • Surat Edaran
    • Surat Keputusan Bersama
    • Keputusan DitJen PAS
    • Keputusan Menteri
    • Keputusan Presiden
    •   Back
    • Weekly Updates
Load More

End of Content.

Copyright © 2024 Gogoho Indonesia | Powered by Gogoho Indonesia

Scroll to Top