Pada 25 Oktober 2020 lalu, hasil Survei Indikator Politik Indonesia kepada 1.200 masyarakat di seluruh Indonesia menunjukkan 36% responden menyatakan Indonesia menjadi negara yang kurang demokratis. 47,7% responden menyatakan agak setuju bahwa warga makin takut menyatakan pendapat. Yang juga dilaporkan adalah 57,7% responden juga menyatakan aparat dinilai makin semena-mena menangkap warga yang berbeda pandangan politiknya dengan penguasa.
Survey Indikator Politik yang menunjukkan terjadi penurunan penilaian terhadap kebebasan sipil di Indonesia dan kecenderungan represifitas aparat harusnya menjadi cambuk bagi pemerintah Indonesia saat ini, telah terjadi pelanggaran terhadap konsititusi. Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 telah menyatakan jaminan penegakan dan perlindungan hak asasi manusia yang dijalankan dengan prinsip negara hukum yang demokratis.
ICJR mencatat bahwa dalam pemenuhan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi, aparat sering bertindak represif dengan tidak mengindahkan batasan kewenangan yg diatur dalam UU dan melanggar hak asasi manusia yang fundamental. Pada aksi penolakkan Omnibus Law Cipta Kerja Oktober 2020 lalu, Koalisi Reformasi Sektor Keamanan melaporkan aparat kepolisian melakukan penggunaan kekuatan secara berlebihan. Polisi juga melakukan penangkapan sewenang-wenang tanpa adanya proses hukum. Per 26 Oktober 2020, Polda Metro Jaya melaporkan telah menangkap 2.667 orang sepanjang tiga demonstrasi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja pada 8, 13, dan 20 Oktober 2020. Dari angka itu, bahkan diketahui 70% yang ditangkap merupakan pelajar dan di bawah umur, sehingga seharusnya perlakuan diberikan secara khusus kepada anak dalam ruang pelayanan khusus dan harus dilakukan penghindaran penahanan dan upaya-upaya represif lainnya. Diketahui juga aparat melakukan tindakan berlebihan terhadap warga, polisi melakukan penggeledahan, penyitaan dan pengaksesan tanpa dasar terhadap telepon genggam.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia juga mencatat sebanyak 56 jurnalis menjadi korban kekerasan dari aparat kepolisian saat meliput aksi demonstrasi 7 hingga 21 Oktober 2020. Akses bantuan hukum pun dihalang-halangi oleh kepolisian. Tindakan sewenang-wenang ini jelas bukan yang pertama kalinya terjadi, hal yang sama terjadi pada demonstrasi #ReformasiDikorupsi September 2019 lalu, aksi pada masa pemilu Mei 2019 lalu dan banyak lainnya. Sedangkan pelaku kekerasan yang merupakan aparat negara tidak secara akuntabel dan tranparan diproses hukum secara tuntas. Kontras pada Juli 2020 melaporkan, dalam satu tahun terakhir tidak ada kasus kekerasan oleh anggota kepolisian yang dituntaskan melalui mekanisme peradilan pidana. Sedangkan AJI Indonesia melaporkan jurnalis yang menjadi korban kekerasan sulit untuk mendapatkan keadilan, pada 2019 AJI melaporkan 53 kasus kekerasan jurnalis, hanya 1 yang pelaku yang diproses, itu pun hanya melalui sidang etik. Sebagian besar kasus lainnya dilaporkan ke kepolisian, namun tanpa ada kabar tindak lanjut.
Dari fenomena ini dapat terlihat meskipun aparat cenderung bertindak sewenang-wenang, namun impunitas terhadap aparat tersebut terus terjadi. Hal ini perlu menjadi sorotan bagi Pemerintah dan DPR untuk mempercepat langkah untuk perbaikan substansial hukum acara pidana di Indonesia. RKUHAP yang saat ini telah masuk dalam daftar Prolegnas DPR periode 2020-2024 perlu menjamin adanya pengetatan pengawasan, membentuk sistem akuntabilitas yang kuat bagi institusi aparat penegak hukum yang menjalankan proses penyidikan-penuntutan, RKUHAP harus secara ketat mengatur larangan permanen penggunaan kantor-kantor kepolisian sebagai tempat penahanan, penahanan harus dilakukan pada institusi lain, guna menjamin adanya pengawasan bertingkat. RKUHAP perlu mengatur ulang hukum pembuktian dan jenis-jenis alat bukti supaya tidak lagi bertumpu pada pengakuan yang mana merupakan akar dari penyiksaan. Juga harus ada upaya memperkuat hak-hak tersangka/terdakwa khususnya hak pendampingan hukum yang dapat menjamin pemberian bantuan hukum yang efektif.
Tidak hanya dari segi hukum acara pidana, sampai dengan saat ini pun Indonesia masih memuat hukum materil yang represif dan bertentangan dengan semangat perlindungan kebebasan sipil, utamanya dalam iklim demokrasi yang modern yaitu UU ITE, yang walaupun sudah direvisi namun memuat pasal karet yang menciptakan iklim ketakutan di masyarakat. Pasal-pasal dalam UU ITE menyerang kelompok-kelompok yang seharusnya dilindungi oleh negara. Lebih spesifik pengaturan penghinaan di Pasal 27 ayat (3) yang tidak memperhatikan batasan tentang penghinaan dalam KUHP, sebuah institusi negara pada Agustus 2020 pernah secara terang-terangan menggunakan pasal ini untuk menakut-nakuti seseorang atas ekspresi kritik terhadap pimpinan institusi tersebut.
Terkait dengan penggunaan hukum pidana, pada masa pandemi ini, maka aparat cenderung lebih represif, bahkan salah menerapkan ketentuan hukum, Surat Telegram Nomor ST/1099/IV/HUK.7.1/2020 memberikan instruksi bagi penyidik untuk mulai mengantisipasi kasus-kasus ujaran kebencian dan penyebaran hoaks, juga kasus-kasus penghinaan kepada penguasa/Presiden/Pemerintah yang terjadi selama situasi pandemi Covid-19, pasal-pasal tersebut seharusnya tidak pernah bisa digunakan untuk ekspresi kritik, namun pada prakteknya sering menjerat kritik yang seharusnya menjadi inti dari negara demokrasi.
Lewat kenyataan ini, Indonesia sebagai negara yang berasaskan Pancasila dan Demokrasi, serta menjunjung perlindungan hak asasi manusia, seharusnya berbenah. Pengawasan terhadap aparat penegakan hukum harus diperketat, salah satunya dengan mempercepat reformasi subtansial hukum acara pidana lewat pembaruan KUHAP dan memperbaiki hukum pidana materil yang memuat pasal karet, yang utama UU ITE yang terus memakan korban, dan menghadirkan ketakutan di masyarakat. Pemerintah dan DPR juga perku secara khusus melakukan reformasi di tubuh apparat penegak hukum, khususnya penggunaan pasal-pasal pidana seperti ujaran kebencian, berita bohong, makar, dan penghinaan individu dengan tujuan membungkam ekspresi yang sah.