Pada Periode Pasca Reformasi ada peningkatan lebih dari dua kali lipat regulasi yang mengijinkan hukuman mati dibanding dengan regulasi saat Indonesia merdeka sampai 1998
Sampai saat ini, paling tidak terdapat dua belas (12) peraturan perundangan-undangan di Indonesia yang masih mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu pidana di luar yang diatur dalam KUHP. Di Indonesia pasca Amandemen (1999-2002), hak atas hidup telah dijamin dengan tegas dalam konstitusi UUD 1945. Namun, hal tersebut tidak secara otomatis menghapus penerapan hukuman mati di Indonesia. Hanya ada lima undang-undang pasca reformasi 1998 yang dilahirkan dengan mencantumkan ancaman hukuman mati. Namun bila dibandingkan jumlah pasal yang mengatur delik hukuman mati sebagai sanksi, maka jumlahnya (periode Pasca Reformasi) meningkat lebih dua kali lipat dibandingkan dengan keseluruhan pasal yang mengatur tentang hukuman mati sejak Indonesia merdeka hingga reformasi (1945-1998)..
Di tahun 2017, Institute for Crimal Justice Reform (ICJR) sedang mempersiapkan studi komprehensif mengenai Akar Hukuman Mati dalam Legislasi di Indonesia. Untuk kebutuhan studi tersebut ICJR kemudian mengadakan rangkaian Focus Group Discussion (FGD) dan workshop. Pada hari Rabu tanggal 27 September 2017 lalu, di Hotel Aryaduta, Jakarta, ICJR melakukan FGD mengenai memahami akar dan latar belakang serta argumentasi masih dipertahankannya hukuman mati di Indonesia.
FGD tersebut mengundang 5 (lima) orang pemateri diskusi yang terdiri dari ahli dan akademisi dalam hukum pidana serta anggota legislatif. Pemateri diskusi tersebut adalah Prof. Dr. Maruarar Siahaan, S.H., M.H. (mantan Hakim Konstitusi Republik Indonesia periode 2003-2008), H. Arsul Sani, SH, M.Si., (Anggota Komisi III, Badan Legislasi DPR RI & Panitia Kerja RKUHP), Dr. Mudzakkir, S.H., M.H. (Guru Besar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta), Dr. Marcella Elwina S., SH., CN., M.Hum. (Dosen Fakultas Hukum dan Komunikasi Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang), dan Dr.iur.Asmin Fransiska (dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik (Unika) Atmajaya Jakarta).
Prof. Dr. Maruarar Siahaan, S.H., M.H., menyatakan bahwa perdebatan hukuman mati dari sisi teori pemidanaan, dampak jera atau prevensi maupun dari sisi filosofis teologis hak menjatuhkannya dan sisi hak asasi manusia, tidak pernah berhenti. Arah yang diinginkan oleh organisasi bangsa-bangsa adalah kearah abolisi, dan dalam perjalanan transisi tersebut diharapkan adanya moratorium. Di Indonesia, perbedaan pendapat juga terlihat dalam Putusan MK No. 2-3/PUU-V/2007 yg masih menyetujui hukuman mati dengan split-decision 5 berbanding 4. Hasil-hasil penelitian dan kajian ilmiah secara kriminologis dan sosiologis tentang tujuan dan falsafah pemidanaan serta efektivitas doktrin deterrence atau prevention yang dilakukan didalam negeri maupun negara lain menunjukkan hukuman mati tidak mempunyai akibat terhadap berkurangnya kejahatan. Psikologi sosial-lah yang mengakibatkan tuntutan masih diperlukannya hukuman mati.
Pancasila harus menjadi landasan dalam melihat hukuman mati. Hak untuk Hidup diatur dalam Pasal 28I sebagai non-derogable right, dan menurut MK berdasarkan tafsir sistematis, tunduk pada pembatasan yang disebut dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Ketidakmutlakan tersebut tampak dari masih dibolehkannya hukuman mati dalam instrumen hukum HAM internasional mengenai the most serious crime. Perdebatan di Indonesia sesungguhnya telah diakhiri untuk sementara dengan hadirnya putusan MK yang menyatakan bahwa hukuman mati tidak bertentangan dengan UUD 1945 – dengan 4 Orang dissenter.
Hak untuk hidup dapat dilihat dari:
- Tap MPR Nomor VII/1998 memuat pandangan bahwa HAM bersumber pada ajaran agama, nilai moral universal dan nilai luhur bangsa serta Pancasila dan UUD 1945;
- Deklarasi Cairo Mengenai Hak Asasi Islami mengakui hak untuk hidup dan dilarang untuk mencabut kehidupan, kecuali berdasarkan syariat;
- Pasal 6 ICCPR membuka kemungkinan penerapan hukuman mati terhadap kejahatan yang paling serious (most serious crime)
Kejahatan narkotika dan psikotropika disebut kejahatan yang ”particularly serious” dan “adversarily affect the economic, cultural and political foundation of society” dan sama-sama membawa “a danger of incalculable gravity”. Sejarah pidana mati, tidak pernah berhasil memerangi kejahatan yang ingin diperangi dan bukan hukuman matilah solusinya, melainkan efektif dan tepatnya penegakan hukum yang dilakukan.
Menurut H. Arsul Sani, SH, M.Si., berdasarkan DIM dan pembahasan RKUHP, 8 dari 10 fraksi menyatakan “tetap“ atau tidak ada perubahan terhadap pasal yang mengatur pidana mati yang diusulkan oleh pemerintah. Naskah RKUHP pada awalnya meletakkan pidana mati sebagai pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif (Pasal 67). Panja menambahkan satu pasal (65A) yang membagi jenis pidana: pidana pokok; pidana tambahan; dan pidana yang bersifat khusus untuk tindak pidana tertentu yang ditentukan dalam UU ini
Berdasarkan sistematika tersebut, pidana mati dikeluarkan dari pidana pokok, dikategorikan sebagai pidana yang bersifat khusus, dan dipindah ke Pasal 69A (bagian akhir dari pengaturan jenis-jenis pidana). Saat ini Buku I RKUHP telah selesai dibahas oleh Panja RKUHP dan sedang direview oleh tim ahli sebelum diselaraskan oleh Tim Perumus & Tim Sinkronisasi. Hasil pembahasan Buku I RKUHP secara substansi tidak dapat diubah, perubahan sebatas pada redaksional dan keselarasan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lain. Penentuan ancaman pidana pada Buku II masih membutuhkan penyelarasan terutama dengan gradasi jenis tindak pidana; dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana; dan rasa keadilan di masyarakat.
Dr. Mudzakkir, S.H., M.H., sendiri menyatakan bahwa dalam penjatuhan maupun pelaksanaan hukuman mati memiliki rambu-rambu yang harus diperhatikan dengan selektifitas. Ada empat (4) selektivitas penjatuhan pidana mati yakni:
- Selektif dalam menggunakan ancaman pidana mati yaitu hanya terhadap kejahatan tertentu yang pantas/tepat/proporsional untuk dijatuhi pidana mati.
- Selektif dalam menuntut pidana mati, yaitu jaksa penuntut umum secara selektif menuntut pidana mati, meskipun tindak pidana tersebut diancam dengan pidana mati.
- Selektif dalam menjatuhkan pidana mati, yaitu terhadap tuntutan pidana mati yang diajukan oleh jaksa penuntut umum, hakim mempertimbangkan secara komprehensif untuk memilih dan memutuskan untuk menjatuhkan pidana mati.
- Selektif dalam mengeksekusi pidana mati terhadap putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap, yaitu jaksa selaku ekesketor mendorong dan memberi kesempatan terhadap terpidana mati untuk menempuh upaya hukum dan upaya hukum luar biasa sebagai batuk uji validitas (kebenaran) penjatuhan pidana mati dan apabila semua upaya hukum telah ditempuh telah memastikan bahwa pidana mati tersebut sudah tepat, baru jaksa melakukan eksekusi pidana mati. Selain itu, perlu diperhatikan juga mengenai asas proporsional dan keadilan yang seimbang dalam perumusan ancaman sanksi pidana mati.
Dr. Marcella Elwina S., SH., CN., M.Hum, menyatakan bahwa Pasal yang mengatur delik dengan hukuman mati sebagai sanksi, jumlahnya meningkat 2x lipat dibandingkan sejak Indonesia merdeka sampai reformasi (periode 1945-1998) berdasarkan data dari ICJR. Jumlah pasal yang diancamkan dalam RUU KUHP setidaknya juga 2 (dua) kali lebih banyak daripada yang terdapat dalam KUHP (termasuk perubahannya). Hal ini disebabkan karena adanya perkembangan jenis-jenis tindak pidana baru di luar KUHP seperti terorisme, penyalahgunaan narkotika-psikotropika, serta dimasukkannya pengaturan tentang genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, ketentuan mengenai kejahatan perang dan konflik bersenjata sebagaimana diatur dalam Statuta Roma. Yang menarik dengan dimasukkannya jenis-jenis kejahatan dalam Statuta Roma adalah bahwa dalam Statuta Roma, semua kejahatan yang diaturnya tidak ada satupun yang dipidana dengan pidana mati.
Tujuan dirumuskannya pidana mati adalah untuk mengayomi masyarakat. Arti kata mengayomi adalah melindungi, berarti harus diartikan sebagai melindungi masyarakat. Oleh sebab itu, harus ada kesamaan persepsi dari masyarakat dengan dimasukkannya pidana mati ini dalam RUU KUHP. Namun, harus dicari tahu juga apakah semua masyarakat memiliki keinginan yang sama dalam hal penjatuhan pidana mati.
Dr.iur.Asmin Fransiska, juga memaparkan bahwa pelaksanaan hukuman mati memiliki hal yang “disporpotionate” yaitu tindak pidana narkotika menjadi fokus penjatuhan hukuman mati dengan argumen bahwa Perang atas Narkotika bertentangan dengan prinsip “most serious crime” (Ps. 6 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights)). Ini juga merupakan hasil pengamatan yang dilakukan oleh Navi Pillay selaku Komisi HAM Tinggi PBB yang menyatakan bahwa “Kejahatan Narkotika bukan kasus kejahatan yang sangat berat (most serious crime) yang memiliki syarat: “The most serious crime applies only to the intentional taking of another life”. INCB dan UNODC telah meminta negara-negara untuk menghapuskan hukuman mati bagi tindak pidana narkotika.
Menurutnya, narasi sosial semata tidak bisa menjadi sebab penjatuhan hukuman mati. Hukuman mati di Indonesia tidak memenuhi safeguards yang konsisten dilakukan, termasuk di dalamnya pedampingan hukum sejak awal proses hukum, tidak menjatuhkan hukuman mati kepada orang dibawah 18 tahun dan orang dengan disabilitas. Pengakuan menjadi potensi besar bagi pelanggaran atas penyiksaan. Putusan hukuman mati atas dasar retorika/narasi dan bukan dasar hukum dan tujuan pemidanaan. Selain subtantif, pelanggaran mal-administrasi atau prosedural hukum yang terjadi di hampir semua kasus, terutama terhadap mereka yang berasal dari kelompok rentan.