Salah satu kritik keras Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) terhadap UU Terorisme (UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak) adalah adanya praktik penahanan incommunicado dikarenakan rentang waktu penangkapan yang begitu lama (7 x 24 jam) yang secara langsung berpotensi menimbulkan praktik penyiksaan.
Namun, dalam RUU Revisi UU Terorsime (RUU Terorisme) yang saat ini sudah di DPR, selain memperpanjang masa penangkapan yang selama ini merupakan akar penahanan karena sifatnya “incommunicado” tanpa dapat diakses, RUU juga secara terang-terangan memberikan kewenangan bagi penyidik dan aparat penegak hukum untuk menempatkan seseorang tanpa status jelas pada suatu tempat yang juga tidak diketahui. Secara eksplisit, ini merupakan praktik legal dari penahanan incommunicado di Indonesia.
Terkait penangkapan terdapat dalam Pasal 28 RUU Terorisme yang bebrunyi”Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap Setiap Orang yang diduga keras melakukan Tindak Pidana Terorisme dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari’’, dengan pasal ini, maka rentang waktu penangkapan akan bertambah 23 hari dari ketentuan sebelumnya sebanyak 7 hari.
Penangkapan dalam jangka waktu 30 hari selain tidak wajar juga membuka peluang terjadinya unfair trial yang berujung pada penyiksaan atau perbuatan lain yang dapat melanggar hak dari tersangka, waktu 30 hari dalam penangkapan juga tidak beralasan. Menurut ICJR, penangkapan hanya boleh berdasarkan syarat khusus di KUHAP karena itu penangkapan selama 30 hari jadi tidak berdasar karena syarat-syarat pra penangkapan berarti tidak terpenuhi. Lagi pula untuk mengungkap jaringan yang lebih besar, ada beberapa mekanisme yang bisa digunakan dalam pra penyidikan. Misalnya penyadapan, tracking aliran dana, penjebakan terselubung, penyidik juga dapat menggunakan whistleblower (WB) ataupun Juctice Collborator (JC). Sehingga alasan pemerintah yang mendorong jangka waktu 30 hari karena alasan mengungkap jaringan yang lebih besar tidaklah berdasar.
Pasal berbahaya lainnya ada dalam ketentuan perubahan Pasal 43 UU Terorisme yang menyisipkan Pasal 43A, berbunyi ‘’Dalam rangka penanggulangan Tindak Pidana Terorisme, penyidik atau penuntut umum dapat melakukan pencegahan terhadap Setiap Orang tertentu yang diduga akan melakukan Tindak Pidana Terorisme untuk dibawa atau ditempatkan pada tempat tertentu yang menjadi wilayah hukum penyidik atau penuntut umum dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan’’. Ini adalah pasal yang dapat membawa praktik penjara Guantanamo ke Indonesia, karena pasal ini sama sekali tidak merujuk pada ketentuan hukum acara pidana yang ada di Indonesia, baik peristilahan ataupun prinsip pengaturannya.
Tidak jelas apa yang dimaksud dengan ‘penanggulangan’, ‘Setiap orang tertentu’, ‘diduga’, ‘dibawa atau ditempatkan’ dan ‘tempat tertentu’. Seluruh pengaturan itu tidak ditemukan dalam hukum acara pidana yang saat ini berlaku di Indonesia. Selain penyidik, penuntut umum serta rentang waktu, seluruh pengaturan dalam pasal ini berpotensi ditafsirkan secara sewenang-wenang.
ICJR memprediksi bahwa pasal ini akan membuka ruang masalah baru dalam penanganan tindak pidana terorisme di Indonesia, selain secara nyata bertentangan dengan prinsip dasar hak asasi manusia yang ada dalam hukum nasionaljuga Internasional, pengaturan ini juga jelas tidak memenuhi pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Pasal ini bisa digunakan untuk menempatkan orang selama 6 bulan tanpa jelas diketahui statusnya, lokasi dan posisinya, hak hukum dan lain sebagainya.
ICJR merekomendasikan agar dua pasal yang behubungan erat dengan penyiksaan dan penahanan sewenang-wenang ini dihapuskan, atau setidak-tidaknya untuk penangkapan dilakukan kajian ulang serta menggunakan ketentuan yang ada dalam KUHAP. Apabila ketentuan dalam KUHAP dirasakan kurang, maka harus ada kajian kuat dan jaminan atas hak tersangka selama terjadi penangkapan.