Terlepas dari niatan Pemerintah dan DPR untuk mengesahkan RKUHP dalam hitungan minggu, ICJR memandang bahwa draft RKUHP versi terakhir yakni 28 Agustus 2019 masih sangat bermasalah. Salah satu contohnya adalah terkait dengan adanya indikasi pasal karet yang timbul dari pengaturan tindak pidana terhadap proses peradilan (contempt of court) yang semestinya tidak perlu dimasukkan dalam RKUHP. ICJR menilai pengaturan contempt of court dalam RKUHP justru menyasar pada tindakan-tindakan terkait isu integritas hakim yang tidak jelas batasannya sehingga mengancam reformasi peradilan dan demokrasi.
Dalam draft RKUHP per 28 Agustus 2019 khususnya pada Pasal 281, tindak pidana terhadap proses peradilan (contempt of court) diancam dengan pidana penjara maksimal 1 tahun atau denda paling banyak 10 juta rupiah. Adapun tindakan-tindakan yang termasuk dalam delik contempt of court antara lain ditujukan bagi setiap orang yang:
- tidak mematuhi perintah pengadilan atau penetapan hakim yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan;
- bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan; atau
- secara melawan hukum merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.
ICJR secara tegas menolak adanya pengaturan delik contempt of court khususnya yang ditujukan terhadap tindakan-tindakan yang terkait dengan isu-isu integritas hakim. Tindakan yang dilarang dalam konteks contempt of court semestinya harus dibatasi hanya terhadap tindakan-tindakan yang bersifat menghalang-halangi dan mengakibatkan proses persidangan tidak berjalan. Beberapa bentuk tindakan tersebut misalnya intimidasi, ancaman kekerasan, atau tindakan kekerasan yang ditujukan kepada hakim oleh terkait penepatan dan putusan hakim, bukan soal isu integritasnya.
Selain itu, batasan-batasan terhadap yang dimaksud dengan “tidak hormat” dan menyerang integritas” pada poin b dan c pun juga tidak jelas, apakah penilaian atau komentar-komentar kritis misalnya juga termasuk didalamnya. Lalu poin c pun juga tidak jelas memberikan batasan mengenai apa yang dimaksud dengan “segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim” dan siapa yang menentukan bahwa sesuatu itu bisa mempengaruhi hakim. Ketidakjelasan dalam mengatur batasan-batasan untuk menentukan sejauh mana tindakan seseorang memenuhi rumusan pasal tersebut pada undang-undang akan mengakibatkan delik contempt of court dalam RKUHP ini menjadi pasal karet.
Proyeksi ICJR nanti dalam prakteknya, delik contempt of court tersebut rentan memicu banyak kasus-kasus yang semestinya tidak perlu masuk ranah pidana. Pasal tersebut akan dengan mudah menyasar akademisi, pers/media, hingga kelompok masyarakat sipil yang berusaha menyuarakan penilaiannya terhadap hakim atau pengadilan yang dianggap tidak imparsial. Padahal, menyuarakan pendapat terhadap tindakan penguasa, dalam hal ini termasuk juga hakim atau pengadilan, dalam dunia demokrasi merupakan hal yang biasa. Antara pengkritik dengan hakim atau pengadilan tersebut pun tidak ada relasi kuasa yang cukup kuat hingga mampu mengubah integritas hakim. Hakim yang secara independen mengadili perkara, tidak akan terganggu dengan kritikan yang sekeras apapun disuarakan, kecuali seperti telah disebutkan di atas dilakukan dengan cara-cara kekerasan atau melawan hukum, yang mana sudah diatur dalam pidana lain dalam undang-undang di Indonesia.
Oleh karenanya, ICJR menilai delik pasal 281 RKUHP tersebut tidak perlu diatur dalam RKUHP. ICJR kembali mengingatkan Tim Perumus RKUHP untuk menghapus ketentuan mengenai delik contempt of court khususnya ditujukan terhadap tindakan-tindakan yang terkait dengan isu-isu integritas hakim sebagaimana dirumuskan dalam draft RKUHP saat ini. Selain terindikasi pasal karet, penilaian kritis terhadap proses peradilan juga tidak layak untuk dimasukkan dalam ranah pidana, hal ini untuk menjamin berjalannya reformasi peradilan yang masih banyak membutuhkan perhatian masyarakat khususnya terkait integritas hakim, serta menjamin kebebasan berekspresi dalam sebuah negara demokrasi.
—
Kami memahami, tidak semua orang orang memiliki kesempatan untuk menjadi pendukung dari ICJR. Namun jika anda memiliki kesamaan pandangan dengan kami, maka anda akan menjadi bagian dari misi kami untuk membuat Indonesia memiliki sistem hukum yang adil, akuntabel, dan transparan untuk semua warga di Indonesia tanpa membeda – bedakan status sosial, pandangan politik, warna kulit, jenis kelamin, asal – usul, dan kebangsaan.
Hanya dengan 15 ribu rupiah, anda dapat menjadi bagian dari misi kami dan mendukung ICJR untuk tetap dapat bekerja memastikan sistem hukum Indonesia menjadi lebih adil, transparan, dan akuntabel
Klik taut https://icjr.or.id/15untukkeadilan