Pasal 245 UU MD3 Hambat Proses Penegakan Hukum

UU Tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) baru Revisi UU No. 27 Tahun 2009, baru saja disepakati di DPR. Namun, telah menuai kontroversi. Salah satu dari kontroversinya adalah UU ini ditengarai dibuat untuk menghambat proses peradilan pidana dan penegakan hukum.

Pasal 245 UU MD3 yang terdiri dari tiga ayat, pada intinya menyebutkan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.  Persetujuan tertulis akan diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 (tiga puluh) Hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan keterangan untuk penyidikan. namun apabila dalam kurun waktu 30 (tiga puluh) Hari persetujuan tertulis tidak diberikan, penyidikan dapat dilakukan. Ketentuan sebelumnya tidak berlaku apabila tertangkap tangan melakukan tindak pidana; disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau disangka melakukan tindak pidana khusus.

Ketentuan diatas dapat dianggap membangkitkan kembali ketentuan Pasal 36 ayat (1) dan (2) UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) yang telah diputus tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan Konstitusi oleh MK. Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa proses hukum penyidikan dan penyelidikan  terhadap kepala daerah tidak membutuhkan persetujuan dari Presiden.

Supriyadi W. Eddyono, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), menyebut bahwa jiwa Pasal 245 UU MD3 sama dengan Pasal 36 ayat (1) dan (2) UU Pemda yang telah dibatalkan oleh MK. Supriyadi menjelaskan bahwa seharusnya pada saat perumusan dan pembahasan, Putusan MK No. 73/PUU-IX/2011 menjadi rujukan. Menurut Supriyadi pembentuk UU telah tidak cermat dalam melakukan harmonisasi UU, khususnya yang berhubungan dengan UUD 1945.

Supriyadi juga berpendapat bahwa kehadiran Pasal 245 UU MD3 dapat menghambat proses penegakan hukum. Asas Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan dalam proses peradilan pidana tidak akan tercapai, “Pasal 245 UU MD3 memiliki kesan kuat akan memperlambat proses peradilan karena adanya prosedur birokrasi perijinan yang rumit, serta akan menambah biaya penegakkan hukum yang secara otomatis terjadi karena mengikuti rangkaian prosedur yang lebih lama” tegasnya. Dengan waktu 30 (tiga puluh) Hari, anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana atau yang akan dimintai keterangannya berpeluang untuk menghambat proses peradilan, dari mulai melarikan diri, menghilangkan alat bukti, menghapus jejak pidana atau bahkan mengulangi lagi perbuatannya.

Supriyadi menekankan bahwa adanya pasal 245 UU MD3 ini telah mencederai asas persamaan di muka hukum dan independensi peradilan. “meminta persetujuan dari pihak lain yang tidak terkait dalam sistem peradilan pidana sama saja menunjukkan adanya intervensi” tegasnya. Memberikan proses dan prosedur tambahan seperti persetujuan tertulis dalam penyidikan melalui lembaga yg tidak dikenal dalam sistem peradilan pidana juga bertentangan dengan asas persamaan di muka hukum, “ada perlakuan berbeda terhadap warga negara lainnya dengan diberlakukannya Pasal 245 UU MD3 tersebut. Apapun jabatannya, anggota DPR adalah subjek hukum yang tidak boleh dibedakan dengan warga negara lainnya” ujar Supriyadi. Untuk itu, Supriyadi menyatakan bahwa ICJR akan segera mengajukan permohonan Judicial Review ke MK terkait Pasal yang diyakini bertentangan dengan Konstitusi tersebut.

Related Posts

  • 15 for Justice
  • Advokasi RUU
  • Alert
  • Dokumen Hukum
  • English
  • ICLU
  • Law Strip
  • Media Center
  • Mitra Reformasi
  • Publikasi
  • Special Project
  • Uncategorized
    •   Back
    • Reformasi Defamasi
    • #diktum
    • Anotasi Putusan
    • Penyiksaan
    • Strategic Litigation
    • RKUHAP
    • Putusan Penting
    • advokasi RUU
    • Advokasi RUU
    • Resources
    • Cases
    • Other Jurisdiction Cases
    • Civil
    • Criminal
    • Media
    • National
    • Public
    • IT Related
    • Torture Cases
    • Torture Resources
    • Laws and Regulation
    • Law Enforcer
    • Survivor
    • Weekly Updates
    • RUU Polri
    • RUU TNI
    •   Back
    • Resources
    • Cases
    • Other Jurisdiction Cases
    • Civil
    • Criminal
    • Media
    • National
    • Public
    • IT Related
    •   Back
    • Civil
    • Criminal
    • Media
    • National
    • Public
    • IT Related
    •   Back
    • Kabar ICJR
    • ICJR di Media
    •   Back
    • Law Enforcer
    • Survivor
    •   Back
    • Torture Cases
    • Torture Resources
    • Laws and Regulation
    • Law Enforcer
    • Survivor
    •   Back
    • Peraturan Mengenai Trafficking
    • Perlindungan Saksi dan Korban
    • Rancangan KUHAP
    • Pemasyarakatan
    • Rancangan KUHP
    • Penetapan Presiden
    • Peraturan Menteri
    • Peraturan Pemerintah
    • Surat Edaran
    • Surat Keputusan Bersama
    • Keputusan DitJen PAS
    • Keputusan Menteri
    • Keputusan Presiden
    •   Back
    • Peraturan
    • Peraturan Mengenai Trafficking
    • Perlindungan Saksi dan Korban
    • Rancangan KUHAP
    • Pemasyarakatan
    • Rancangan KUHP
    • Penetapan Presiden
    • Peraturan Menteri
    • Peraturan Pemerintah
    • Surat Edaran
    • Surat Keputusan Bersama
    • Keputusan DitJen PAS
    • Keputusan Menteri
    • Keputusan Presiden
    •   Back
    • RUU Polri
    • RUU TNI
    •   Back
    • Penetapan Presiden
    • Peraturan Menteri
    • Peraturan Pemerintah
    • Surat Edaran
    • Surat Keputusan Bersama
    • Keputusan DitJen PAS
    • Keputusan Menteri
    • Keputusan Presiden
    •   Back
    • Weekly Updates
Load More

End of Content.

Copyright © 2024 Gogoho Indonesia | Powered by Gogoho Indonesia

Scroll to Top